Sabtu, 31 Desember 2011
Rabu, 28 Desember 2011
Tahun Baru Kalender Gregorian
Perayaan Pergantian Tahun Matahari
Sudah menjadi kebiasaan yang lazim di negara ini bahwa setiap pergantian tahun merupakan momen yang selalu dinanti. Begadang hingga tengah malam menjadi saksi bergantinnya tahun. Beragam bentuk atau ritual yang dilakukan dalam rangka menyambut tahun baru. Mulai dari pesta, apakah itu pesta kecil yang dihadiri keluarga, kenalan, serta handai-taulan. Sampai ke pesta-pesta besar di pub, dikotek, klub malam, kafe, hotel, gedung pertemuan, pusat perbelanjaan, ataupun di stasiun-stasiun TV yang menayangkan secara langsung momen pergantian tahun. Adapula yang memilih untuk pergi mendaki ke puncak gunung. Ritual yang satu ini boleh dikatakan hampir merata di seluruh pelosok Indonesia. Di setiap puncak-puncak gunung yang ada di Indonesia dikibarkan bendera merah putih. Inilah wujud dari rasa nasionalis yang ditunjukkan oleh beberapa orang generasi muda Indonesia.
Namun ada juga yang melakukan hal lain, seperti selain mengadakan atau mengikuti pesta mereka akan menghabiskan malam dengan kekasih mereka. Tak jarang hubungan semacam ini akan berakhir dengan kelakuan terlarang (yang merupakan bentuk lain dari hubungan di atas ranjang, dapat juga beralas koran, atau tanah dilapangan terbuka. Dapat bermacam-macam alas yang dipakai, atau bahkan tidak beralas). Tentunya minuman alkohol sudah menjadi kebutuhan primer di moment penting semacam ini. Bahkan ada yang ditemani dengan obat-obatan terlarang. Ada pula yang mengunjungi tempat-tempat wisata semacam tepi pantai yang merupakan salah satu lokasi favorit untuk menghabiskan malam tahun baru. Apalagi jika didampingi oleh sang kekasih.
Hampir setiap tahun orang-orang saling bertanya “Kemana tahun baru kemarin?” atau “Menghabiskan malam tahun baru dimana?”. Suatu pertanyaan yang menunjukkan perhatian dan kepedulian. Namun sesungguhnya merupakan wujud dari ketidak-tahuan dari hakekat tahun baru itu sendiri.
Pernahkah kita bertanya kenapa tahun baru dirayakan? Kenapa satu Januari yang dijadikan awal mula tahun? Kenapa begini dan kenapa begitu?
Tidak..! Sebagian besar dari kita menerima begitu saja. Menerima tanpa mempertanyakan, begitulah generasi sekarang. Bukan..bukan menerima, melainkan meniru, mencontoh, atau latah kata orang Jakarta. Tidak ada proses berfikir dalam hal ini, yang ada ialah perasaan keren dan up to date jika kita ikut merayakan, merayakan perayaan yang dirayakan oleh kelompok sosial tertentu, komunitas tertentu, atau penganut kebudayaan tertentu. Hal ini terjadi karena kita kehilangan kepercayaan diri, merasa rendah diri, atau minder kata anak-anak gaul Jakarta. Kita selalu menganggap kecil diri sendiri, sehingga sering merasa malu dengan kebudayaan kita, yang merupakan identitas kita sebagai sebuah bangsa.
Sekarang, marilah kita menengok kembali sejarah penetapan tahun baru masehi. Sebenarnya tidak tepat juga jika kita sebut sebagai tahun Masehi. Karena tahun Masehi merujuk kepada kelahiran Yesus. Sedangkan dikalangan sejarawan masih muncul keraguan apakah benar Yesus lahir pada bulan dan tahun yang diyakini tersebut.
Selasa, 27 Desember 2011
Kekayaan yang Membawa Petaka
Mimpi Indah Memajukan Negeri
Uang(Investor) Bukanlah Segalanya
Belum habis cerita mengenai Mesuji di Lampung, belum kering air mata yang mengalir atas nyawa yang melayang, belum terbalas perbuatan keji yang diderita oleh rakyat tak berdaya. Namun beberapa hari yang lalu muncul berita baru, berita yang tak kalah menyedihkannya dengan yang di Lampung.
Tempat kejadiannya berada di daerah bagian timur dari Republik ini, daerah yang kaya akan sumber daya alam namun miskin dalam kehidupan masyarakatnya. Faktor pemicunya sama dengan yang di Lampung yakni uang, uang, dan uang yang berwujud kepada investor yang memiliki perusahaan-perusahaan besar. Nusa Tenggara Barat nama provinsinya dan negeri yang bernama Lambu, Sape dan Langgudu yang manjadi saksi penderitaan rakyatnya. Negeri seluas 14.318 Ha begitu memikat bagi Abdi Uang karena negerinya menyimpan kandungan emas.
Rakyatnya hanya bekerja sebagai nelayan dan petani, mereka memiliki pelabuhan di Sape yang menjadi pusat tragedi. Pada tahun 2008 sebuah perusahaan datang dengan membawa tawaran investasi kepada pemerintahannya. Ditanda tangani kontrak selama 25 tahun untuk penambangan emas. Kemudian pada tahun 2010 kontraknya diperbaharui oleh Pemda Bima dengan mengeluarkan Surat IUP bernomor 188/45/357/004/2010.
Jumat, 23 Desember 2011
Hari Ibu???
Asal Usul Hari Ibu
Pada tanggal 22 Desember setiap tahunnya diperingati sebagai “Hari Ibu” di Indonesia. Walau tidak ditetapkan sebagai hari libur nasional, peringatan hari ibu ini cukup semarak. Apalagi ditengah-tengah zaman “jejaring sosial” seperti saat ini. Ribuan status mengucapkan selamat hari ibu, beberapa pusat perbelanjaan di beberapakota di Indonesia menyemarakkan hari ibu dengan membagikan aneka kue sebagai wujud terimakasih kepada seorang ibu. Belum lagi para politisi sok akrab yang membuat spanduk mengucapkan selamat merayakan hari ibu.
Apakah kita tahu kenapa tanggal 22 Desember ditetapkan sebagai hari ibu di Indonesia? Bagaimana pula asal mulanya peringatan atau perayaan ini? Dan kenapa pula kita mesti merayakannya?
Saya yakin banyak diantara kita yang tidak tahu kenapa sampai ada perayaan ini dan kenapa pula tanggal 22 Desember ditetapkan sebagai tanggal keramat untuk perayaan hari ibu. Ya.. karena sebagian dari kita lebih suka ikut-ikutan tanpa mencari tahu makna dan tujuan dari suatu peristiwa, kegiatan, atau apapun itu namanya. Kita, terutama generasi muda akan merasa tertinggal dari generasi muda lainnya jika tidak merayakan hari yang di Barat populer dengan sebutan “Mother Day”. “tidak cool kalau tidak merayakannya” begitu kira-kira suara hati anak muda zaman sekarang.
Kamis, 22 Desember 2011
Lomba Blog Wisata Sejarah
Sawahlunto
Belanda Kecil di Daratan Tinggi Minangkabau
Penduduk Minangkabau mengenal Sawahlunto sebagai “Kota Baro”, baro merupakan Bahasa Minangkabau dari “bara” yang mengacu kepada batubara. Batubara telah lama ditambang di Sawahlunto, karena bahan tambang inilah kota ini lahir. Orang-orang Belanda membangun kota ini disebabkan penemuan batubara yang diumumkan pada tahun 1870 oleh ahli pertambangan mereka. Insyinyur yang sangat berjasa dalam penemuan batubara ini ialah William Hendrik de Greve.
Batubara memang bertuah, bagaimana tidak? Karena bahan tambang jenis ini sangat diperlukan oleh pasar dunia. Di abad ke-19 teknologi mesin uap merupakan primadona, untuk menggerakkan mesin-mesin ini digunakan batubara sebagai bahan bakar. Oleh karena itulah orang-orang Belanda begitu bersemangat mengeksploitasi daerah ini.
Banyak peninggalan orang-orang Belanda selama mendiami daerah ini. Utama sekali dipusat Kota Sawahlunto. Pusat kota terletak di suatu lembah yang dahulunya merupakan areal persawahan milik penduduk dari Nagari Kubang.[1] Lembah ini dialiri oleh sebuah sungai yang biasa disebut oleh masyarakat setempat dengan Batang Lunto[2]. Lunto merupakan nama salah satu nagari di sekitar Sawahlunto yang daerahnya dilalui oleh aliran sungai ini. Karena sungai ini mengalir melewati nagari ini maka masyarakat setempat menamai sungai itu dengan nama Batang Lunto (Sungai Lunto).
Orang-orang Belanda memilih daerah ini sebagai pusat pemerintahan, Lembah Sugar namanya. Sekarang lebih dikenal dengan nama Lembah Segar yang pada saat ini menjadi nama salah satu kecamatan di kota ini. Dikelilingi oleh perbukitan dan dialiri oleh aliran sungai di dasar lembah. Tempat ini menjadi tempat yang cocok untuk mengembangkan pemerintahan. Selain itu di tempat ini juga ditemukan kandungan batubara. Loebang Tambang Soero yang pada saat sekarang ini menjadi salah satu objek wisata andalan di Sawahlunto merupakan lubang tambang pertama di Sawahlunto.
Pembangunan pertama yang dilakukan Belanda di lembah ini ialah pembangunan PLTU Kubang Serakuk yang berfungsi dalam rentang waktu 1894-1924. Merupakan PLTU pertama di Sumatera Barat. Sebelumnya, tepatnya dalam rentang waktu 1887-1894 telah mulai dibangun jalur kereta api menuju Emma Heven atau sekarang bernama Teluk Bayur. Pada saat sekarang ini bangunan PLTU tersebut sudah tidak ada, sekitar tahun 1950-an dibangun Masjid Agung dibekas bangunan PLTU tersebut. Walau bangunannya sudah tidak ada, namun cerobong asap peninggalan zaman keemasan PLTU tersebut masih ada dan dijadikan menara adzan untuk Masjid Agung Nurul Iman. Di depan Masjid Agung Nurul Iman terdapat sebuah rumah yang dibangun tahun 1920, dahulunya merupakan kediaman Asisten Residen. Kini bangunan tersebut menjadi rumah dinas bagi Walikota Sawahlunto.
Terdapat sebuah gedung yang hingga saat ini tetap menjadi Landmark Kota Sawahlunto. Bangunan tersebut dibangun pada tahun 1916 yang digunakan sebagai kantor bagi Perusahaan Pertambangan Ombilin. Gaya arsitekturnya khas kolonial dan hingga kini masih berfungsi sebagai bangunan kantor bagi perusahaan tambang yang sekarang telah beralih nama menjadi PT. Tambang Batubara Bukit Asam Unit Pertambangan Ombilin (PT.BA-UPO).
Minggu, 18 Desember 2011
Rumah Gadang, tinggal kenangan...
Ini merupakan foto salah satu Rumah Gadang yang masih ada di beberapa nagari di Minangkabau. Pada saat sekarang ini, rumah gadang sudah menjadi barang langka di Minangkabau. Banyak pelancong yang kecewa karena tidak berhasil menemukan nagari yang ramai dengan rumah bagonjongnya.
Gambar di samping merupakan gambar salah sati jenis rumah gadang di Minangkabau. Dari gaya arsitekturnya dapat dilihat kalau rumah ini bertipe Kelarasan Bodi Chaniago. hal ini dapat dilihat dari bentuk atap pada masing-masing sisi samping gonjong.
Rumah ini tidak berukir, hal ini karena pada masa dahulu hanya orang-orang beruanglah yang sanggup mengupah tukang ukir untuk mengukir rumahnya. Sehingga rumah berukir di sebagian besar nagari di Minangkabau merupakan sebagai tanda kekayaan yang dimiliki suatu keluarga. Namun hal ini tidak berlaku di semua nagari di Minangkabau. Salah satu nagari di Kubung Tigo Baleh yakni di Nagari Selayo yang berbatasan langsung dengan Kota Solok, kebanyakan rumah gadangnya memiliki ukir. Menurut salah seorang penduduk di sana, memang sudah lazim di nagarinya hal yang demikian.
Sebentar lagi rumah gadang seperti yang terlihat pada gambar akan segera punah dari Minangkabau. Digantikan oleh rumah-rumah dari susunan bata dan semen, tak berkolong, bahkan ada yang sama tinggi dengan halaman. Hilanglah salah satu ciri Kebudayaan Minangkabau. Kenapa demikian? Karena pada rumah gadang tidak hanya terdapat ciri dari arsitektur tradisional Minangkabau akan tetapi juga padanya falsafah hidup dari si penghuni. Falsafah hidup yang amat dalam nilai dan maknanya. Falsafah Hidup yang hampir semua orang Minangkabau telah tinggalkan.
Sabtu, 17 Desember 2011
"Belajarlah dari pengalaman orang lain" Saidina Ali
Sudah beberapa hari ini pemberitaan di negara ini diramaikan oleh kasus pembantaian yang di duga terjadi di sebuah daerah di pedalaman Pulau Sumatera. Sangat aneh sekali mendengar kata “pembantaian” karena kata ini biasanya digunakan pada kondisi tertentu seperti di tengah kancah peperangan, pertikaian dua negara atau rezim, ataupun agresi dari negara yang kuat terhadap negara yang lemah. Lalu kenapa hal semacam ini dapat terjadi di Indonesia yang katanya negara merdeka, menganut paham kebebasan, pluralisme dalam segala hal, serta pada saat sekarang sedang tidak dalam kondisi perang? Apa gerangan yang terjadi pada negara ini?
Alkisah di negara ini ada suatu daerah yang bernama Mesuji (ketika pertama kali mendengar nama ini, aku pikir ini nama suatu daerah di Negeri Para Samurai-Jepang). Daerah ini terletak di perbatasan dua propinsi di Pulau Sumatera, yakni Propinsi Sumatera Selatan dan Propinsi Lampung. Konon kabarnya daerah Mesuji masuk ke dalam wilayah administratif dua propinsi ini. Sehingga ada dua daerah Mesuji yakni Mesuji-Lampung dan Mesuji-Sumsel. Kedua daerah ini hanya dipisahkan oleh sebuah sungai.
Daerah ini merupakan daerah terisolir, minim pembangunan. Konon kabarnya semenjak tahun 2003 sudah ada sebuah perusahaan perkebunan dari negara tetangga yang dipimpin oleh seseorang yang bernama Benny Sutanto atau biasa disapa Abeng yang membuka lahan perkebunan di daerah ini. Namun sayangnya hal ini mendapat penentangan dari penduduk. Maka konflik antar pengusaha dan rakyatpun pecah. Puncaknya ialah semenjak tahun 2009-2011 ini. Katanya sudah 30 nyawa yang menjadi korban. Dibantai bak hewan, sehingga banyak orang yang terguncang karena pernah menyaksikan salah satu anggota keluarganya dibantai. Hingga kini, pihak keamanan masih belum berkomentar, tidak mengiyakan, tidak pula menidakkan. “Hendak mencari perusuh yang menyerang perkebunan” katanya.
Kamis, 15 Desember 2011
Beda Politikus dengan Non Politik
Dari Kota Tambang ke Kota Wisata
Visi seorang Pemimpin
Tidak seorangpun yang akan menyangka, bahkan penduduk Sawahlunto sekalipun. Bahwa kota mereka yang berada diambang pesimisme berhasil kembali bergairah gerak kehidupannya. Siapa gerangan yang akan mengira, bahwa kota yang selama ini mengandalkan batubara sebagai andalan utama dalam menggerak segenap kehidupan warganya akan berubah haluan.
Kota ini pernah mengalamai sakaratul maut, bagaimana tidak. Batubara yang lebih selama satu abad ditambang di kota ini telah begitu menyatu dengan warganya. Menjalar menjadi urat nadi di kehidupan warga kota ini. Karena batubara kota ini lahir, karena batubara kota ini hidup, akankah karena batubara jua kota ini mati?
Telah banyak yang pindah dari kota ini begitu produksi batubara mengalami penurunan. Menjual segenap harta benda yang dimiliki dan pindah ke daerah lain guna memulai lembaran baru. Namun segala berubah. Berubah hanya karena satu orang, ya..cukup satu orang untuk mengubah segalanya.
Tahun 2003 merupakan titik balik dari ini semua, pada tahun ini kereta api berhenti merayap di Sumatera Barat. Selama ini, jalur kereta api hanya dilalui oleh kereta pengangkut batubara dari Sawahlunto ke Telukbayur, lain tidak. Telah lama jalur kereta api di tempat lain di Sumatera Barat tidak digunakan. Kereta sebagai pengangkut manusia telah tiada, yang ada hanya kereta pengangkut baro (batubara).
Pada tahun inipula Kota Sawahlunto dipimpin oleh orang baru, orang dengan visi baru,dan dengan ide baru. Talawi kampungnya, Sawahlunto kotanya. Namanya Amran Nur, seorang insyinyur teknik tamatan ITB. Entah apa yang ada dibenaknya, yang jelas sekarang dia yang menjadi pemimpin di Sawahlunto. Kata orang dia pemarah, mejapun bisa terbang jika dipukulnya, jika seorang pejabat kena panggil ke kantor balaikota alamat badan tak selamat, menggillah badannya, mengalirlah keringat dingin disekujur tubuhnya.
Rabu, 07 Desember 2011
Feminisme di Minangkabau
Sumando
Kacang Miang
Gender adalah
suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perampuan yang
dikonstruksikan secara sosial maupun budaya. Sedangkan ideologi gender adalah
segala sesuatu aturan yang mengatur hubungan antara laki-laki dan perempuan
melalui pembentukan identitas feminis dan maskulin. Melalui cara pandang
seperti ini para feminis berusaha mengubah konstruksi budaya yang telah lama
berlaku di masyarakat Indonesia (terutama Minangkabau) mengenai perempuan. Bahwa
perempuan itu harus lemah lembut, penurut, setia, selalu tinggal dirumah,
bekerja didapur dan dengan sabar menunggu suami pulang kerja, serta mengurus
suami dan anak-anak. Menurut mereka laki-laki dan perempuan diciptakan dengan
hak dan kewajiban yang sama dan tidak sepatutnya kaum perempuan dibatasi fungsi
dan peranannya pada satu bidang saja yakni bidang domestik (rumah tangga).
Sumber Foto: Internet
Bagi mereka(feminis)
yang dimaksudkan dengan kodrat bagi perempuan ialah hamil, melahirkan,
menyusui, datang bulan/haid, serta memiliki beberapa bagian tubuh yang berbeda
dari laki-laki. Kodrat bagi mereka tidak mengurangi atau menghambat dalam
melakukan aktifitas karena menurut mereka antara laki-laki dan perempuan
memiliki fungsi dan peranan yang sama. Jadi dalam hal ini mereka menuntut keadilan
(kesetaraan gender) bagi perempuan, menuntut untuk diberi kesempatan, peranan,
hak, kewajiban, dan tanggung jawab yang sama dengan laki-laki.
Kita tidak
perlu menggunakan dalil-dalil agama dan adat dalam persoalan ini, saya akan
mengajak anda untuk menggunakan logika sederhana. Kita tentunya pernah
mendengar mengenai teori “keseimbangan” yakni kaya-miskin, tua-muda,
kuat-lemah, siang-malam atau yin dan yang
dalam kebudayaan Cina, ada juga yang mengatakan contoh-contoh yang saya
sebutkan di atas ialah berpasangan. Sekarang apa jadinya jika semua orang menjadi
kaya atau semuanya jadi orang miskin, atau orang-orang yang mediami bumi ini
berumur tua atau muda kesemuanya, atau dihuni oleh orang-orang kuat saja atau sebaliknya,
akankah ada kehidupan di bumi ini? Kehidupan di dunia diciptakan oleh Sang
Pencipta dengan memelihara keseimbangan, dimana salah satunya ialah saling
mengisi dalam kekurangan.
Minggu, 27 November 2011
Sejarah 1 Muharam
Satu Muharam
Sisi
lain Sejarah Satu Muharam
Seiring dengan masuknya waktu
magrib pada hari Sabtu tanggal 30 Zulhijjah 1432 H yang bertepatan dengan 26
November 2011 maka resmilah umat muslim memasuki bulan Muharram 1433 H. Tentunya
ada yang heran kenapa bukan pada pukul 12 tengah malam seperti layaknya tahun
baru masehi. Memang, dalam metode penghitungan penanggalan Muslim, berakhirnya
suatu bulan akan ditandai dengan nampaknya hilal di langit senja. Metode yang mana
dilakukan oleh MUI ketika hendak menentukan awal dan akhir Ramadhan. Sebenarnya
hal tersebut tidak berlaku hanya pada penentuan bulan Ramadhan saja, melainkan
pada setiap bulan pada kalender Islam.
Entah telah berapa Muharram yang
kita lewati. Kita selalu merayakannya, ceramah-ceramah di masjid-masjid ataupun
pidato dari pejabat resmi pemerintah selalu menyinggung tentang Hijrahnya nabi
kita dari kampungnya Mekkah ke Madinah al Mukarramah. Penyebabnya ialah kekejaman
kaum kafir Quraisy, berbagai tekanan yang dihadapi oleh umat muslim ketika itu,
dan lain sebagainya. Atau tentang makna hijrah itu sendiri, yang tidak selalu
makna hijrah secara fisik akan tetapi juga bathin. Dari pribadi yang kurang
religius menjadi pribadi yang religius, begitulah kira-kira.
Namun pernahkah kita diberitahu,
kenapa tanggal satu Muharram dijadikan sebagai awal tahun Islam, kenapa kiranya
hingga Hijrahnya nabi dijadikan patokan sebagai permulaan abad Islam, dan sejak
kapan penanggalan hijriyah ini mulai dikenal, apakah semenjak zaman nabi atau
sudah ada semenjak sebelum kenabian beliau?
Rabu, 23 November 2011
Dewasalah, grow up..
Sebuah Renungan
Atas Kekalahan Timnas Indonesia
Kekalahan yang diderita Timnas
U-23 dari Malaysia pada pertandingan Final SEA Games pada Senin malam tanggal
21 November 2011 menyisakan duka yang menyakitkan bagi sebagian besar penyuka
olahraga sepakbola tanah air. Bagaimana tidak, Timnas Malaysia merupakan musuh
bebuyutan yang amat dibenci oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Kenapa
demikian? untuk menjawab pertanyaan ini akan menghabiskan banyak huruf dan
rangkaian kata. Sebut saja perseteruan mengenai masalah perbatasan kedua negara
yang tak ada ujungnya. Belum lagi klaim dari Malaysia atas beberapa budaya
daerah di Indonesia. Ada pula masalah TKI yang selalu membawa duka yang
menyayat hati, dan lain sebagainya.
Pendek kata, ini merupakan
masalah nasional yang menyangkut harga diri bangsa. Bagaimanapun juga kekalahan
ini tidak dapat diterima. Terlalu menyakitkan untuk diderita, terlalu pahit
untuk dijalani, dan terlalu memalukan untuk diakui. Begitu kira-kira anggapan
sebagian besar penyuka sepakbola di negeri ini.
Namun lebih daripada itu, ada
banyak aspek yang ikut terlibat di dalam permainan ini, apabila sudah
menyangkut rival antar dua negara bertetangga ini. Yakni aspek politik, sosial,
dan budaya. Akibatnya permainan ini tidak lagi murni permainan antar dua tim
melainkan peperangan antar ego dua negara. Permainan yang mana masing-masing
pendukung membawa dalam setiap dirinya, bara yang siap membakar kapan saja.
Kenapa tim Indonesia bisa
kalah? Siapa pula yang patut dipersalahkan atas kekalahan ini? Cukupkah
dukungan sporter fanatik[1] sebagai
bahan bakar bagi pemain untuk melaju kencang menuju puncak kemenangan?
Kamis, 17 November 2011
Nyanyian dalam Islam
Nyanyian
dalam Islam
Baru-baru ini salah seorang kawan
bertanya, “bagaimana gerangan pandangan nyanyian terutama nyanyian Islami dalam
agama kita. Bukankah hal tersebut sama namanya dengan menyerupai orang-orang
kafir?”
Lebih lanjut dia bercerita kalau semasa kuliah
dulu pernah dia bertanya kepada salah seorang kawannya yang Kristiani, “apa gerangan
isi nyanyian di gereja?” Si kawan menjelaskan “yang kami nyanyikan ialah
puji-pujian kepada Tuhan”.
Beralaskan jawaban dari kawannya
tersebut, maka kawan ku yang satu ini beranggapan nyanyian Islami dianggap
menyerupai umat Kristiani dalam beribadah. Berdasarkan jawaban dari kawannya
tersebut maka dia sendiri yakin nyanyian dalam Islam merusak akidah, dia
sendiri lebih menyukai musik-musik non Islami semacam pop, jazz, ataupun musik
klasik.
Mungkin banyak diantara kita yang
berpandangan demikian, alangkah baiknya jika kita menengok sejenak Sejarah
Perkembangan Peradaban Islam. Hampir setiap suku bangsa di dunia (termasuk kita di Ranah Melayu ini) memiliki
tradisi sastra tertulis maupun lisan, sudah menjadi kebiasaan masyarakat pada
masa dahulu untuk mengubah sebuah sya’ir sebagai bentuk penghargaan tertinggi
apakah itu kepada Tuhan, manusia yang dikagumi (seperti penguasa atau tokoh
masyarakat), kekasih ataupun orang-orang yang dicintai, alam dan lingkungan
tempat tinggal. Terkadang pula di sebagian masyarakat, para ahli sastra
terutama penyair menduduki posisi terhormat dikalangan masyarakatnya.
Sebuah Pandangan terhadap Realitas Masa Kini
Tipu Daya Manusia
Sungguh aneh dunia zaman
sekarang, saking anehnya aku tak tahu harus memulai tulisan ini dari mana.
Bagaimana kalau ku awali saja dari salah satu percakapan ku dengan seorang
kawan perihal salah satu grup “penghujat” di Facebook. Walau para pendukung dan
pendiri dari grup ini menolak dengan keras kalau dikatakan bahwa mereka
merupakan sekumpulan orang kurang kerjaan yang kerjanya mencari masalah dengan
memperbincangkan hal-hal yang sensitif dalam kehidupan masyarakat. Namun tetap
saja bagi ku mereka terlihat seperti sekelompok anak sekolah yang masih bau kencur yang belum tahu apa-apa
mengenai kehidupan di dunia ini. Mencoba dengan idealisme sempit mereka
berusaha melawan arus dengan mengangkat topik-topik yang sebenarnya tidak
mereka pahami dengan baik.
Layaknya anak muda, mereka
kasar, tak beretika, cepat marah, dan tidak ada sopan santun dalam berbicara
dengan orang lain. Menganggap lawan bicara mereka bodoh dan patut diberi
pencerahan. Padahal sebenarnya merekalah yang seharusnya diberi pencerahan.
Namun pabila itu dilakukan kepada mereka maka akan menjadi senjata makan tuan
bagi yang melakukannya. Mata mereka buta dan telinga mereka telah pekak, hati
mereka telah lama mati. Mereka terlalu sombong dengan kehebatan cara berfikir
mereka yang-menurut mereka-hasil dari pendidikan tinggi yang mereka peroleh.
Berpendapat tentunya boleh-boleh
saja, di zaman sekarang semua orang
boleh mengeluarkan pendapat mereka. Sesuka mereka. Berbicara blak-blakan telah
menjadi budaya di negeri ini. Hal itu dianggap baik karena merupakan tradisi
keilmuan. Dosen saya dulu ketika masih kuliah pernah berkata “Bicara saja
saudara, disini anda diperbolehkan berbicara sesuka anda, beda dengan dunia di
luar sana.!” Tentunya kami menyambut dengan meriah ajakan tersebut, maka
banyaklah kawan-kawan yang pada dasarnya masih belum tahu apa-apa berbicara
mengenai ini dan itu. Kami diperkenalkan kepada ide-ide baru, pikiran-pikiran
cemerlang, dan tradisi baru dalam usaha membenahi masyarakat di luar sana yang
menurut para akademisi masih “jahiliyah”. Termasuk saya yang juga menjadi
korban, berfikir sinis terhadap pemikiran yang selama ini telah mendominasi.
Pada dasarnya ini baik, karena bagaimanapun juga sistim yang berlaku dan
berkembang dalam masyarakat pada saat sekarang ini merupakan buah pikir manusia
juga, jadi wajar jika terdapat kelemahan disana-sini. Mungkin hal inilah yang
mendorong para mahasiswa idealis untuk pergi berdemo, membela kepentingan
rakyat, mengkritisi pemerintah, dan berusaha mendobrak kemapaman. Tidak ada
yang salah, baik, sangat baik.
Tapi sayang, beribu sayang. Yang
kita hadapi ialah manusia bukan benda tak bernyawa. Tiap manusia memiliki
fikiran, pendapat yang berlainan. Seperti kata pepatah; rambut boleh sama hitam, namun fikiran tentunya berlainan. Yang
tidak difahami oleh para idealis ini ialah menghadapi manusia tidaklah mudah.
Kita tidak dapat berteriak-teriak di depan hidung mereka, lalu mereka
mendengarkan, dan setelah itu mereka berubah seperti yang kita inginkan. Tidak,
sekali lagi tidak. Bangunlah duhai orang-orang dungu, keluar dari cangkang
kalian, keluar dari planet kalian yang bernama “idealis”. Ini dunia nyata,
hidup tidak berjalan sesuai dengan apa yang ada di benak kalian.
Selasa, 15 November 2011
Kritislah terhadap berita
Rancangan untuk Indonesia yang Sekuler
Dewasa ini “orang-orang hebat” di Jakarta sering
menyebut-nyebut perihal pluralisme dan multikulturalisme. Semua ini biasanya
berujung pada kebebasan beragama. Isu ini muncul melihat gejolak ketidak
nyamanan dikalangan anak bangsa yang cenderung/mudah terjerumus pada konflik
yang berlatar belakang ras ataupun agama. Kita sendiri tidak pernah tahu
bagaimana konflik ini bermula di masa moderen ini, hanya saja kita sudah
mendengar dari media perihal konflik ini. Sungguh aneh dan menyedihkan karena
seiring dengan konflik antar agama muncul, maka muncul pula isu pluralisme,
liberalisme, sekularisme, dan multikulturalisme. Salah seorang aktivis Kontras ketika dimintai pendapatnya oleh
media menyikapi kasus pengusiran jemaat gereja di Bogor beberapa minggu yang
lalu mengungkapkan bahwa ada kepentingan politik yang terlibat di dalam konflik
ini.
Hal inilah rupanya selama ini terasa namun begitu
sukar untuk diungkapkan. Ya.. kepentingan politik, karena seperti yang kita
ketahui, gerakan politik di Indonesia saat ini mengarah pada satu titik, yakni
berusaha merubah ideologi negara ini menjadi berazas pada sekularisme. Dengan
menjadikan Islam sebagai sasaran tembak. Namun mereka selalu berusaha menutupi
gerak-gerik mereka dengan mengemukakan alasan gombal yakni “Pancasila” yang
selama ini menjadi dasar negara. Lupa mereka tampaknya pada sila pertama.
Selasa, 08 November 2011
Beribadahlah dengan sungguh-sungguh
Beretikalah di dalam Masjid..
Suatu peristiwa yang aneh, kalau
tidak boleh jika disebut mengesalkan terjadi suatu ketika pada saat menunaikan
Shalat Zuhur di surau. Ketika sedang asyiknya menunaikan ibadah shalat
tiba-tiba terdengar bunyi telpon genggam. Walau imam tak bosan-bosannya memberi
himbauan kepada para jamaah untuk mematikan (off) seluruh alat komunikasi milik
mereka ketika berada dalam masjid, namun terkadang masih tetap ada saja yang
lupa mematikannya.
Rupanya tidak untuk saat ini,
karena jamaah yang bersangkutan sepertinya sengaja membiarkan telpon genggamnya
tetap menyala selama dia berada di dalam masjid. Awalnya para jamaah mengira,
dia akan mematikan atau setidaknya membiarkan sampai telponnya tersebut
berhenti berdering. Rupanya tidak, dia berhenti shalat dan menjawab panggilan
tersebut.
Alangkah herannya karena yang
bersangkutan tidak pergi ke luar untuk menjawab panggilan telponnya melainkan
tetap berada di dalam masjid hanya saja dia pergi agak ke belakang arah yang
lebih dekat ke jamaah perempuan. Tentunya suaranya masih terdengar oleh jamaah
lain yang sedang menunaikan ibadah Shalat Zuhur. Ketika shalat, biasanya surau
atau masjid berada dalam keadaan sunyi, tentunya suara yang dibuat sekecil
apapun akan terdengar oleh para jamaah. Setelah menyelesaikan percakapannya,
orang yang bersangkutan tanpa ada rasa bersalah atau segan, kembali shalat.
Sebelumnya dia sudah masbuq, dan sekarang tentunya dia sudah tertinggal lebih
banyak raka’at shalat.
Sabtu, 05 November 2011
Lambaian dari masa dahulu II
Tulisan ini merupakan lanjutand dari tulisan edisi sebelumnya. Masih dimuat di surat kabar Soeara Boemi Poetera.
7 Februoeari 1926
Sebagai verslag[1] dari
kita punya dienstreis[2], di
bawah ini dilukiskan pendengaran-pendengaran yang kira-kira boleh juga
menyenangkan telinga.
1
Tuan
|
:
|
Kenapa kwee[3]
datang telaat?
|
Engku
|
:
|
Kalau kwee
datang telat, barangkali tuan sudah lapar, saya boleh tolong liat-liat
dipintu, dan kalau kwee sudah
datang saja boleh panggil buat tuan.[4]
|
Tuan
|
:
|
Nee...!! Saya tidak mau makan tetapi kwee (dengan menunjuk kepada engku)
kenapa datang telat kerja?
|
Engku
|
:
|
O.. tuan mau bilang diri saya!? Tentu saya salah
mengerti, kerna itu perkataan kwee
bukan perkataan Melayu, tetapi itu cara tangsi. Lain kali tuan boleh panggil
“engku” atau saya punya pangkat.
|
Tuan
|
:
|
Ya, saya tidak begitu bisa cara Melayu.
|
Engku
|
:
|
Tuan mesti ajar sedikit-sedikit, sebab tuan
tinggal di Negeri Melayu.
|
Tuan
|
:
|
Nou!............!!!
|
2
Tuan
|
:
|
Kenapa waang
tidak bikin kelar itu kerja?
|
Engku
|
:
|
Tuan! Saya sudah berpangkat penghulu dan sudah
bergelar Datuk. Kurang baik kalau Tuan panggil waang di muka orang banyak.
|
Tuan
|
:
|
|
Engku
|
:
|
Kalau orang Melayu, satu anak panggil jij kepada Bapaknya, tentu anak itu
masuk neraka hidup-hidup.
|
Tuan
|
:
|
Jadi apa saya musti panggil waang?
|
Engku
|
:
|
Jangan tuan ulang juga. Kalau tuan mau panggil
saya, boleh sebut saya punya gelar, atau pangkat. Tuan lihat di hoofdbereau[7]
S.S Padang, di sana tuan-tuan sampai mengerti Adat Melayu, kalau gelar orang
Datuk dipanggil Datuk, kalau Sutan dipanggil Sutan, atau sekurang-kurangnya
perkataan “engku”. Manis bukan?
|
Tuan
|
:
|
Jooahh!!
|
3
Tuan
|
:
|
Hei! Hei! (sekali lagi) Hei!
|
Engku
|
:
|
............ (diam saja)
|
Tuan
|
:
|
Hei! Hei! Apa tidak dengar?
|
Engku
|
:
|
Ya, saya dengar, tetapi itu “hei” bukan saya
punya nama.
|
Tuan
|
:
|
Ach.. banyak cincong, toch dalam dienst (layanan).
|
Engku
|
:
|
Betul dalam dienst, tetapi pakai adat juga.
|
[1]
Laporan
[2]
Misi
[3]
Bahasa Cina, artinya kamu
[4]
Si Engku mengira, kalau yang dimaksudkan oleh si Tuan ialah kue.
[5] Dimasa
kolonial, selain disebut dengan sebutan Orang
Minangkabau secara resmi, suku bangsa Minang lebih dikenal dengan sebutan
Orang Melayu.
[6]
Kamu
[7]
Markas Besar
Sabtu, 29 Oktober 2011
Dari Koran Lama
Soeara Boemi Poetera.S.S
Tahun ke II
Satu hal yang tidak salah kalau dikatakan ajaib, baru ini telah terjadi, yalah seorang tukang kebon nama Amat yang bekerja tiap hari membersihkan pekarangan sekolah M.u.l.o di Padang, waktu pada satu hari orang akan mengadakan examen[1] buat kleinambtenaar, tukang kebun si Amat itu mintak permisi kepada induk semangnya lamanya tiga hari tersebab satu urusan.
Tetapi apakah sudah terjadi?
Kiranya dalam kumpulan candidaat-candidaat yang akan membikin kleinambtenaarsexamen itu kedapatan si Amat Tukang Kebon, sehingga menjadi suatu keheranan amat besar sekali kepada tuan Directeur dari sekolah M.u.l.o kerna sebegitu lama si kebun dikenal oleh tuan tersebut , belum pernah ia berbicara dalam bahasa Belanda dengan siapa juga dan walaupun barang sepatah.
Lambaian dari masa dahulu
Tanggal 26 sampai 28 Oktober tahun 2011 tepatnya hari Arba’a hingga hari Jum’at saya dan seorang kawan bernama Ronal yang merupakan satu kantor dengan ku, mengadakan penelitian di PDIKM Padang Panjang. Tujuan kami ialah guna mencari arsip ataupun dokumen yang berhubungan dengan Kota Sawahlunto. PDIKM merupakan kependekan dari Pusat Dokumentasi dan Informasi Kebudayaan Minangkabau. Di tempat ini, berbagai macam arsip tersimpan, ada yang berasal dari zaman Kolonial hingga masa sekarang.
Sembari mencari-cari arsip, tak sengaja rupanya saya menemukan beberapa arsip yang berasal dari koran lama. Membaca bacaan tempo dulu apakah itu koran, dokumen, atau arsip berbahasa Melayu amatlah menyejukkan hati, setidaknya bagi diri penulis sendiri. Hal ini karena penulis merupakan salah seorang penyuka sastera lama, utama sekali angkatan Balaipustaka. Bagi orang masa kini membaca bacaan masa lama merupakan suatu hal yang membosankan, adakalanya mereka menertawakan ragam bahasanya karena menurut pendapat mereka masa sekarang, gaya bahasa orang zaman dulu amatlah lucu. Namun yang membuat sedih kadang kala mereka menertawakan sambil mencemooh.
Bagi kita penyuka sastra Melayu tentunya sering merenungi, bahwa bahasa orang zaman lampau amatlah halusnya, indah terdengar, dan menentramkan jiwa. Bahasa orang zaman sekarang sungguh kering, kasar, dan blak-blakan. Tentunya kita sangat faham bahwa ada yang hilang dari diri kita zaman sekarang. Yang hilang itu ialah rasa/raso, orang zaman dahulu bertindak dan berucap berdasarkan hati, ditimbang baik-buruk, apakah sesuai dengan adat atau tidak, apakah tersinggung orang atau tidak, apakah kasar atau tidak jika diucapkan? Sangat berlainan sekali dengan adat orang zaman sekarang.
Itulah kiranya yang membuat saya hendak memuat salah satu petikan kisah dari zaman dahulu yang dimuat dalam sebuah koran yang bernama Soeara Boemi Putera.S.S yang terbit di Bandar Padang pada tahun 1926. Aslinya koran ini memakai ejaan lama, namun karena banyak diantara generasi masa sekarang yang tak faham cara membaca ejaan lama, maka penulis dalam hal ini mengambil kebijaksanaan untuk menggunakan ejaan yang dapat difahami.
Dikarenakan panjangnya karangan yang hendak dimuat maka dalam hal ini kami terpaksa menerbitkannya dalam kesempatan yang berbeda. Mohon pembaca memaklumi,..
Selamat menikmati...
Kamis, 22 September 2011
Yang Hilang dari Sumatera Barat
Jejak Mak Itam di Bukittinggi
Tahukah engkau foto apa itu kawan? Ah, aku tak tahu namanya, yang aku tahu foto tersebut merupakan foto dari salah satu alat pengantur lalu lintas bagi kereta api. Foto ini ku ambil di Tanjuang Alam, sebuah kampung yang terletak di Jalan Raya Bukittnggi-Payakumbuh, sekitar delapan kilometer dari Bukittinggi.
Sedih sekali kawan, karena keadaan jalur kereta api disini sudah lama tak terawat, ditumbuhi semak belukar. Kalau tak salah ingat, ketika aku masih kecil jalur-jalur kereta api sepanjang Payakumbuh-Bukittinggi dan Bukittinggi-Padang Panjang tidak pernah dilalui oleh kereta api. Kecuali jalur-jalur di Lembah Anai yang menuju Padang, jalur ini dilewati oleh kereta pengangkut batubara. Jika kereta lewat selalu ku pandangi hingga tak terlihat lagi, tak jarang orangtua ku membangunkan ku jika aku tertidur di atas mobil. Ketika itu, kereta api bagi ku merupakan sesuatu yang unik, menarik, dan menimbulkan rasa ingin tahu.
Rabu, 14 September 2011
Bukik Tinggi-Luhak Agam
Bukik Tinggi Koto Rang Agam
Bukittinggi adalah kota kelahiran ku, walau nyatanya rumah ku berada di luar wilayah administratif kota ini. Aku berasal dari salah satu nagari yang merupakan wilayah administratif dari Kabupaten Agam. Sedangkan Bukittinggi berada 12 Km dari kampung ku, Bukittinggi merupakan kota kecil yang saat ini terus berkembang. Berdasarkan Peraturan Pemerintah yang aku lupa nomornya, wilayah kota ini seharusnya sudah diperluas, seperti layaknya Kota Sawahlunto. Namun hingga kini perluasan tersebut masih terhalang karena ditentang oleh rakyat yang nagari mereka hendak dimasukkan ke dalam wilayah kota ini. Entah apa penyebab penolakan mereka, aku hanya mendengar kabar angin yang aku ragukan kebenarannya, makanya tak dapat aku sebutkan disini.
Sumber Foto: Internet
Bukik Tinggi Koto Rang Agam, begitulah bunyi sepenggal sair lagu Elly Kasim, penyanyi kebanggan Rang Minang. Makna lagunya sungguh menggambarkan realitas yang ada di daerah kami. Secara administratif Bukittinggi dan Agam merupakan wilayah Tingkat Dua yang berbeda dan sejajar namun secara sosial-budaya kedua daerah ini sebenarnya satu. Wilayah Kabupaten Agam sekarang, sebagian besar merupakan wilayah dari Luhak Agam, kecuali Tiku[1] dan beberapa daerah lainnya yang terletak arah ke Lubukbasung. Sedangkan Bukittinggi yang dulunya bernama Pasa Kurai[2] merupakan bagian dari Luhak Agam. Makanya orang Bukittinggi juga disebut orang Agam karena secara kultural Bukittinggi merupakan bagian dari Luhak Agam, salah satu dari tiga Luhak yang diyakini sebagai daerah asal orang Minangkabau. Aku teringat tulisan Bung Hatta diawal Memoirnya, kira-kira begini bunyi kutipannya:
Senin, 12 September 2011
Nasehat dari Sang Panglima
Wasiat Sulthan Muhammad Al-Fatih Kepada Anaknya.
Seketika, saya terharu membaca beberapa helaian yang mencatat isi sebahagian wasiat dan nasihat Sulthan Muhammad Al-Fatih kepada anaknya ketika beliau di ambang kematian. Terasa seolah-olah Al-Fatih sedang berbicara di hadapan saya.Cukup menyentuh, memberi kesan serta muhasabah buat mereka yang bergelar pimpinan.
Beliau Berkata:
-Jadilah seorang yang adil, shaleh, dan penyayang.
-Pemudahkan (jangan menyusahkan) atas pemeliharaanmu (terhadap sesuatu urusan) tanpa ada diskriminasi.
-Beramallah untuk menyebarkan agama Islam, kerana itu adalah kewajiban pemimpin di atas muka bumi.
-Utamakan perkara-perkara agama di atas segala sesuatu, dan jangan kamu hilangkan ketabahan ( untuk melaksanakannya ).
Minggu, 21 Agustus 2011
Di Jalan Tempat Pedagang Wangi-wangian
Seorang pengais sampah, yang sedang berjalan-jalan di tempat
orang berjualan wangi-wangian, tiba-tiba terjatuh
seakan-akan mati. Orang-orang berusaha menghidupkannya
kembali dengan bau-bauan wangi, namun keadaannya malah
semakin parah.
Akhirnya seorang bekas pengorek sampah datang; ia mengetahui
keadaan itu. Ia mendekatkan sesuatu yang berbau busuk di
hidung orang itu, yang segera saja segar kembali, teriaknya,
"Nah, ini dia wangi-wangian!"
Senin, 08 Agustus 2011
Batas Dogma
Pada suatu hari, Sultan Mahmud yang Agung berada dijalan di
Ghazna, ibu kota negerinya. Dilihatnya seorang kuli
mengangkut beban berat, yakni sebungkah batu yang didukung
di punggungnya. Karena rasa kasihan terhadap kuli itu,
Mahmud tidak bisa menahan perasaannya, katanya memerintah:
"Jatuhkan batu itu, kuli."
Perintah itupun langsung dilaksanakan. Batu tersebut berada
di tengah jalan, merupakan gangguan bagi siapapun yang ingin
lewat, bertahun-tahun lamanya. Akhirnya sejumlah warga
memohon raja agar memerintahkan orang memindahkan batu itu.
Sabtu, 06 Agustus 2011
Ummu Salmah Radhiallahu 'Anha
Lembaran sejarah hijrah Ummat Islam ke Madinah, barangkali tidak bisa melupakan torehan tinta seorang ibu dengan putrinya yang masih balita.
Keduanya, hanya dengan mengendarai unta dan tidak ada seorang lelakipun yang menemaninya, meski kemudian ditengah jalan ada orang yang iba dan kemudian mengantarnya, berani menembus kegelapan malam, melewati teriknya siang dan melawan ganasnya padang sahara, mengarungi perjalanan yang amat panjang dan melelahkan, kurang lebih 400 km. Dialah Salamah dan ibunya, Hindun bin Abi Umayyah atau sejarah lebih sering menyebutnya dengan Ummu Salamah.
Langganan:
Postingan (Atom)
Sabtu, 31 Desember 2011
Rabu, 28 Desember 2011
Tahun Baru Kalender Gregorian
Perayaan Pergantian Tahun Matahari
Sudah menjadi kebiasaan yang lazim di negara ini bahwa setiap pergantian tahun merupakan momen yang selalu dinanti. Begadang hingga tengah malam menjadi saksi bergantinnya tahun. Beragam bentuk atau ritual yang dilakukan dalam rangka menyambut tahun baru. Mulai dari pesta, apakah itu pesta kecil yang dihadiri keluarga, kenalan, serta handai-taulan. Sampai ke pesta-pesta besar di pub, dikotek, klub malam, kafe, hotel, gedung pertemuan, pusat perbelanjaan, ataupun di stasiun-stasiun TV yang menayangkan secara langsung momen pergantian tahun. Adapula yang memilih untuk pergi mendaki ke puncak gunung. Ritual yang satu ini boleh dikatakan hampir merata di seluruh pelosok Indonesia. Di setiap puncak-puncak gunung yang ada di Indonesia dikibarkan bendera merah putih. Inilah wujud dari rasa nasionalis yang ditunjukkan oleh beberapa orang generasi muda Indonesia.
Namun ada juga yang melakukan hal lain, seperti selain mengadakan atau mengikuti pesta mereka akan menghabiskan malam dengan kekasih mereka. Tak jarang hubungan semacam ini akan berakhir dengan kelakuan terlarang (yang merupakan bentuk lain dari hubungan di atas ranjang, dapat juga beralas koran, atau tanah dilapangan terbuka. Dapat bermacam-macam alas yang dipakai, atau bahkan tidak beralas). Tentunya minuman alkohol sudah menjadi kebutuhan primer di moment penting semacam ini. Bahkan ada yang ditemani dengan obat-obatan terlarang. Ada pula yang mengunjungi tempat-tempat wisata semacam tepi pantai yang merupakan salah satu lokasi favorit untuk menghabiskan malam tahun baru. Apalagi jika didampingi oleh sang kekasih.
Hampir setiap tahun orang-orang saling bertanya “Kemana tahun baru kemarin?” atau “Menghabiskan malam tahun baru dimana?”. Suatu pertanyaan yang menunjukkan perhatian dan kepedulian. Namun sesungguhnya merupakan wujud dari ketidak-tahuan dari hakekat tahun baru itu sendiri.
Pernahkah kita bertanya kenapa tahun baru dirayakan? Kenapa satu Januari yang dijadikan awal mula tahun? Kenapa begini dan kenapa begitu?
Tidak..! Sebagian besar dari kita menerima begitu saja. Menerima tanpa mempertanyakan, begitulah generasi sekarang. Bukan..bukan menerima, melainkan meniru, mencontoh, atau latah kata orang Jakarta. Tidak ada proses berfikir dalam hal ini, yang ada ialah perasaan keren dan up to date jika kita ikut merayakan, merayakan perayaan yang dirayakan oleh kelompok sosial tertentu, komunitas tertentu, atau penganut kebudayaan tertentu. Hal ini terjadi karena kita kehilangan kepercayaan diri, merasa rendah diri, atau minder kata anak-anak gaul Jakarta. Kita selalu menganggap kecil diri sendiri, sehingga sering merasa malu dengan kebudayaan kita, yang merupakan identitas kita sebagai sebuah bangsa.
Sekarang, marilah kita menengok kembali sejarah penetapan tahun baru masehi. Sebenarnya tidak tepat juga jika kita sebut sebagai tahun Masehi. Karena tahun Masehi merujuk kepada kelahiran Yesus. Sedangkan dikalangan sejarawan masih muncul keraguan apakah benar Yesus lahir pada bulan dan tahun yang diyakini tersebut.
Label:
1 Januari,
gregorian,
Janus,
julian,
julius caesar,
pangan,
perayaan,
romawi,
Tahun baru
Selasa, 27 Desember 2011
Kekayaan yang Membawa Petaka
Mimpi Indah Memajukan Negeri
Uang(Investor) Bukanlah Segalanya
Belum habis cerita mengenai Mesuji di Lampung, belum kering air mata yang mengalir atas nyawa yang melayang, belum terbalas perbuatan keji yang diderita oleh rakyat tak berdaya. Namun beberapa hari yang lalu muncul berita baru, berita yang tak kalah menyedihkannya dengan yang di Lampung.
Tempat kejadiannya berada di daerah bagian timur dari Republik ini, daerah yang kaya akan sumber daya alam namun miskin dalam kehidupan masyarakatnya. Faktor pemicunya sama dengan yang di Lampung yakni uang, uang, dan uang yang berwujud kepada investor yang memiliki perusahaan-perusahaan besar. Nusa Tenggara Barat nama provinsinya dan negeri yang bernama Lambu, Sape dan Langgudu yang manjadi saksi penderitaan rakyatnya. Negeri seluas 14.318 Ha begitu memikat bagi Abdi Uang karena negerinya menyimpan kandungan emas.
Rakyatnya hanya bekerja sebagai nelayan dan petani, mereka memiliki pelabuhan di Sape yang menjadi pusat tragedi. Pada tahun 2008 sebuah perusahaan datang dengan membawa tawaran investasi kepada pemerintahannya. Ditanda tangani kontrak selama 25 tahun untuk penambangan emas. Kemudian pada tahun 2010 kontraknya diperbaharui oleh Pemda Bima dengan mengeluarkan Surat IUP bernomor 188/45/357/004/2010.
Label:
Gubernur SUmbar,
Investor,
Mesuji,
NTB,
Pemda,
SDA,
Sumatera Barat
Jumat, 23 Desember 2011
Hari Ibu???
Asal Usul Hari Ibu
Pada tanggal 22 Desember setiap tahunnya diperingati sebagai “Hari Ibu” di Indonesia. Walau tidak ditetapkan sebagai hari libur nasional, peringatan hari ibu ini cukup semarak. Apalagi ditengah-tengah zaman “jejaring sosial” seperti saat ini. Ribuan status mengucapkan selamat hari ibu, beberapa pusat perbelanjaan di beberapakota di Indonesia menyemarakkan hari ibu dengan membagikan aneka kue sebagai wujud terimakasih kepada seorang ibu. Belum lagi para politisi sok akrab yang membuat spanduk mengucapkan selamat merayakan hari ibu.
Apakah kita tahu kenapa tanggal 22 Desember ditetapkan sebagai hari ibu di Indonesia? Bagaimana pula asal mulanya peringatan atau perayaan ini? Dan kenapa pula kita mesti merayakannya?
Saya yakin banyak diantara kita yang tidak tahu kenapa sampai ada perayaan ini dan kenapa pula tanggal 22 Desember ditetapkan sebagai tanggal keramat untuk perayaan hari ibu. Ya.. karena sebagian dari kita lebih suka ikut-ikutan tanpa mencari tahu makna dan tujuan dari suatu peristiwa, kegiatan, atau apapun itu namanya. Kita, terutama generasi muda akan merasa tertinggal dari generasi muda lainnya jika tidak merayakan hari yang di Barat populer dengan sebutan “Mother Day”. “tidak cool kalau tidak merayakannya” begitu kira-kira suara hati anak muda zaman sekarang.
Kamis, 22 Desember 2011
Lomba Blog Wisata Sejarah
Sawahlunto
Belanda Kecil di Daratan Tinggi Minangkabau
Penduduk Minangkabau mengenal Sawahlunto sebagai “Kota Baro”, baro merupakan Bahasa Minangkabau dari “bara” yang mengacu kepada batubara. Batubara telah lama ditambang di Sawahlunto, karena bahan tambang inilah kota ini lahir. Orang-orang Belanda membangun kota ini disebabkan penemuan batubara yang diumumkan pada tahun 1870 oleh ahli pertambangan mereka. Insyinyur yang sangat berjasa dalam penemuan batubara ini ialah William Hendrik de Greve.
Batubara memang bertuah, bagaimana tidak? Karena bahan tambang jenis ini sangat diperlukan oleh pasar dunia. Di abad ke-19 teknologi mesin uap merupakan primadona, untuk menggerakkan mesin-mesin ini digunakan batubara sebagai bahan bakar. Oleh karena itulah orang-orang Belanda begitu bersemangat mengeksploitasi daerah ini.
Banyak peninggalan orang-orang Belanda selama mendiami daerah ini. Utama sekali dipusat Kota Sawahlunto. Pusat kota terletak di suatu lembah yang dahulunya merupakan areal persawahan milik penduduk dari Nagari Kubang.[1] Lembah ini dialiri oleh sebuah sungai yang biasa disebut oleh masyarakat setempat dengan Batang Lunto[2]. Lunto merupakan nama salah satu nagari di sekitar Sawahlunto yang daerahnya dilalui oleh aliran sungai ini. Karena sungai ini mengalir melewati nagari ini maka masyarakat setempat menamai sungai itu dengan nama Batang Lunto (Sungai Lunto).
Orang-orang Belanda memilih daerah ini sebagai pusat pemerintahan, Lembah Sugar namanya. Sekarang lebih dikenal dengan nama Lembah Segar yang pada saat ini menjadi nama salah satu kecamatan di kota ini. Dikelilingi oleh perbukitan dan dialiri oleh aliran sungai di dasar lembah. Tempat ini menjadi tempat yang cocok untuk mengembangkan pemerintahan. Selain itu di tempat ini juga ditemukan kandungan batubara. Loebang Tambang Soero yang pada saat sekarang ini menjadi salah satu objek wisata andalan di Sawahlunto merupakan lubang tambang pertama di Sawahlunto.
Pembangunan pertama yang dilakukan Belanda di lembah ini ialah pembangunan PLTU Kubang Serakuk yang berfungsi dalam rentang waktu 1894-1924. Merupakan PLTU pertama di Sumatera Barat. Sebelumnya, tepatnya dalam rentang waktu 1887-1894 telah mulai dibangun jalur kereta api menuju Emma Heven atau sekarang bernama Teluk Bayur. Pada saat sekarang ini bangunan PLTU tersebut sudah tidak ada, sekitar tahun 1950-an dibangun Masjid Agung dibekas bangunan PLTU tersebut. Walau bangunannya sudah tidak ada, namun cerobong asap peninggalan zaman keemasan PLTU tersebut masih ada dan dijadikan menara adzan untuk Masjid Agung Nurul Iman. Di depan Masjid Agung Nurul Iman terdapat sebuah rumah yang dibangun tahun 1920, dahulunya merupakan kediaman Asisten Residen. Kini bangunan tersebut menjadi rumah dinas bagi Walikota Sawahlunto.
Terdapat sebuah gedung yang hingga saat ini tetap menjadi Landmark Kota Sawahlunto. Bangunan tersebut dibangun pada tahun 1916 yang digunakan sebagai kantor bagi Perusahaan Pertambangan Ombilin. Gaya arsitekturnya khas kolonial dan hingga kini masih berfungsi sebagai bangunan kantor bagi perusahaan tambang yang sekarang telah beralih nama menjadi PT. Tambang Batubara Bukit Asam Unit Pertambangan Ombilin (PT.BA-UPO).
Minggu, 18 Desember 2011
Rumah Gadang, tinggal kenangan...
Ini merupakan foto salah satu Rumah Gadang yang masih ada di beberapa nagari di Minangkabau. Pada saat sekarang ini, rumah gadang sudah menjadi barang langka di Minangkabau. Banyak pelancong yang kecewa karena tidak berhasil menemukan nagari yang ramai dengan rumah bagonjongnya.
Gambar di samping merupakan gambar salah sati jenis rumah gadang di Minangkabau. Dari gaya arsitekturnya dapat dilihat kalau rumah ini bertipe Kelarasan Bodi Chaniago. hal ini dapat dilihat dari bentuk atap pada masing-masing sisi samping gonjong.
Rumah ini tidak berukir, hal ini karena pada masa dahulu hanya orang-orang beruanglah yang sanggup mengupah tukang ukir untuk mengukir rumahnya. Sehingga rumah berukir di sebagian besar nagari di Minangkabau merupakan sebagai tanda kekayaan yang dimiliki suatu keluarga. Namun hal ini tidak berlaku di semua nagari di Minangkabau. Salah satu nagari di Kubung Tigo Baleh yakni di Nagari Selayo yang berbatasan langsung dengan Kota Solok, kebanyakan rumah gadangnya memiliki ukir. Menurut salah seorang penduduk di sana, memang sudah lazim di nagarinya hal yang demikian.
Sebentar lagi rumah gadang seperti yang terlihat pada gambar akan segera punah dari Minangkabau. Digantikan oleh rumah-rumah dari susunan bata dan semen, tak berkolong, bahkan ada yang sama tinggi dengan halaman. Hilanglah salah satu ciri Kebudayaan Minangkabau. Kenapa demikian? Karena pada rumah gadang tidak hanya terdapat ciri dari arsitektur tradisional Minangkabau akan tetapi juga padanya falsafah hidup dari si penghuni. Falsafah hidup yang amat dalam nilai dan maknanya. Falsafah Hidup yang hampir semua orang Minangkabau telah tinggalkan.
Sabtu, 17 Desember 2011
"Belajarlah dari pengalaman orang lain" Saidina Ali
Sudah beberapa hari ini pemberitaan di negara ini diramaikan oleh kasus pembantaian yang di duga terjadi di sebuah daerah di pedalaman Pulau Sumatera. Sangat aneh sekali mendengar kata “pembantaian” karena kata ini biasanya digunakan pada kondisi tertentu seperti di tengah kancah peperangan, pertikaian dua negara atau rezim, ataupun agresi dari negara yang kuat terhadap negara yang lemah. Lalu kenapa hal semacam ini dapat terjadi di Indonesia yang katanya negara merdeka, menganut paham kebebasan, pluralisme dalam segala hal, serta pada saat sekarang sedang tidak dalam kondisi perang? Apa gerangan yang terjadi pada negara ini?
Alkisah di negara ini ada suatu daerah yang bernama Mesuji (ketika pertama kali mendengar nama ini, aku pikir ini nama suatu daerah di Negeri Para Samurai-Jepang). Daerah ini terletak di perbatasan dua propinsi di Pulau Sumatera, yakni Propinsi Sumatera Selatan dan Propinsi Lampung. Konon kabarnya daerah Mesuji masuk ke dalam wilayah administratif dua propinsi ini. Sehingga ada dua daerah Mesuji yakni Mesuji-Lampung dan Mesuji-Sumsel. Kedua daerah ini hanya dipisahkan oleh sebuah sungai.
Daerah ini merupakan daerah terisolir, minim pembangunan. Konon kabarnya semenjak tahun 2003 sudah ada sebuah perusahaan perkebunan dari negara tetangga yang dipimpin oleh seseorang yang bernama Benny Sutanto atau biasa disapa Abeng yang membuka lahan perkebunan di daerah ini. Namun sayangnya hal ini mendapat penentangan dari penduduk. Maka konflik antar pengusaha dan rakyatpun pecah. Puncaknya ialah semenjak tahun 2009-2011 ini. Katanya sudah 30 nyawa yang menjadi korban. Dibantai bak hewan, sehingga banyak orang yang terguncang karena pernah menyaksikan salah satu anggota keluarganya dibantai. Hingga kini, pihak keamanan masih belum berkomentar, tidak mengiyakan, tidak pula menidakkan. “Hendak mencari perusuh yang menyerang perkebunan” katanya.
Label:
Gubernur SUmbar,
Investor,
Petaka,
SDA,
Tanah Ulayat,
Uang
Kamis, 15 Desember 2011
Beda Politikus dengan Non Politik
Dari Kota Tambang ke Kota Wisata
Visi seorang Pemimpin
Tidak seorangpun yang akan menyangka, bahkan penduduk Sawahlunto sekalipun. Bahwa kota mereka yang berada diambang pesimisme berhasil kembali bergairah gerak kehidupannya. Siapa gerangan yang akan mengira, bahwa kota yang selama ini mengandalkan batubara sebagai andalan utama dalam menggerak segenap kehidupan warganya akan berubah haluan.
Kota ini pernah mengalamai sakaratul maut, bagaimana tidak. Batubara yang lebih selama satu abad ditambang di kota ini telah begitu menyatu dengan warganya. Menjalar menjadi urat nadi di kehidupan warga kota ini. Karena batubara kota ini lahir, karena batubara kota ini hidup, akankah karena batubara jua kota ini mati?
Telah banyak yang pindah dari kota ini begitu produksi batubara mengalami penurunan. Menjual segenap harta benda yang dimiliki dan pindah ke daerah lain guna memulai lembaran baru. Namun segala berubah. Berubah hanya karena satu orang, ya..cukup satu orang untuk mengubah segalanya.
Tahun 2003 merupakan titik balik dari ini semua, pada tahun ini kereta api berhenti merayap di Sumatera Barat. Selama ini, jalur kereta api hanya dilalui oleh kereta pengangkut batubara dari Sawahlunto ke Telukbayur, lain tidak. Telah lama jalur kereta api di tempat lain di Sumatera Barat tidak digunakan. Kereta sebagai pengangkut manusia telah tiada, yang ada hanya kereta pengangkut baro (batubara).
Pada tahun inipula Kota Sawahlunto dipimpin oleh orang baru, orang dengan visi baru,dan dengan ide baru. Talawi kampungnya, Sawahlunto kotanya. Namanya Amran Nur, seorang insyinyur teknik tamatan ITB. Entah apa yang ada dibenaknya, yang jelas sekarang dia yang menjadi pemimpin di Sawahlunto. Kata orang dia pemarah, mejapun bisa terbang jika dipukulnya, jika seorang pejabat kena panggil ke kantor balaikota alamat badan tak selamat, menggillah badannya, mengalirlah keringat dingin disekujur tubuhnya.
Rabu, 07 Desember 2011
Feminisme di Minangkabau
Sumando
Kacang Miang
Gender adalah
suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perampuan yang
dikonstruksikan secara sosial maupun budaya. Sedangkan ideologi gender adalah
segala sesuatu aturan yang mengatur hubungan antara laki-laki dan perempuan
melalui pembentukan identitas feminis dan maskulin. Melalui cara pandang
seperti ini para feminis berusaha mengubah konstruksi budaya yang telah lama
berlaku di masyarakat Indonesia (terutama Minangkabau) mengenai perempuan. Bahwa
perempuan itu harus lemah lembut, penurut, setia, selalu tinggal dirumah,
bekerja didapur dan dengan sabar menunggu suami pulang kerja, serta mengurus
suami dan anak-anak. Menurut mereka laki-laki dan perempuan diciptakan dengan
hak dan kewajiban yang sama dan tidak sepatutnya kaum perempuan dibatasi fungsi
dan peranannya pada satu bidang saja yakni bidang domestik (rumah tangga).
Sumber Foto: Internet
Bagi mereka(feminis)
yang dimaksudkan dengan kodrat bagi perempuan ialah hamil, melahirkan,
menyusui, datang bulan/haid, serta memiliki beberapa bagian tubuh yang berbeda
dari laki-laki. Kodrat bagi mereka tidak mengurangi atau menghambat dalam
melakukan aktifitas karena menurut mereka antara laki-laki dan perempuan
memiliki fungsi dan peranan yang sama. Jadi dalam hal ini mereka menuntut keadilan
(kesetaraan gender) bagi perempuan, menuntut untuk diberi kesempatan, peranan,
hak, kewajiban, dan tanggung jawab yang sama dengan laki-laki.
Kita tidak
perlu menggunakan dalil-dalil agama dan adat dalam persoalan ini, saya akan
mengajak anda untuk menggunakan logika sederhana. Kita tentunya pernah
mendengar mengenai teori “keseimbangan” yakni kaya-miskin, tua-muda,
kuat-lemah, siang-malam atau yin dan yang
dalam kebudayaan Cina, ada juga yang mengatakan contoh-contoh yang saya
sebutkan di atas ialah berpasangan. Sekarang apa jadinya jika semua orang menjadi
kaya atau semuanya jadi orang miskin, atau orang-orang yang mediami bumi ini
berumur tua atau muda kesemuanya, atau dihuni oleh orang-orang kuat saja atau sebaliknya,
akankah ada kehidupan di bumi ini? Kehidupan di dunia diciptakan oleh Sang
Pencipta dengan memelihara keseimbangan, dimana salah satunya ialah saling
mengisi dalam kekurangan.
Label:
Feminisme,
Minangkabau.,
Pluralis,
Sepilis
Minggu, 27 November 2011
Sejarah 1 Muharam
Satu Muharam
Sisi
lain Sejarah Satu Muharam
Seiring dengan masuknya waktu
magrib pada hari Sabtu tanggal 30 Zulhijjah 1432 H yang bertepatan dengan 26
November 2011 maka resmilah umat muslim memasuki bulan Muharram 1433 H. Tentunya
ada yang heran kenapa bukan pada pukul 12 tengah malam seperti layaknya tahun
baru masehi. Memang, dalam metode penghitungan penanggalan Muslim, berakhirnya
suatu bulan akan ditandai dengan nampaknya hilal di langit senja. Metode yang mana
dilakukan oleh MUI ketika hendak menentukan awal dan akhir Ramadhan. Sebenarnya
hal tersebut tidak berlaku hanya pada penentuan bulan Ramadhan saja, melainkan
pada setiap bulan pada kalender Islam.
Entah telah berapa Muharram yang
kita lewati. Kita selalu merayakannya, ceramah-ceramah di masjid-masjid ataupun
pidato dari pejabat resmi pemerintah selalu menyinggung tentang Hijrahnya nabi
kita dari kampungnya Mekkah ke Madinah al Mukarramah. Penyebabnya ialah kekejaman
kaum kafir Quraisy, berbagai tekanan yang dihadapi oleh umat muslim ketika itu,
dan lain sebagainya. Atau tentang makna hijrah itu sendiri, yang tidak selalu
makna hijrah secara fisik akan tetapi juga bathin. Dari pribadi yang kurang
religius menjadi pribadi yang religius, begitulah kira-kira.
Namun pernahkah kita diberitahu,
kenapa tanggal satu Muharram dijadikan sebagai awal tahun Islam, kenapa kiranya
hingga Hijrahnya nabi dijadikan patokan sebagai permulaan abad Islam, dan sejak
kapan penanggalan hijriyah ini mulai dikenal, apakah semenjak zaman nabi atau
sudah ada semenjak sebelum kenabian beliau?
Rabu, 23 November 2011
Dewasalah, grow up..
Sebuah Renungan
Atas Kekalahan Timnas Indonesia
Kekalahan yang diderita Timnas
U-23 dari Malaysia pada pertandingan Final SEA Games pada Senin malam tanggal
21 November 2011 menyisakan duka yang menyakitkan bagi sebagian besar penyuka
olahraga sepakbola tanah air. Bagaimana tidak, Timnas Malaysia merupakan musuh
bebuyutan yang amat dibenci oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Kenapa
demikian? untuk menjawab pertanyaan ini akan menghabiskan banyak huruf dan
rangkaian kata. Sebut saja perseteruan mengenai masalah perbatasan kedua negara
yang tak ada ujungnya. Belum lagi klaim dari Malaysia atas beberapa budaya
daerah di Indonesia. Ada pula masalah TKI yang selalu membawa duka yang
menyayat hati, dan lain sebagainya.
Pendek kata, ini merupakan
masalah nasional yang menyangkut harga diri bangsa. Bagaimanapun juga kekalahan
ini tidak dapat diterima. Terlalu menyakitkan untuk diderita, terlalu pahit
untuk dijalani, dan terlalu memalukan untuk diakui. Begitu kira-kira anggapan
sebagian besar penyuka sepakbola di negeri ini.
Namun lebih daripada itu, ada
banyak aspek yang ikut terlibat di dalam permainan ini, apabila sudah
menyangkut rival antar dua negara bertetangga ini. Yakni aspek politik, sosial,
dan budaya. Akibatnya permainan ini tidak lagi murni permainan antar dua tim
melainkan peperangan antar ego dua negara. Permainan yang mana masing-masing
pendukung membawa dalam setiap dirinya, bara yang siap membakar kapan saja.
Kenapa tim Indonesia bisa
kalah? Siapa pula yang patut dipersalahkan atas kekalahan ini? Cukupkah
dukungan sporter fanatik[1] sebagai
bahan bakar bagi pemain untuk melaju kencang menuju puncak kemenangan?
Label:
Indonesia,
Malaysia,
pertikaian,
sepakbola,
timnas
Kamis, 17 November 2011
Nyanyian dalam Islam
Nyanyian
dalam Islam
Baru-baru ini salah seorang kawan
bertanya, “bagaimana gerangan pandangan nyanyian terutama nyanyian Islami dalam
agama kita. Bukankah hal tersebut sama namanya dengan menyerupai orang-orang
kafir?”
Lebih lanjut dia bercerita kalau semasa kuliah
dulu pernah dia bertanya kepada salah seorang kawannya yang Kristiani, “apa gerangan
isi nyanyian di gereja?” Si kawan menjelaskan “yang kami nyanyikan ialah
puji-pujian kepada Tuhan”.
Beralaskan jawaban dari kawannya
tersebut, maka kawan ku yang satu ini beranggapan nyanyian Islami dianggap
menyerupai umat Kristiani dalam beribadah. Berdasarkan jawaban dari kawannya
tersebut maka dia sendiri yakin nyanyian dalam Islam merusak akidah, dia
sendiri lebih menyukai musik-musik non Islami semacam pop, jazz, ataupun musik
klasik.
Mungkin banyak diantara kita yang
berpandangan demikian, alangkah baiknya jika kita menengok sejenak Sejarah
Perkembangan Peradaban Islam. Hampir setiap suku bangsa di dunia (termasuk kita di Ranah Melayu ini) memiliki
tradisi sastra tertulis maupun lisan, sudah menjadi kebiasaan masyarakat pada
masa dahulu untuk mengubah sebuah sya’ir sebagai bentuk penghargaan tertinggi
apakah itu kepada Tuhan, manusia yang dikagumi (seperti penguasa atau tokoh
masyarakat), kekasih ataupun orang-orang yang dicintai, alam dan lingkungan
tempat tinggal. Terkadang pula di sebagian masyarakat, para ahli sastra
terutama penyair menduduki posisi terhormat dikalangan masyarakatnya.
Sebuah Pandangan terhadap Realitas Masa Kini
Tipu Daya Manusia
Sungguh aneh dunia zaman
sekarang, saking anehnya aku tak tahu harus memulai tulisan ini dari mana.
Bagaimana kalau ku awali saja dari salah satu percakapan ku dengan seorang
kawan perihal salah satu grup “penghujat” di Facebook. Walau para pendukung dan
pendiri dari grup ini menolak dengan keras kalau dikatakan bahwa mereka
merupakan sekumpulan orang kurang kerjaan yang kerjanya mencari masalah dengan
memperbincangkan hal-hal yang sensitif dalam kehidupan masyarakat. Namun tetap
saja bagi ku mereka terlihat seperti sekelompok anak sekolah yang masih bau kencur yang belum tahu apa-apa
mengenai kehidupan di dunia ini. Mencoba dengan idealisme sempit mereka
berusaha melawan arus dengan mengangkat topik-topik yang sebenarnya tidak
mereka pahami dengan baik.
Layaknya anak muda, mereka
kasar, tak beretika, cepat marah, dan tidak ada sopan santun dalam berbicara
dengan orang lain. Menganggap lawan bicara mereka bodoh dan patut diberi
pencerahan. Padahal sebenarnya merekalah yang seharusnya diberi pencerahan.
Namun pabila itu dilakukan kepada mereka maka akan menjadi senjata makan tuan
bagi yang melakukannya. Mata mereka buta dan telinga mereka telah pekak, hati
mereka telah lama mati. Mereka terlalu sombong dengan kehebatan cara berfikir
mereka yang-menurut mereka-hasil dari pendidikan tinggi yang mereka peroleh.
Berpendapat tentunya boleh-boleh
saja, di zaman sekarang semua orang
boleh mengeluarkan pendapat mereka. Sesuka mereka. Berbicara blak-blakan telah
menjadi budaya di negeri ini. Hal itu dianggap baik karena merupakan tradisi
keilmuan. Dosen saya dulu ketika masih kuliah pernah berkata “Bicara saja
saudara, disini anda diperbolehkan berbicara sesuka anda, beda dengan dunia di
luar sana.!” Tentunya kami menyambut dengan meriah ajakan tersebut, maka
banyaklah kawan-kawan yang pada dasarnya masih belum tahu apa-apa berbicara
mengenai ini dan itu. Kami diperkenalkan kepada ide-ide baru, pikiran-pikiran
cemerlang, dan tradisi baru dalam usaha membenahi masyarakat di luar sana yang
menurut para akademisi masih “jahiliyah”. Termasuk saya yang juga menjadi
korban, berfikir sinis terhadap pemikiran yang selama ini telah mendominasi.
Pada dasarnya ini baik, karena bagaimanapun juga sistim yang berlaku dan
berkembang dalam masyarakat pada saat sekarang ini merupakan buah pikir manusia
juga, jadi wajar jika terdapat kelemahan disana-sini. Mungkin hal inilah yang
mendorong para mahasiswa idealis untuk pergi berdemo, membela kepentingan
rakyat, mengkritisi pemerintah, dan berusaha mendobrak kemapaman. Tidak ada
yang salah, baik, sangat baik.
Tapi sayang, beribu sayang. Yang
kita hadapi ialah manusia bukan benda tak bernyawa. Tiap manusia memiliki
fikiran, pendapat yang berlainan. Seperti kata pepatah; rambut boleh sama hitam, namun fikiran tentunya berlainan. Yang
tidak difahami oleh para idealis ini ialah menghadapi manusia tidaklah mudah.
Kita tidak dapat berteriak-teriak di depan hidung mereka, lalu mereka
mendengarkan, dan setelah itu mereka berubah seperti yang kita inginkan. Tidak,
sekali lagi tidak. Bangunlah duhai orang-orang dungu, keluar dari cangkang
kalian, keluar dari planet kalian yang bernama “idealis”. Ini dunia nyata,
hidup tidak berjalan sesuai dengan apa yang ada di benak kalian.
Selasa, 15 November 2011
Kritislah terhadap berita
Rancangan untuk Indonesia yang Sekuler
Dewasa ini “orang-orang hebat” di Jakarta sering
menyebut-nyebut perihal pluralisme dan multikulturalisme. Semua ini biasanya
berujung pada kebebasan beragama. Isu ini muncul melihat gejolak ketidak
nyamanan dikalangan anak bangsa yang cenderung/mudah terjerumus pada konflik
yang berlatar belakang ras ataupun agama. Kita sendiri tidak pernah tahu
bagaimana konflik ini bermula di masa moderen ini, hanya saja kita sudah
mendengar dari media perihal konflik ini. Sungguh aneh dan menyedihkan karena
seiring dengan konflik antar agama muncul, maka muncul pula isu pluralisme,
liberalisme, sekularisme, dan multikulturalisme. Salah seorang aktivis Kontras ketika dimintai pendapatnya oleh
media menyikapi kasus pengusiran jemaat gereja di Bogor beberapa minggu yang
lalu mengungkapkan bahwa ada kepentingan politik yang terlibat di dalam konflik
ini.
Hal inilah rupanya selama ini terasa namun begitu
sukar untuk diungkapkan. Ya.. kepentingan politik, karena seperti yang kita
ketahui, gerakan politik di Indonesia saat ini mengarah pada satu titik, yakni
berusaha merubah ideologi negara ini menjadi berazas pada sekularisme. Dengan
menjadikan Islam sebagai sasaran tembak. Namun mereka selalu berusaha menutupi
gerak-gerik mereka dengan mengemukakan alasan gombal yakni “Pancasila” yang
selama ini menjadi dasar negara. Lupa mereka tampaknya pada sila pertama.
Selasa, 08 November 2011
Beribadahlah dengan sungguh-sungguh
Beretikalah di dalam Masjid..
Suatu peristiwa yang aneh, kalau
tidak boleh jika disebut mengesalkan terjadi suatu ketika pada saat menunaikan
Shalat Zuhur di surau. Ketika sedang asyiknya menunaikan ibadah shalat
tiba-tiba terdengar bunyi telpon genggam. Walau imam tak bosan-bosannya memberi
himbauan kepada para jamaah untuk mematikan (off) seluruh alat komunikasi milik
mereka ketika berada dalam masjid, namun terkadang masih tetap ada saja yang
lupa mematikannya.
Rupanya tidak untuk saat ini,
karena jamaah yang bersangkutan sepertinya sengaja membiarkan telpon genggamnya
tetap menyala selama dia berada di dalam masjid. Awalnya para jamaah mengira,
dia akan mematikan atau setidaknya membiarkan sampai telponnya tersebut
berhenti berdering. Rupanya tidak, dia berhenti shalat dan menjawab panggilan
tersebut.
Alangkah herannya karena yang
bersangkutan tidak pergi ke luar untuk menjawab panggilan telponnya melainkan
tetap berada di dalam masjid hanya saja dia pergi agak ke belakang arah yang
lebih dekat ke jamaah perempuan. Tentunya suaranya masih terdengar oleh jamaah
lain yang sedang menunaikan ibadah Shalat Zuhur. Ketika shalat, biasanya surau
atau masjid berada dalam keadaan sunyi, tentunya suara yang dibuat sekecil
apapun akan terdengar oleh para jamaah. Setelah menyelesaikan percakapannya,
orang yang bersangkutan tanpa ada rasa bersalah atau segan, kembali shalat.
Sebelumnya dia sudah masbuq, dan sekarang tentunya dia sudah tertinggal lebih
banyak raka’at shalat.
Sabtu, 05 November 2011
Lambaian dari masa dahulu II
Tulisan ini merupakan lanjutand dari tulisan edisi sebelumnya. Masih dimuat di surat kabar Soeara Boemi Poetera.
7 Februoeari 1926
Sebagai verslag[1] dari
kita punya dienstreis[2], di
bawah ini dilukiskan pendengaran-pendengaran yang kira-kira boleh juga
menyenangkan telinga.
1
Tuan
|
:
|
Kenapa kwee[3]
datang telaat?
|
Engku
|
:
|
Kalau kwee
datang telat, barangkali tuan sudah lapar, saya boleh tolong liat-liat
dipintu, dan kalau kwee sudah
datang saja boleh panggil buat tuan.[4]
|
Tuan
|
:
|
Nee...!! Saya tidak mau makan tetapi kwee (dengan menunjuk kepada engku)
kenapa datang telat kerja?
|
Engku
|
:
|
O.. tuan mau bilang diri saya!? Tentu saya salah
mengerti, kerna itu perkataan kwee
bukan perkataan Melayu, tetapi itu cara tangsi. Lain kali tuan boleh panggil
“engku” atau saya punya pangkat.
|
Tuan
|
:
|
Ya, saya tidak begitu bisa cara Melayu.
|
Engku
|
:
|
Tuan mesti ajar sedikit-sedikit, sebab tuan
tinggal di Negeri Melayu.
|
Tuan
|
:
|
Nou!............!!!
|
2
Tuan
|
:
|
Kenapa waang
tidak bikin kelar itu kerja?
|
Engku
|
:
|
Tuan! Saya sudah berpangkat penghulu dan sudah
bergelar Datuk. Kurang baik kalau Tuan panggil waang di muka orang banyak.
|
Tuan
|
:
|
|
Engku
|
:
|
Kalau orang Melayu, satu anak panggil jij kepada Bapaknya, tentu anak itu
masuk neraka hidup-hidup.
|
Tuan
|
:
|
Jadi apa saya musti panggil waang?
|
Engku
|
:
|
Jangan tuan ulang juga. Kalau tuan mau panggil
saya, boleh sebut saya punya gelar, atau pangkat. Tuan lihat di hoofdbereau[7]
S.S Padang, di sana tuan-tuan sampai mengerti Adat Melayu, kalau gelar orang
Datuk dipanggil Datuk, kalau Sutan dipanggil Sutan, atau sekurang-kurangnya
perkataan “engku”. Manis bukan?
|
Tuan
|
:
|
Jooahh!!
|
3
Tuan
|
:
|
Hei! Hei! (sekali lagi) Hei!
|
Engku
|
:
|
............ (diam saja)
|
Tuan
|
:
|
Hei! Hei! Apa tidak dengar?
|
Engku
|
:
|
Ya, saya dengar, tetapi itu “hei” bukan saya
punya nama.
|
Tuan
|
:
|
Ach.. banyak cincong, toch dalam dienst (layanan).
|
Engku
|
:
|
Betul dalam dienst, tetapi pakai adat juga.
|
[1]
Laporan
[2]
Misi
[3]
Bahasa Cina, artinya kamu
[4]
Si Engku mengira, kalau yang dimaksudkan oleh si Tuan ialah kue.
[5] Dimasa
kolonial, selain disebut dengan sebutan Orang
Minangkabau secara resmi, suku bangsa Minang lebih dikenal dengan sebutan
Orang Melayu.
[6]
Kamu
[7]
Markas Besar
Label:
Kolonial Belanda,
Minangkabau,
Padang,
Surat Kabar
Sabtu, 29 Oktober 2011
Dari Koran Lama
Soeara Boemi Poetera.S.S
Tahun ke II
Satu hal yang tidak salah kalau dikatakan ajaib, baru ini telah terjadi, yalah seorang tukang kebon nama Amat yang bekerja tiap hari membersihkan pekarangan sekolah M.u.l.o di Padang, waktu pada satu hari orang akan mengadakan examen[1] buat kleinambtenaar, tukang kebun si Amat itu mintak permisi kepada induk semangnya lamanya tiga hari tersebab satu urusan.
Tetapi apakah sudah terjadi?
Kiranya dalam kumpulan candidaat-candidaat yang akan membikin kleinambtenaarsexamen itu kedapatan si Amat Tukang Kebon, sehingga menjadi suatu keheranan amat besar sekali kepada tuan Directeur dari sekolah M.u.l.o kerna sebegitu lama si kebun dikenal oleh tuan tersebut , belum pernah ia berbicara dalam bahasa Belanda dengan siapa juga dan walaupun barang sepatah.
Lambaian dari masa dahulu
Tanggal 26 sampai 28 Oktober tahun 2011 tepatnya hari Arba’a hingga hari Jum’at saya dan seorang kawan bernama Ronal yang merupakan satu kantor dengan ku, mengadakan penelitian di PDIKM Padang Panjang. Tujuan kami ialah guna mencari arsip ataupun dokumen yang berhubungan dengan Kota Sawahlunto. PDIKM merupakan kependekan dari Pusat Dokumentasi dan Informasi Kebudayaan Minangkabau. Di tempat ini, berbagai macam arsip tersimpan, ada yang berasal dari zaman Kolonial hingga masa sekarang.
Sembari mencari-cari arsip, tak sengaja rupanya saya menemukan beberapa arsip yang berasal dari koran lama. Membaca bacaan tempo dulu apakah itu koran, dokumen, atau arsip berbahasa Melayu amatlah menyejukkan hati, setidaknya bagi diri penulis sendiri. Hal ini karena penulis merupakan salah seorang penyuka sastera lama, utama sekali angkatan Balaipustaka. Bagi orang masa kini membaca bacaan masa lama merupakan suatu hal yang membosankan, adakalanya mereka menertawakan ragam bahasanya karena menurut pendapat mereka masa sekarang, gaya bahasa orang zaman dulu amatlah lucu. Namun yang membuat sedih kadang kala mereka menertawakan sambil mencemooh.
Bagi kita penyuka sastra Melayu tentunya sering merenungi, bahwa bahasa orang zaman lampau amatlah halusnya, indah terdengar, dan menentramkan jiwa. Bahasa orang zaman sekarang sungguh kering, kasar, dan blak-blakan. Tentunya kita sangat faham bahwa ada yang hilang dari diri kita zaman sekarang. Yang hilang itu ialah rasa/raso, orang zaman dahulu bertindak dan berucap berdasarkan hati, ditimbang baik-buruk, apakah sesuai dengan adat atau tidak, apakah tersinggung orang atau tidak, apakah kasar atau tidak jika diucapkan? Sangat berlainan sekali dengan adat orang zaman sekarang.
Itulah kiranya yang membuat saya hendak memuat salah satu petikan kisah dari zaman dahulu yang dimuat dalam sebuah koran yang bernama Soeara Boemi Putera.S.S yang terbit di Bandar Padang pada tahun 1926. Aslinya koran ini memakai ejaan lama, namun karena banyak diantara generasi masa sekarang yang tak faham cara membaca ejaan lama, maka penulis dalam hal ini mengambil kebijaksanaan untuk menggunakan ejaan yang dapat difahami.
Dikarenakan panjangnya karangan yang hendak dimuat maka dalam hal ini kami terpaksa menerbitkannya dalam kesempatan yang berbeda. Mohon pembaca memaklumi,..
Selamat menikmati...
Kamis, 22 September 2011
Yang Hilang dari Sumatera Barat
Jejak Mak Itam di Bukittinggi
Tahukah engkau foto apa itu kawan? Ah, aku tak tahu namanya, yang aku tahu foto tersebut merupakan foto dari salah satu alat pengantur lalu lintas bagi kereta api. Foto ini ku ambil di Tanjuang Alam, sebuah kampung yang terletak di Jalan Raya Bukittnggi-Payakumbuh, sekitar delapan kilometer dari Bukittinggi.
Sedih sekali kawan, karena keadaan jalur kereta api disini sudah lama tak terawat, ditumbuhi semak belukar. Kalau tak salah ingat, ketika aku masih kecil jalur-jalur kereta api sepanjang Payakumbuh-Bukittinggi dan Bukittinggi-Padang Panjang tidak pernah dilalui oleh kereta api. Kecuali jalur-jalur di Lembah Anai yang menuju Padang, jalur ini dilewati oleh kereta pengangkut batubara. Jika kereta lewat selalu ku pandangi hingga tak terlihat lagi, tak jarang orangtua ku membangunkan ku jika aku tertidur di atas mobil. Ketika itu, kereta api bagi ku merupakan sesuatu yang unik, menarik, dan menimbulkan rasa ingin tahu.
Label:
Bukittinggi,
Kereta Api,
Mak Itam,
Rel Kereta
Rabu, 14 September 2011
Bukik Tinggi-Luhak Agam
Bukik Tinggi Koto Rang Agam
Bukittinggi adalah kota kelahiran ku, walau nyatanya rumah ku berada di luar wilayah administratif kota ini. Aku berasal dari salah satu nagari yang merupakan wilayah administratif dari Kabupaten Agam. Sedangkan Bukittinggi berada 12 Km dari kampung ku, Bukittinggi merupakan kota kecil yang saat ini terus berkembang. Berdasarkan Peraturan Pemerintah yang aku lupa nomornya, wilayah kota ini seharusnya sudah diperluas, seperti layaknya Kota Sawahlunto. Namun hingga kini perluasan tersebut masih terhalang karena ditentang oleh rakyat yang nagari mereka hendak dimasukkan ke dalam wilayah kota ini. Entah apa penyebab penolakan mereka, aku hanya mendengar kabar angin yang aku ragukan kebenarannya, makanya tak dapat aku sebutkan disini.
Sumber Foto: Internet
Bukik Tinggi Koto Rang Agam, begitulah bunyi sepenggal sair lagu Elly Kasim, penyanyi kebanggan Rang Minang. Makna lagunya sungguh menggambarkan realitas yang ada di daerah kami. Secara administratif Bukittinggi dan Agam merupakan wilayah Tingkat Dua yang berbeda dan sejajar namun secara sosial-budaya kedua daerah ini sebenarnya satu. Wilayah Kabupaten Agam sekarang, sebagian besar merupakan wilayah dari Luhak Agam, kecuali Tiku[1] dan beberapa daerah lainnya yang terletak arah ke Lubukbasung. Sedangkan Bukittinggi yang dulunya bernama Pasa Kurai[2] merupakan bagian dari Luhak Agam. Makanya orang Bukittinggi juga disebut orang Agam karena secara kultural Bukittinggi merupakan bagian dari Luhak Agam, salah satu dari tiga Luhak yang diyakini sebagai daerah asal orang Minangkabau. Aku teringat tulisan Bung Hatta diawal Memoirnya, kira-kira begini bunyi kutipannya:
Label:
Agam,
Bukik Tinggi,
Bukit Tinggi,
Bukittinggi,
Fort de Kock,
Kurai
Senin, 12 September 2011
Nasehat dari Sang Panglima
Wasiat Sulthan Muhammad Al-Fatih Kepada Anaknya.
Seketika, saya terharu membaca beberapa helaian yang mencatat isi sebahagian wasiat dan nasihat Sulthan Muhammad Al-Fatih kepada anaknya ketika beliau di ambang kematian. Terasa seolah-olah Al-Fatih sedang berbicara di hadapan saya.Cukup menyentuh, memberi kesan serta muhasabah buat mereka yang bergelar pimpinan.
Beliau Berkata:
-Jadilah seorang yang adil, shaleh, dan penyayang.
-Pemudahkan (jangan menyusahkan) atas pemeliharaanmu (terhadap sesuatu urusan) tanpa ada diskriminasi.
-Beramallah untuk menyebarkan agama Islam, kerana itu adalah kewajiban pemimpin di atas muka bumi.
-Utamakan perkara-perkara agama di atas segala sesuatu, dan jangan kamu hilangkan ketabahan ( untuk melaksanakannya ).
Minggu, 21 Agustus 2011
Di Jalan Tempat Pedagang Wangi-wangian
Seorang pengais sampah, yang sedang berjalan-jalan di tempat
orang berjualan wangi-wangian, tiba-tiba terjatuh
seakan-akan mati. Orang-orang berusaha menghidupkannya
kembali dengan bau-bauan wangi, namun keadaannya malah
semakin parah.
Akhirnya seorang bekas pengorek sampah datang; ia mengetahui
keadaan itu. Ia mendekatkan sesuatu yang berbau busuk di
hidung orang itu, yang segera saja segar kembali, teriaknya,
"Nah, ini dia wangi-wangian!"
Senin, 08 Agustus 2011
Batas Dogma
Pada suatu hari, Sultan Mahmud yang Agung berada dijalan di
Ghazna, ibu kota negerinya. Dilihatnya seorang kuli
mengangkut beban berat, yakni sebungkah batu yang didukung
di punggungnya. Karena rasa kasihan terhadap kuli itu,
Mahmud tidak bisa menahan perasaannya, katanya memerintah:
"Jatuhkan batu itu, kuli."
Perintah itupun langsung dilaksanakan. Batu tersebut berada
di tengah jalan, merupakan gangguan bagi siapapun yang ingin
lewat, bertahun-tahun lamanya. Akhirnya sejumlah warga
memohon raja agar memerintahkan orang memindahkan batu itu.
Sabtu, 06 Agustus 2011
Ummu Salmah Radhiallahu 'Anha
Lembaran sejarah hijrah Ummat Islam ke Madinah, barangkali tidak bisa melupakan torehan tinta seorang ibu dengan putrinya yang masih balita.
Keduanya, hanya dengan mengendarai unta dan tidak ada seorang lelakipun yang menemaninya, meski kemudian ditengah jalan ada orang yang iba dan kemudian mengantarnya, berani menembus kegelapan malam, melewati teriknya siang dan melawan ganasnya padang sahara, mengarungi perjalanan yang amat panjang dan melelahkan, kurang lebih 400 km. Dialah Salamah dan ibunya, Hindun bin Abi Umayyah atau sejarah lebih sering menyebutnya dengan Ummu Salamah.
Langganan:
Postingan (Atom)