Kamis, 22 Desember 2011

Lomba Blog Wisata Sejarah


Sawahlunto
Belanda Kecil di Daratan Tinggi Minangkabau


Penduduk Minangkabau mengenal Sawahlunto sebagai “Kota Baro”, baro merupakan  Bahasa Minangkabau dari “bara” yang mengacu kepada batubara. Batubara telah lama ditambang di Sawahlunto, karena bahan tambang inilah kota ini lahir. Orang-orang Belanda membangun kota ini disebabkan penemuan batubara yang diumumkan pada tahun 1870 oleh ahli pertambangan mereka. Insyinyur yang sangat berjasa dalam penemuan batubara ini ialah William Hendrik de Greve.

Pusat Kota Sawahlunto dilihat dari Ketinggian

Batubara memang bertuah, bagaimana tidak? Karena bahan tambang jenis ini sangat diperlukan oleh pasar dunia. Di abad ke-19 teknologi mesin uap merupakan primadona, untuk menggerakkan mesin-mesin ini digunakan batubara sebagai bahan bakar. Oleh karena itulah orang-orang Belanda begitu bersemangat mengeksploitasi daerah ini.

Banyak peninggalan orang-orang Belanda selama mendiami daerah ini. Utama sekali dipusat Kota Sawahlunto. Pusat kota terletak di suatu lembah yang dahulunya merupakan areal persawahan milik penduduk dari Nagari Kubang.[1] Lembah ini dialiri oleh sebuah sungai yang biasa disebut oleh masyarakat setempat dengan Batang Lunto[2]. Lunto merupakan nama salah satu nagari di sekitar Sawahlunto yang daerahnya dilalui oleh aliran sungai ini. Karena sungai ini mengalir melewati nagari ini maka masyarakat setempat menamai sungai itu dengan nama Batang Lunto (Sungai Lunto).

Orang-orang Belanda memilih daerah ini sebagai pusat pemerintahan, Lembah Sugar namanya. Sekarang lebih dikenal dengan nama Lembah Segar yang pada saat ini menjadi nama salah satu kecamatan di kota ini. Dikelilingi oleh perbukitan dan dialiri oleh aliran sungai di dasar lembah. Tempat ini menjadi tempat yang cocok untuk mengembangkan pemerintahan. Selain itu di tempat ini juga ditemukan kandungan batubara. Loebang Tambang Soero yang pada saat sekarang ini menjadi salah satu objek wisata andalan di Sawahlunto merupakan lubang tambang pertama di Sawahlunto.

Pembangunan pertama yang dilakukan Belanda di lembah ini ialah pembangunan PLTU Kubang Serakuk yang berfungsi dalam rentang waktu 1894-1924. Merupakan PLTU pertama di Sumatera Barat. Sebelumnya, tepatnya dalam rentang waktu 1887-1894 telah mulai dibangun jalur kereta api menuju Emma Heven atau sekarang bernama Teluk Bayur. Pada saat sekarang ini bangunan PLTU tersebut sudah tidak ada, sekitar tahun 1950-an dibangun Masjid Agung dibekas bangunan PLTU tersebut. Walau bangunannya sudah tidak ada, namun cerobong  asap peninggalan zaman keemasan PLTU tersebut masih ada dan dijadikan menara adzan untuk Masjid Agung Nurul Iman. Di depan Masjid Agung Nurul Iman terdapat sebuah rumah yang dibangun tahun 1920, dahulunya merupakan kediaman Asisten Residen. Kini bangunan tersebut menjadi rumah dinas bagi Walikota Sawahlunto.

Kantor PT.BA-UPO
Di masa Belanda Merupakan Kantor Pusat Perusahaan Tambang Ombilin

Terdapat sebuah gedung yang hingga saat ini tetap menjadi Landmark Kota Sawahlunto. Bangunan tersebut dibangun pada tahun 1916 yang digunakan sebagai kantor bagi Perusahaan Pertambangan Ombilin. Gaya arsitekturnya khas kolonial dan hingga kini masih berfungsi sebagai bangunan kantor bagi perusahaan tambang yang sekarang telah beralih nama menjadi PT. Tambang Batubara Bukit Asam Unit Pertambangan Ombilin (PT.BA-UPO).


Didepan bangunan ini terdapat sebuah lapangan atau alun-alun. Lapangan ini bernama Lapangan Segitiga, kenapa bernama demikian? karena bentuk lapangan ini memang menyerupai segitiga dengan alasanya terdapat di depan gedung PT.BA dan terus mengerucut menuju persimpangan di jalan utama kota. Pada saat sekarang ini, Lapangan Segitiga atau biasa disingkat Lapseg oleh masyarakat setempat telah menjadi tempat pergaulan atau refreshing. Melepas penat sepulang kerja, atau sekedar menghabiskan waktu pada petang hari bersama keluarga ataupun kawan-kawan.

Di depan Lapseg tepatnya di seberang sungai terdapat dua bangunan  lama yakni Gedung Pusat Kebudayaan dan Hotel Ombilin. Gedung Pusat Kebudayaan atau biasa disebut GPK merupakan bekas gedung pertemuan Tuan dan Nyonya Belanda di masa kolonial. Dibangun pada tahun 1910 dan difungsikan sebagai tempat sosialisasi antara sesama orang Belanda di masa dahulu. Pada saat sekarang ini gedung tersebut beralih fungsi sebagai bangunan publik yang pengelolaannya diserahkan kepada swasta.

Gedung Pusat Kebudayaan
Di masa Belanda Bernama “Gedung Societet”

Berseberangan dengan GPK terdapat Wisma Ombilin yang dibangun pada tahun 1918 oleh Belanda. Fungsinya ialah sebagai hotel, dan hingga kini fungsinya masih tetap sama. Tepat di samping kiri dari Wisma Ombilin yakni di sebarang  jalan, terdapat sebuah bangunan yang bernama Gedung Pusat Koperasi Ombilin yang dahulunya bernama Ons Belang. Dibangun pada tahun 1920, difungsikan sebagai bangunan koperasi bagi orang-orang Belanda. Berbagai bahan kebutuhan untuk orang Belanda disuplai dari sini.

Tepat di sebelah gedung koperasi ini terdapat Gereja Katholik Santa Barbara yang dibangun satu komplek dengan bangunan Sekolah Santa Lucia. Bangunan gereja ini didirikan pada tahun 1920, hingga saat ini bangunan gereja dan sekolah masih menjalani fungsi yang sama. Tepat di seberang sungai yang berada di samping bangunan ini terdapat lapangan sepakbola yang dikenal dengan nama Tanah Lapang oleh penduduk setempat. Tanah Lapang telah ada semenjak masa Belanda, digunakan sebagai tempat bermain bola dan pendaratan helikopter.

Di wilayah pasar yang pada saat sekarang menjadi pusat kehidupan masyarakat Kota Sawahlunto terdapat beraneka ragam bangunan kuno peninggalan kolonial. Masih dapat kita saksikan hingga kini keagungan arsitekturnya. Sebut saja rumah Pek Sin Kek yang dibangun tahun 1906, merupakan perpaduan antara arsitektur kolonial dan arsitektur Tionghoa. Hingga kini bangunan ini masih dimiliki oleh keluarga Tionghoa. Kemudian bangunan yang sekarang berfungsi sebagai kantor Pegadaian, bangunan tersebut dibangun pada tahun 1917. Ada juga bekas rumah kediaman keluarga Sofyan Wanandi yang saat ini telah digunakan sebagai toko pada bagian depan, dan tempat hunian masyarakat pada bagian belakang.

Jika kita berjalan menyisiri jalan di depan kantor PT. BA menuju ke wilayah Saringan, maka akan kita temui banyak rumah-rumah yang sekarang berfungsi sebagai rumah dinas karyawan PT. BA ataupun hunian masyarakat sekitar. Rumah-rumah ini merupakan bangunan-bangunan peninggalan masa kolonial. Tidak hanya rumah akan tetapi juga gedung asrama pegawai tambang yang diantaranya ada yang dibangun pada tahun 1915.

Saringan merupakan sebutan untuk fasilitas penyaringan batubara di Sawahlunto, didirikan pada tahun 1900-an. Di komplek fasilitas saringan ini terdapat tiga buah tabung raksasa terbuat dari beton yang bernama Silo. Sebagian dari bangunan Saringan telah beralih fungsi menjadi kantor bagi Satuan Pemadam Kebakaran yang berkantor di lantai dasar dan satu. Kemudian dilantai atasnya berkantor Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Sawahlunto.

Dinas Pariwisata membawahi beberapa objek wisata di Sawahlunto. Khususnya yang berlokasi di Lembah Segar terdapat tiga objek wisata yakni Loebang Tambang Mbah Soero, Museum Goedang Ransoem, dan Museum Kereta Api. Selain membawahi objek wisata tersebut, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Sawahlunto juga bertanggung jawab atas konservasi kota tua di Sawahlunto.

Info Box
Terdapat Galery Foto & Pintu Masuk Menuju
Loebang Tambang Mbah Soero

Seperti yang telah disebutkan diawal tadi, lubang tambang pertama terletak di Lembah Segar. Pada saat sekarang, lubang tersebut terletak di Kelurahan Air Dingin. Merupakan salah satu objek wisata andalan di kota ini, lebih dikenal dengan nama Loebang Tambang Mbah Soero. Di depan lubang tambang ini terdapat gedung Info Box yang merupakan pintu masuk ke Lubang Tambang Mbah Soero. Di Info Box terdapat galery foto yang berada di lantai atas. Disini kita dapat melihat foto-foto lama yang menggambarkan perkembangan sejarah di Kota Sawahlunto.

Kemudian Komplek Musum Goedang Ransoem,  yang keseluruhannya terdapat lima bangunan. Bangunan-bangunan ini mulai dibangun pada tahun 1918 oleh Belanda. Difungsikan sebagai tempat memasak makanan untuk seluruh buruh tambang yang ada di Sawahlunto masa itu. Sekarang bangunan tersebut telah berubah fungsi menjadi museum.

Museum Goedang Ransoem

Museum Kereta Api merupakan bekas stasiun kereta api masa Belanda. Terletak pada ketinggian di daerah yang bernama Kampung Teleng. Dari depan stasiun kita dapa melihat pemandangan Kota Sawahlunto. Stasiun ini dibangun pada 1918, sekarang selain masih berfungsi sebagai stasiun kereta api, sebagian gedung difungsikan juga sebagai museum.

Inilah Sawahlunto, kota yang kaya akan peninggalan bersejarah di Sumatera Barat. Kota ini masih terus mengeliat, bangkit dari keterpurukan pasca menurunnya produksi batubara. Dari Kota Tambang ke Kota Wisata, sungguhlah tak mudah. Karena promosi harus benar-benar ditingkatkan dan juga harus semakin gencar. Datanglah ke Sawahlunto, silahkan nikmati kemolekan kota ini. Sebagian besar disajikan gratis di wilayah pusat kota. Hingga kini pemerintah kota masih terus berusaha menjaga dan merawat bangunan-bangunan bersejarah di Sawahlunto. “Belanda Kecil”, itulah julukannya saat ini..







[1] Nagari merupakan bentuk pemerintahan terendah di Minangkabau. Banyak orang menyamakannya dengan Desa. Namun nagari dan desa sesungguhnya berbeda. Nagari memiliki wewenang yang sangat luas sekali dalam menentukan undang-undang, menyatakan perang dengan nagari lainnya, ataupun menjalin hubungan perdagangan. Posisi Raja yang berkedudukan di Pagaruyuang hanya sebagi lambang pemersatu. Upeti tidak dikenal, yang ada ialah emas manah yang oleh beberapa kalangan disamakan dengan Upeti. Namun hal ini sesungguhnya berbeda, karena tidak ada batasan tertentu dalam menyerahkan emas manah. Setiap nagari menyerahkan emas manah sekali dalam setahun sesuai dengan kesanggupan mereka. Dan emas manah ini tidak diantarkan ke Pagaruyuang, melainkan dijemput oleh Sulthan atau perwakilannya ke masing-masing nagari di Alam Minangkabau.
[2] Masyarakat Minangkabau biasa menyebut sungai dengan sebutan “Batang” yang bermakna “sungai”. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kamis, 22 Desember 2011

Lomba Blog Wisata Sejarah


Sawahlunto
Belanda Kecil di Daratan Tinggi Minangkabau


Penduduk Minangkabau mengenal Sawahlunto sebagai “Kota Baro”, baro merupakan  Bahasa Minangkabau dari “bara” yang mengacu kepada batubara. Batubara telah lama ditambang di Sawahlunto, karena bahan tambang inilah kota ini lahir. Orang-orang Belanda membangun kota ini disebabkan penemuan batubara yang diumumkan pada tahun 1870 oleh ahli pertambangan mereka. Insyinyur yang sangat berjasa dalam penemuan batubara ini ialah William Hendrik de Greve.

Pusat Kota Sawahlunto dilihat dari Ketinggian

Batubara memang bertuah, bagaimana tidak? Karena bahan tambang jenis ini sangat diperlukan oleh pasar dunia. Di abad ke-19 teknologi mesin uap merupakan primadona, untuk menggerakkan mesin-mesin ini digunakan batubara sebagai bahan bakar. Oleh karena itulah orang-orang Belanda begitu bersemangat mengeksploitasi daerah ini.

Banyak peninggalan orang-orang Belanda selama mendiami daerah ini. Utama sekali dipusat Kota Sawahlunto. Pusat kota terletak di suatu lembah yang dahulunya merupakan areal persawahan milik penduduk dari Nagari Kubang.[1] Lembah ini dialiri oleh sebuah sungai yang biasa disebut oleh masyarakat setempat dengan Batang Lunto[2]. Lunto merupakan nama salah satu nagari di sekitar Sawahlunto yang daerahnya dilalui oleh aliran sungai ini. Karena sungai ini mengalir melewati nagari ini maka masyarakat setempat menamai sungai itu dengan nama Batang Lunto (Sungai Lunto).

Orang-orang Belanda memilih daerah ini sebagai pusat pemerintahan, Lembah Sugar namanya. Sekarang lebih dikenal dengan nama Lembah Segar yang pada saat ini menjadi nama salah satu kecamatan di kota ini. Dikelilingi oleh perbukitan dan dialiri oleh aliran sungai di dasar lembah. Tempat ini menjadi tempat yang cocok untuk mengembangkan pemerintahan. Selain itu di tempat ini juga ditemukan kandungan batubara. Loebang Tambang Soero yang pada saat sekarang ini menjadi salah satu objek wisata andalan di Sawahlunto merupakan lubang tambang pertama di Sawahlunto.

Pembangunan pertama yang dilakukan Belanda di lembah ini ialah pembangunan PLTU Kubang Serakuk yang berfungsi dalam rentang waktu 1894-1924. Merupakan PLTU pertama di Sumatera Barat. Sebelumnya, tepatnya dalam rentang waktu 1887-1894 telah mulai dibangun jalur kereta api menuju Emma Heven atau sekarang bernama Teluk Bayur. Pada saat sekarang ini bangunan PLTU tersebut sudah tidak ada, sekitar tahun 1950-an dibangun Masjid Agung dibekas bangunan PLTU tersebut. Walau bangunannya sudah tidak ada, namun cerobong  asap peninggalan zaman keemasan PLTU tersebut masih ada dan dijadikan menara adzan untuk Masjid Agung Nurul Iman. Di depan Masjid Agung Nurul Iman terdapat sebuah rumah yang dibangun tahun 1920, dahulunya merupakan kediaman Asisten Residen. Kini bangunan tersebut menjadi rumah dinas bagi Walikota Sawahlunto.

Kantor PT.BA-UPO
Di masa Belanda Merupakan Kantor Pusat Perusahaan Tambang Ombilin

Terdapat sebuah gedung yang hingga saat ini tetap menjadi Landmark Kota Sawahlunto. Bangunan tersebut dibangun pada tahun 1916 yang digunakan sebagai kantor bagi Perusahaan Pertambangan Ombilin. Gaya arsitekturnya khas kolonial dan hingga kini masih berfungsi sebagai bangunan kantor bagi perusahaan tambang yang sekarang telah beralih nama menjadi PT. Tambang Batubara Bukit Asam Unit Pertambangan Ombilin (PT.BA-UPO).


Didepan bangunan ini terdapat sebuah lapangan atau alun-alun. Lapangan ini bernama Lapangan Segitiga, kenapa bernama demikian? karena bentuk lapangan ini memang menyerupai segitiga dengan alasanya terdapat di depan gedung PT.BA dan terus mengerucut menuju persimpangan di jalan utama kota. Pada saat sekarang ini, Lapangan Segitiga atau biasa disingkat Lapseg oleh masyarakat setempat telah menjadi tempat pergaulan atau refreshing. Melepas penat sepulang kerja, atau sekedar menghabiskan waktu pada petang hari bersama keluarga ataupun kawan-kawan.

Di depan Lapseg tepatnya di seberang sungai terdapat dua bangunan  lama yakni Gedung Pusat Kebudayaan dan Hotel Ombilin. Gedung Pusat Kebudayaan atau biasa disebut GPK merupakan bekas gedung pertemuan Tuan dan Nyonya Belanda di masa kolonial. Dibangun pada tahun 1910 dan difungsikan sebagai tempat sosialisasi antara sesama orang Belanda di masa dahulu. Pada saat sekarang ini gedung tersebut beralih fungsi sebagai bangunan publik yang pengelolaannya diserahkan kepada swasta.

Gedung Pusat Kebudayaan
Di masa Belanda Bernama “Gedung Societet”

Berseberangan dengan GPK terdapat Wisma Ombilin yang dibangun pada tahun 1918 oleh Belanda. Fungsinya ialah sebagai hotel, dan hingga kini fungsinya masih tetap sama. Tepat di samping kiri dari Wisma Ombilin yakni di sebarang  jalan, terdapat sebuah bangunan yang bernama Gedung Pusat Koperasi Ombilin yang dahulunya bernama Ons Belang. Dibangun pada tahun 1920, difungsikan sebagai bangunan koperasi bagi orang-orang Belanda. Berbagai bahan kebutuhan untuk orang Belanda disuplai dari sini.

Tepat di sebelah gedung koperasi ini terdapat Gereja Katholik Santa Barbara yang dibangun satu komplek dengan bangunan Sekolah Santa Lucia. Bangunan gereja ini didirikan pada tahun 1920, hingga saat ini bangunan gereja dan sekolah masih menjalani fungsi yang sama. Tepat di seberang sungai yang berada di samping bangunan ini terdapat lapangan sepakbola yang dikenal dengan nama Tanah Lapang oleh penduduk setempat. Tanah Lapang telah ada semenjak masa Belanda, digunakan sebagai tempat bermain bola dan pendaratan helikopter.

Di wilayah pasar yang pada saat sekarang menjadi pusat kehidupan masyarakat Kota Sawahlunto terdapat beraneka ragam bangunan kuno peninggalan kolonial. Masih dapat kita saksikan hingga kini keagungan arsitekturnya. Sebut saja rumah Pek Sin Kek yang dibangun tahun 1906, merupakan perpaduan antara arsitektur kolonial dan arsitektur Tionghoa. Hingga kini bangunan ini masih dimiliki oleh keluarga Tionghoa. Kemudian bangunan yang sekarang berfungsi sebagai kantor Pegadaian, bangunan tersebut dibangun pada tahun 1917. Ada juga bekas rumah kediaman keluarga Sofyan Wanandi yang saat ini telah digunakan sebagai toko pada bagian depan, dan tempat hunian masyarakat pada bagian belakang.

Jika kita berjalan menyisiri jalan di depan kantor PT. BA menuju ke wilayah Saringan, maka akan kita temui banyak rumah-rumah yang sekarang berfungsi sebagai rumah dinas karyawan PT. BA ataupun hunian masyarakat sekitar. Rumah-rumah ini merupakan bangunan-bangunan peninggalan masa kolonial. Tidak hanya rumah akan tetapi juga gedung asrama pegawai tambang yang diantaranya ada yang dibangun pada tahun 1915.

Saringan merupakan sebutan untuk fasilitas penyaringan batubara di Sawahlunto, didirikan pada tahun 1900-an. Di komplek fasilitas saringan ini terdapat tiga buah tabung raksasa terbuat dari beton yang bernama Silo. Sebagian dari bangunan Saringan telah beralih fungsi menjadi kantor bagi Satuan Pemadam Kebakaran yang berkantor di lantai dasar dan satu. Kemudian dilantai atasnya berkantor Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Sawahlunto.

Dinas Pariwisata membawahi beberapa objek wisata di Sawahlunto. Khususnya yang berlokasi di Lembah Segar terdapat tiga objek wisata yakni Loebang Tambang Mbah Soero, Museum Goedang Ransoem, dan Museum Kereta Api. Selain membawahi objek wisata tersebut, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Sawahlunto juga bertanggung jawab atas konservasi kota tua di Sawahlunto.

Info Box
Terdapat Galery Foto & Pintu Masuk Menuju
Loebang Tambang Mbah Soero

Seperti yang telah disebutkan diawal tadi, lubang tambang pertama terletak di Lembah Segar. Pada saat sekarang, lubang tersebut terletak di Kelurahan Air Dingin. Merupakan salah satu objek wisata andalan di kota ini, lebih dikenal dengan nama Loebang Tambang Mbah Soero. Di depan lubang tambang ini terdapat gedung Info Box yang merupakan pintu masuk ke Lubang Tambang Mbah Soero. Di Info Box terdapat galery foto yang berada di lantai atas. Disini kita dapat melihat foto-foto lama yang menggambarkan perkembangan sejarah di Kota Sawahlunto.

Kemudian Komplek Musum Goedang Ransoem,  yang keseluruhannya terdapat lima bangunan. Bangunan-bangunan ini mulai dibangun pada tahun 1918 oleh Belanda. Difungsikan sebagai tempat memasak makanan untuk seluruh buruh tambang yang ada di Sawahlunto masa itu. Sekarang bangunan tersebut telah berubah fungsi menjadi museum.

Museum Goedang Ransoem

Museum Kereta Api merupakan bekas stasiun kereta api masa Belanda. Terletak pada ketinggian di daerah yang bernama Kampung Teleng. Dari depan stasiun kita dapa melihat pemandangan Kota Sawahlunto. Stasiun ini dibangun pada 1918, sekarang selain masih berfungsi sebagai stasiun kereta api, sebagian gedung difungsikan juga sebagai museum.

Inilah Sawahlunto, kota yang kaya akan peninggalan bersejarah di Sumatera Barat. Kota ini masih terus mengeliat, bangkit dari keterpurukan pasca menurunnya produksi batubara. Dari Kota Tambang ke Kota Wisata, sungguhlah tak mudah. Karena promosi harus benar-benar ditingkatkan dan juga harus semakin gencar. Datanglah ke Sawahlunto, silahkan nikmati kemolekan kota ini. Sebagian besar disajikan gratis di wilayah pusat kota. Hingga kini pemerintah kota masih terus berusaha menjaga dan merawat bangunan-bangunan bersejarah di Sawahlunto. “Belanda Kecil”, itulah julukannya saat ini..







[1] Nagari merupakan bentuk pemerintahan terendah di Minangkabau. Banyak orang menyamakannya dengan Desa. Namun nagari dan desa sesungguhnya berbeda. Nagari memiliki wewenang yang sangat luas sekali dalam menentukan undang-undang, menyatakan perang dengan nagari lainnya, ataupun menjalin hubungan perdagangan. Posisi Raja yang berkedudukan di Pagaruyuang hanya sebagi lambang pemersatu. Upeti tidak dikenal, yang ada ialah emas manah yang oleh beberapa kalangan disamakan dengan Upeti. Namun hal ini sesungguhnya berbeda, karena tidak ada batasan tertentu dalam menyerahkan emas manah. Setiap nagari menyerahkan emas manah sekali dalam setahun sesuai dengan kesanggupan mereka. Dan emas manah ini tidak diantarkan ke Pagaruyuang, melainkan dijemput oleh Sulthan atau perwakilannya ke masing-masing nagari di Alam Minangkabau.
[2] Masyarakat Minangkabau biasa menyebut sungai dengan sebutan “Batang” yang bermakna “sungai”. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar