Sabtu, 17 Desember 2011

"Belajarlah dari pengalaman orang lain" Saidina Ali


 Kasus Mesuji
Contoh Bagi Sumatera Barat

Sudah beberapa hari ini pemberitaan di negara ini diramaikan oleh kasus pembantaian yang di duga terjadi di sebuah daerah di pedalaman Pulau Sumatera. Sangat aneh sekali mendengar kata “pembantaian” karena kata ini biasanya digunakan pada kondisi tertentu seperti di tengah kancah peperangan, pertikaian dua negara atau rezim, ataupun agresi dari negara yang kuat terhadap negara yang lemah. Lalu kenapa hal semacam ini dapat terjadi di Indonesia yang katanya negara merdeka, menganut paham kebebasan, pluralisme dalam segala hal, serta pada saat sekarang sedang tidak dalam kondisi perang? Apa gerangan yang terjadi pada negara ini?

Alkisah di negara ini ada suatu daerah yang bernama Mesuji (ketika pertama kali mendengar nama ini, aku pikir ini nama suatu daerah di Negeri Para Samurai-Jepang). Daerah ini terletak di perbatasan dua propinsi di Pulau Sumatera, yakni Propinsi Sumatera Selatan dan Propinsi Lampung. Konon kabarnya daerah Mesuji masuk ke dalam wilayah administratif dua propinsi ini. Sehingga ada dua daerah Mesuji yakni Mesuji-Lampung dan Mesuji-Sumsel. Kedua daerah ini hanya dipisahkan oleh sebuah sungai.

Daerah ini merupakan daerah terisolir, minim pembangunan. Konon kabarnya semenjak tahun 2003 sudah ada sebuah perusahaan perkebunan dari negara tetangga yang dipimpin oleh seseorang yang bernama Benny Sutanto atau biasa disapa Abeng yang membuka lahan perkebunan di daerah ini.  Namun sayangnya hal ini mendapat penentangan dari penduduk. Maka konflik antar pengusaha dan rakyatpun pecah. Puncaknya ialah semenjak tahun 2009-2011 ini. Katanya sudah 30 nyawa yang menjadi korban. Dibantai bak hewan, sehingga banyak orang yang terguncang karena pernah menyaksikan salah satu anggota keluarganya dibantai. Hingga kini, pihak keamanan masih belum berkomentar, tidak mengiyakan, tidak pula menidakkan. “Hendak mencari perusuh yang menyerang perkebunan” katanya.


Konflik antar perusahaan perkebunan dengan penduduk setempat memang sudah sering terjadi. Tidak hanya di Mesuji akan tetapi di beberapa daerah “kaya” yang mendulang rupiah dengan “menjualnya” kepada orang asing (investor) untuk dijadikan perkebunan. Hal ini tentunya boleh-boleh saja tak ada yang melarang, suka-suka yang punya dong, tanahnya mau dijual, disewakan, ataupun digadaikan...

Benar..sekali lagi benar..

Tapi benarkah aneka lahan yang terdiri dari perbukitan, hutan-rimba belantara itu merupakan milik negara? Milik pemerintah daerah?

Sayang sekali, sebelum negara ini berdiri lengkap dengan segala peraturan agraria yang diawarisinya dari kaum penjajah. Ribuan rakyat Indonesia telah hidup dengan hukum adat mereka, mereka hidup dari alam serta hidup dengan alam. Hidup mereka sangat bergantung dengan alam. Jika butuh kayu, cari ke hutan. Butuh daging, diburu hewan liar ke hutan. Hendak makan buah-buahanpun dicari ke hutan. Hutan adalah milik mereka, bukan milik pribadi melainkan milik bersama. Atau dalam bahasa sekarangnya mereka hidup tidak individualistik melainkan hidup bersama-gotong royong, membentuk suatu masyarakat adat.

Namun manusia dengan segala kepongahan dan kebodohan yang ada padanya merupakan bencana. Apalagi manusia semacam ini berada di lingkar kekuasaan. Kebanyakan konflik muncul akibat kebodohan manusia dalam mengambil keputusan, hati tak dipakai hanya akal. Apalah daya akal kalau tiada hati. Ketiadaan hati, itulah yang menjadi pokok permasalahan manusia sekarang.

Jika dunia yang engkau kejar maka dia akan menjauhi mu, namun pabila akhirat yang engaku kejar, niscaya dunia akan mendekat dengan sendirinya. Itulah salah satu kaji yang selalu terngiang-ngiang di kepala ku. Hidup ditengah-tengah makhluk ekonomi berjenis manusia hampir membuat ku gila. Agama hanya dongeng bagi mereka, merupakan wilayah pribadi yang tak boleh diganggu gugat. Mau mereka amalkan atau tidak ajaran agama, terserah..

Pabila dunia jadi tujuan, pabila harta yang menjadi angan-angan, pabila kekuasaan yang menjadi harapan. Maka manusia semacam ini niscaya akan mendatangkan bencana bagi manusia lainnya. Tengoklah duhai Tuan Gubernur, banyak negeri yang katanya kaya justeru melarat rakyatnya. Yang kaya itu Tuan-tuan yang berada di lingkar kekuasaan. Sumatera Barat memang miskin akan SDA, namun tidak pernah kita dengar konflik terjadi antara pengusaha dengan rakyat di negeri ini. Urungkanlah niat tuan mendatangkan investor ke negeri kita, niscaya petaka yang akan dapat. Maupek orang se Alam Minangkabau nantinya duhai Tuan..








Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sabtu, 17 Desember 2011

"Belajarlah dari pengalaman orang lain" Saidina Ali


 Kasus Mesuji
Contoh Bagi Sumatera Barat

Sudah beberapa hari ini pemberitaan di negara ini diramaikan oleh kasus pembantaian yang di duga terjadi di sebuah daerah di pedalaman Pulau Sumatera. Sangat aneh sekali mendengar kata “pembantaian” karena kata ini biasanya digunakan pada kondisi tertentu seperti di tengah kancah peperangan, pertikaian dua negara atau rezim, ataupun agresi dari negara yang kuat terhadap negara yang lemah. Lalu kenapa hal semacam ini dapat terjadi di Indonesia yang katanya negara merdeka, menganut paham kebebasan, pluralisme dalam segala hal, serta pada saat sekarang sedang tidak dalam kondisi perang? Apa gerangan yang terjadi pada negara ini?

Alkisah di negara ini ada suatu daerah yang bernama Mesuji (ketika pertama kali mendengar nama ini, aku pikir ini nama suatu daerah di Negeri Para Samurai-Jepang). Daerah ini terletak di perbatasan dua propinsi di Pulau Sumatera, yakni Propinsi Sumatera Selatan dan Propinsi Lampung. Konon kabarnya daerah Mesuji masuk ke dalam wilayah administratif dua propinsi ini. Sehingga ada dua daerah Mesuji yakni Mesuji-Lampung dan Mesuji-Sumsel. Kedua daerah ini hanya dipisahkan oleh sebuah sungai.

Daerah ini merupakan daerah terisolir, minim pembangunan. Konon kabarnya semenjak tahun 2003 sudah ada sebuah perusahaan perkebunan dari negara tetangga yang dipimpin oleh seseorang yang bernama Benny Sutanto atau biasa disapa Abeng yang membuka lahan perkebunan di daerah ini.  Namun sayangnya hal ini mendapat penentangan dari penduduk. Maka konflik antar pengusaha dan rakyatpun pecah. Puncaknya ialah semenjak tahun 2009-2011 ini. Katanya sudah 30 nyawa yang menjadi korban. Dibantai bak hewan, sehingga banyak orang yang terguncang karena pernah menyaksikan salah satu anggota keluarganya dibantai. Hingga kini, pihak keamanan masih belum berkomentar, tidak mengiyakan, tidak pula menidakkan. “Hendak mencari perusuh yang menyerang perkebunan” katanya.


Konflik antar perusahaan perkebunan dengan penduduk setempat memang sudah sering terjadi. Tidak hanya di Mesuji akan tetapi di beberapa daerah “kaya” yang mendulang rupiah dengan “menjualnya” kepada orang asing (investor) untuk dijadikan perkebunan. Hal ini tentunya boleh-boleh saja tak ada yang melarang, suka-suka yang punya dong, tanahnya mau dijual, disewakan, ataupun digadaikan...

Benar..sekali lagi benar..

Tapi benarkah aneka lahan yang terdiri dari perbukitan, hutan-rimba belantara itu merupakan milik negara? Milik pemerintah daerah?

Sayang sekali, sebelum negara ini berdiri lengkap dengan segala peraturan agraria yang diawarisinya dari kaum penjajah. Ribuan rakyat Indonesia telah hidup dengan hukum adat mereka, mereka hidup dari alam serta hidup dengan alam. Hidup mereka sangat bergantung dengan alam. Jika butuh kayu, cari ke hutan. Butuh daging, diburu hewan liar ke hutan. Hendak makan buah-buahanpun dicari ke hutan. Hutan adalah milik mereka, bukan milik pribadi melainkan milik bersama. Atau dalam bahasa sekarangnya mereka hidup tidak individualistik melainkan hidup bersama-gotong royong, membentuk suatu masyarakat adat.

Namun manusia dengan segala kepongahan dan kebodohan yang ada padanya merupakan bencana. Apalagi manusia semacam ini berada di lingkar kekuasaan. Kebanyakan konflik muncul akibat kebodohan manusia dalam mengambil keputusan, hati tak dipakai hanya akal. Apalah daya akal kalau tiada hati. Ketiadaan hati, itulah yang menjadi pokok permasalahan manusia sekarang.

Jika dunia yang engkau kejar maka dia akan menjauhi mu, namun pabila akhirat yang engaku kejar, niscaya dunia akan mendekat dengan sendirinya. Itulah salah satu kaji yang selalu terngiang-ngiang di kepala ku. Hidup ditengah-tengah makhluk ekonomi berjenis manusia hampir membuat ku gila. Agama hanya dongeng bagi mereka, merupakan wilayah pribadi yang tak boleh diganggu gugat. Mau mereka amalkan atau tidak ajaran agama, terserah..

Pabila dunia jadi tujuan, pabila harta yang menjadi angan-angan, pabila kekuasaan yang menjadi harapan. Maka manusia semacam ini niscaya akan mendatangkan bencana bagi manusia lainnya. Tengoklah duhai Tuan Gubernur, banyak negeri yang katanya kaya justeru melarat rakyatnya. Yang kaya itu Tuan-tuan yang berada di lingkar kekuasaan. Sumatera Barat memang miskin akan SDA, namun tidak pernah kita dengar konflik terjadi antara pengusaha dengan rakyat di negeri ini. Urungkanlah niat tuan mendatangkan investor ke negeri kita, niscaya petaka yang akan dapat. Maupek orang se Alam Minangkabau nantinya duhai Tuan..








Tidak ada komentar:

Posting Komentar