Siapa yang Radikal?
Deradikalisasi, kata itu sering terdengar diperbincangkan oleh orang-orang di televisi pada akhir-akhir ini. Para ahli, apakah itu politisi, pengamat, polisi, budayawan, ulama, ataupun orang yang mengaku mengerti agama ikut terlibat dalam perbincangan (perdebatan) mengenai perkara ini. Hal ini tentunya tak terlepas dari maraknya penangkapan yang disiarkan di televisi yang dilakukan oleh polisi disejumlah daerah. Penangkapan terhadap orang-orang yang diduga teroris.
Memanglah selama ini, kata “teroris” telah dimaknai sama dengan umat Islam. Terutama umat Islam yang berjenggot, bergamis, selalu mendatangi surau (masjid), orang-orang yang mendakwahi Islam, orang-orang yang mengkritik perihal keadaan sosial budaya umat yang jauh dari syari’at, dan lain sebagainya. Mereka dikatakan fundamentalis, fanatik, dan radikalis. Entah apa yang dijadikan pengukur (barometer) dalam menilai seseorang itu teroris. Namun yang jelas, media dan kaum elit (penguasa) di negara ini yang berkedudukan di Jakarta telah semakin merajalela (semena-mena) dalam mendefinisikan teroris dan akar penyebabnya.
Sebut saja beberapa waktu yang lalu, salah satu stasiun televisi swasta di Indonesia menyebutkan bahwa salah satu akar dari terorisme ini ialah gerakan rohis di sekolah-sekolah. Rohis merupakan suatu perkumpulan yang dilakukan di sekolah ataupun universitas dalam pengkajian dan pendalaman Islam. Tujuan mereka ialah belajar dan berdakwah dengan sasaran para pelajar dan mahasiswa. Dahulu ketika kami masih kuliah anak-anak rohis ini juga dikenal dengan sebutan dengan “anak forum”.