Sabtu, 29 September 2012

Deradikalisasi?


Siapa yang Radikal?


Deradikalisasi, kata itu sering terdengar diperbincangkan oleh orang-orang di televisi pada akhir-akhir ini. Para ahli, apakah itu politisi, pengamat, polisi, budayawan, ulama, ataupun orang yang mengaku mengerti agama ikut terlibat dalam perbincangan (perdebatan) mengenai perkara ini. Hal ini tentunya tak terlepas dari maraknya penangkapan yang disiarkan di televisi yang dilakukan oleh polisi disejumlah daerah. Penangkapan terhadap orang-orang yang diduga teroris.


Memanglah selama ini, kata “teroris” telah dimaknai sama dengan umat Islam. Terutama umat Islam yang berjenggot, bergamis, selalu mendatangi surau (masjid), orang-orang yang mendakwahi Islam, orang-orang yang mengkritik perihal keadaan sosial budaya umat yang jauh dari syari’at, dan lain sebagainya. Mereka dikatakan fundamentalis, fanatik, dan radikalis. Entah apa yang dijadikan pengukur (barometer) dalam menilai seseorang itu teroris. Namun yang jelas, media dan kaum elit (penguasa) di negara ini yang berkedudukan di Jakarta telah semakin merajalela (semena-mena) dalam mendefinisikan teroris dan akar penyebabnya.

Sebut saja beberapa waktu yang lalu, salah satu stasiun televisi swasta di Indonesia menyebutkan bahwa salah satu akar dari terorisme ini ialah gerakan rohis di sekolah-sekolah. Rohis merupakan suatu perkumpulan yang dilakukan di sekolah ataupun universitas dalam pengkajian dan pendalaman Islam. Tujuan mereka ialah belajar dan berdakwah dengan sasaran para pelajar dan mahasiswa. Dahulu ketika kami masih kuliah anak-anak rohis ini juga dikenal dengan sebutan dengan “anak forum”.

Kemudian terdengar pula perihal “sertifikasi ulama” yang keluar dari mulut beberapa orang pejabat yang merasa diri mereka berkuasa dan berwenang. Wacana inipun menuai sanggahan (kritikan) dari beberapa orang ulama dan tokoh negawaran. Ada yang mengatakan “seharusnya pejabatlah yang baiknya mendapat sertifikasi”.


Kamipun terkejut mendengar hal tersebut, sungguh sudah semakin menjadi-jadi rupanya kelakukan kaum “Abdullah bin Ubay” ini di Jakarta. Kami sedari awal sudah curiga bahwa ada suatu rencana busuk dan sistematis untuk menyerang umat Islam di negara ini. Negara dalam hal ini memainkan standar ganda, dalam menghadapi umat Islam, mereka langsung mengklafikasikan bahwa ada umat Islam yang radikal dan liberal. Orang radikal harus dimusnahkan dan liberal harus diberdayakan atau dipertahankan. Menurut mereka, ulama adalah sumber dari sikap radikal dan fanatik sebagian umat Islam, oleh karena itu mereka harus diawasi dengan memberikan sertifikasi bagi para ulama. Sebab dengan begitu, para ulama ini dapat dikontrol dalam memberikan pengajaran (dakwah) kepada umat.

Pemikiran semacam ini masih baru, namun sudah cukup sebagai pemancing. Sama dengan pemikiran-pemikiran lainnya yang menantang dan merusak tatanan, maka yang terpenting dari ini semua ialah sebuah ide telah dilontarkan, biar waktu yang menentukan, kapan kiranya ide ini akan diterima. Karena cepat atau lambat, dengan bantuan segenap sumber daya yang ada, propaganda akan ide ini akan terus berkembang dan akhirnya diterima oleh segenap orang-orang di negara ini.

Suatu ide bahwa ulama dan ajaran Islamlah yang menyebabkan berbagai tindak (aksi) terorisme ini terjadi di negara ini. ide inilah yang selama ini terus ditanamkan di benak setiap orang, sama kiranya halnya dengan kesan (imej) orang berjenggot yang disamakan (identik) dengan teroris. Pada mulanya ide ini ditentang oleh kebanyakan umat Islam, namun seriring dengan berjalannya waktu dan propaganda yang terus menerus (sistematis) melalui media maka pada masa sekarang hampir tidak ada orang yang menolak kalau orang berjenggot ialah teroris.


Tidak seorangpun diantara mereka yang berfikir bahwa salah satu sumber dari tindak radikali, fundamental, dan fanatik dalam beragama disebabkan oleh orang-orang seperti mereka. Ya.. orang-orang yang mengaku liberal dan tercerahkan. Mengaku sebagai Islam tetapi kenyataannya mereka malah menghujat dan melakukan penistaan kepada agama. Kebijakan dan perlakuan orang-orang non muslim terhadap orang Islam di berbagai belahan dunia lainnya juga menjadi penyebabnya. Namun yang utama di negara ini ialah keberadaan orang-orang Liberal merupakan pokok dari permasalahan ini. ada aksi maka akan ada juga reaksi (weber) atau hukum sebab-akibat (newton). Tidak ada yang berfikir demikian, sebagian dari orang-orang di negara ini sengaja memicingkan mata mereka terhadap hal tersebut. Sebab kalau memang demikian, maka mereka yang sangat merdu kicauannya terhadap terorisme di negara ini juga ikut terlibat dan bertanggung jawab terhadap aksi ini.

Kini tinggal menunggu waktu, pada saat ini “sertifikasi ulama” memang masih banyak yang menolak. Namun seiring dengan berjalannya waktu, ide ini pada akhirnya akan diterima oleh setiap orang.

Semoga saja segala tipu daya ini akan berhasil kita tangkal dan lawan
Sesungguhnya Allah ialah sebaik-baik tempat mencari perlindungan



juga dimuat di: http://www.soeloehmelajoe.wordpress.com

sumber gambar: internet

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sabtu, 29 September 2012

Deradikalisasi?


Siapa yang Radikal?


Deradikalisasi, kata itu sering terdengar diperbincangkan oleh orang-orang di televisi pada akhir-akhir ini. Para ahli, apakah itu politisi, pengamat, polisi, budayawan, ulama, ataupun orang yang mengaku mengerti agama ikut terlibat dalam perbincangan (perdebatan) mengenai perkara ini. Hal ini tentunya tak terlepas dari maraknya penangkapan yang disiarkan di televisi yang dilakukan oleh polisi disejumlah daerah. Penangkapan terhadap orang-orang yang diduga teroris.


Memanglah selama ini, kata “teroris” telah dimaknai sama dengan umat Islam. Terutama umat Islam yang berjenggot, bergamis, selalu mendatangi surau (masjid), orang-orang yang mendakwahi Islam, orang-orang yang mengkritik perihal keadaan sosial budaya umat yang jauh dari syari’at, dan lain sebagainya. Mereka dikatakan fundamentalis, fanatik, dan radikalis. Entah apa yang dijadikan pengukur (barometer) dalam menilai seseorang itu teroris. Namun yang jelas, media dan kaum elit (penguasa) di negara ini yang berkedudukan di Jakarta telah semakin merajalela (semena-mena) dalam mendefinisikan teroris dan akar penyebabnya.

Sebut saja beberapa waktu yang lalu, salah satu stasiun televisi swasta di Indonesia menyebutkan bahwa salah satu akar dari terorisme ini ialah gerakan rohis di sekolah-sekolah. Rohis merupakan suatu perkumpulan yang dilakukan di sekolah ataupun universitas dalam pengkajian dan pendalaman Islam. Tujuan mereka ialah belajar dan berdakwah dengan sasaran para pelajar dan mahasiswa. Dahulu ketika kami masih kuliah anak-anak rohis ini juga dikenal dengan sebutan dengan “anak forum”.

Kemudian terdengar pula perihal “sertifikasi ulama” yang keluar dari mulut beberapa orang pejabat yang merasa diri mereka berkuasa dan berwenang. Wacana inipun menuai sanggahan (kritikan) dari beberapa orang ulama dan tokoh negawaran. Ada yang mengatakan “seharusnya pejabatlah yang baiknya mendapat sertifikasi”.


Kamipun terkejut mendengar hal tersebut, sungguh sudah semakin menjadi-jadi rupanya kelakukan kaum “Abdullah bin Ubay” ini di Jakarta. Kami sedari awal sudah curiga bahwa ada suatu rencana busuk dan sistematis untuk menyerang umat Islam di negara ini. Negara dalam hal ini memainkan standar ganda, dalam menghadapi umat Islam, mereka langsung mengklafikasikan bahwa ada umat Islam yang radikal dan liberal. Orang radikal harus dimusnahkan dan liberal harus diberdayakan atau dipertahankan. Menurut mereka, ulama adalah sumber dari sikap radikal dan fanatik sebagian umat Islam, oleh karena itu mereka harus diawasi dengan memberikan sertifikasi bagi para ulama. Sebab dengan begitu, para ulama ini dapat dikontrol dalam memberikan pengajaran (dakwah) kepada umat.

Pemikiran semacam ini masih baru, namun sudah cukup sebagai pemancing. Sama dengan pemikiran-pemikiran lainnya yang menantang dan merusak tatanan, maka yang terpenting dari ini semua ialah sebuah ide telah dilontarkan, biar waktu yang menentukan, kapan kiranya ide ini akan diterima. Karena cepat atau lambat, dengan bantuan segenap sumber daya yang ada, propaganda akan ide ini akan terus berkembang dan akhirnya diterima oleh segenap orang-orang di negara ini.

Suatu ide bahwa ulama dan ajaran Islamlah yang menyebabkan berbagai tindak (aksi) terorisme ini terjadi di negara ini. ide inilah yang selama ini terus ditanamkan di benak setiap orang, sama kiranya halnya dengan kesan (imej) orang berjenggot yang disamakan (identik) dengan teroris. Pada mulanya ide ini ditentang oleh kebanyakan umat Islam, namun seriring dengan berjalannya waktu dan propaganda yang terus menerus (sistematis) melalui media maka pada masa sekarang hampir tidak ada orang yang menolak kalau orang berjenggot ialah teroris.


Tidak seorangpun diantara mereka yang berfikir bahwa salah satu sumber dari tindak radikali, fundamental, dan fanatik dalam beragama disebabkan oleh orang-orang seperti mereka. Ya.. orang-orang yang mengaku liberal dan tercerahkan. Mengaku sebagai Islam tetapi kenyataannya mereka malah menghujat dan melakukan penistaan kepada agama. Kebijakan dan perlakuan orang-orang non muslim terhadap orang Islam di berbagai belahan dunia lainnya juga menjadi penyebabnya. Namun yang utama di negara ini ialah keberadaan orang-orang Liberal merupakan pokok dari permasalahan ini. ada aksi maka akan ada juga reaksi (weber) atau hukum sebab-akibat (newton). Tidak ada yang berfikir demikian, sebagian dari orang-orang di negara ini sengaja memicingkan mata mereka terhadap hal tersebut. Sebab kalau memang demikian, maka mereka yang sangat merdu kicauannya terhadap terorisme di negara ini juga ikut terlibat dan bertanggung jawab terhadap aksi ini.

Kini tinggal menunggu waktu, pada saat ini “sertifikasi ulama” memang masih banyak yang menolak. Namun seiring dengan berjalannya waktu, ide ini pada akhirnya akan diterima oleh setiap orang.

Semoga saja segala tipu daya ini akan berhasil kita tangkal dan lawan
Sesungguhnya Allah ialah sebaik-baik tempat mencari perlindungan



juga dimuat di: http://www.soeloehmelajoe.wordpress.com

sumber gambar: internet

Tidak ada komentar:

Posting Komentar