Rabu, 14 September 2011

Bukik Tinggi-Luhak Agam


Bukik Tinggi Koto Rang Agam

Bukittinggi adalah kota kelahiran ku, walau nyatanya rumah ku berada di luar wilayah administratif kota ini. Aku berasal dari salah satu nagari yang merupakan wilayah administratif dari Kabupaten Agam. Sedangkan Bukittinggi berada 12 Km dari kampung ku, Bukittinggi merupakan kota kecil yang saat ini terus berkembang. Berdasarkan Peraturan Pemerintah yang aku lupa nomornya, wilayah kota ini seharusnya sudah diperluas, seperti layaknya Kota Sawahlunto. Namun hingga kini perluasan tersebut masih terhalang karena ditentang oleh rakyat yang nagari mereka hendak dimasukkan ke dalam wilayah kota ini. Entah apa penyebab penolakan mereka, aku hanya mendengar kabar angin yang aku ragukan kebenarannya, makanya tak dapat aku sebutkan disini.
Sumber Foto: Internet

Bukik Tinggi Koto Rang Agam, begitulah bunyi sepenggal sair lagu Elly Kasim, penyanyi kebanggan Rang Minang. Makna lagunya sungguh menggambarkan realitas yang ada di daerah kami. Secara administratif Bukittinggi dan Agam merupakan wilayah Tingkat Dua yang berbeda dan sejajar namun secara sosial-budaya kedua daerah ini sebenarnya satu. Wilayah Kabupaten Agam sekarang, sebagian besar merupakan wilayah dari Luhak Agam, kecuali Tiku[1] dan beberapa daerah lainnya yang terletak arah ke Lubukbasung. Sedangkan Bukittinggi yang dulunya bernama Pasa Kurai[2] merupakan bagian dari Luhak Agam. Makanya orang Bukittinggi juga disebut orang Agam karena secara kultural Bukittinggi merupakan bagian dari Luhak Agam, salah satu dari tiga Luhak yang diyakini sebagai daerah asal orang Minangkabau. Aku teringat tulisan Bung Hatta diawal Memoirnya, kira-kira begini bunyi kutipannya:


 “Ketika semasa kecil dulu aku bermain-main di Pasa Ateh, aku mendengar para pedagang disana berujar, “disana”, sambil menunjuk ke kantor Residen Agam, “Tuan Kompeni itu yang berkuasa, akan tetapi di sini” sambil menunjuk ke Pasa Ateh, “kami orang Agam yang berkuasa”.

Begitulah kawan, hingga kini di Kota Bukittinggi, kami orang Agamlah yang meramaikan. Banyak diantara pedagang, pegawai, atau orang-orang dari berbagai profesi lainnya yang beraktifitas di Bukittinggi berasal dari daerah sekitar. Kami orang Minang menyebut orang-orang semacam ini dengan Marantau Pipik. Yakni orang-orang yang mencari hidup di daerah lain namun tinggalnya tidak di tempat mereka mencari hidup. Kira-kira persis seperti orang-orang yang bekerja di Jakarta namun tinggalnya di Depok, Bekasi, atau Tanggerang. Namun bedanya ialah kami masih satu asal-usul yakni sama-sama orang Agam.

Jadi kau jangan heran kawan, pabila aku mengatakan aku orang Bukittinggi atau aku dibesarkan di kota ini. Karena memang semenjak aku masih kecil kota ini sudah menjadi bagian dari hidup ku, jaraknya cuma 12 km dari kampung ku, cukup 15 menit berkendaraan. Aku cukup mengetahui seluk-beluk kota ini. Ikatan batin diantara kami memang sudah cukup besar, Bukik Tinggi Koto Rang Agam. Saya yakin banyak dari orang Kurai yang keberatan, tapi apa hendak dikata, karena aku yakin dari dahulu Bukik Tinggi merupakan milik orang Agam. Bukik Tinggi merupakan ibu negeri Kabupaten Agam sebelum dipindahkan ke Lubukbasung.[3] Kantor Bupatinya berada tepat di depan Jam Gadang yang sekarang lahan tersebut sudah berubah fungsi menjadi “Bukittinggi Plaza”.

Berkembangnya ekonomi di Bukittinggi juga tak terlepas dari peran orang Agam, berbagai produk industri kecil seperti souvenir yang dijual di depan Jam Gadang, dibuat oleh penduduk Agam. Produk Konveksi seperti mukena, baju, celana, bordiran, tenunan juga berasal dari Agam.[4] Nasi Kapau yang terkenal, berasal dari Agam, Kerupuk Jangek, Kerupuk Kamang, dan berbagai macam panganan lainnya juga berasal dari Agam. Masih banyak lagi produk home industrie yang dipasarkan di Bukittinggi berasal dari Agam. Begitu juga dengan sekolah-sekolah yang terdapat di Bukittinggi, cukup banyak siswanya yang berasal dari Agam. Bukan aku hendak menggadang-gadangkan Agam kawan, namun untuk membuka mata hati kita orang Agam, hendaknya bersatulah. Jangan karena berbeda wilayah administratif kita terpecah-belah dan saling mengedepankan ke kami-an kita.

Dimasa Belanda Residensi Agam berpusat di Fort de Kock, sama sekali tidak ada dikhotomi antara yang di de Kock dengan daerah lainnya di Agam. Hanya saja kita, generasi sekarang sangat kurang memahami dan mengenali sejarah tanah leluhur kita. Sehingga banyak diantara kita sekarang ini bersikap kagadang-gadangan. Banyak dari anak Agam yang mencintai Bukittinggi layaknya mereka mencintai kampung mereka sendiri. Jadi usahlah difikirkan, kita ini Rang Agam. Ingat kawan, harap dipisahkan antara Luhak Agam dengan Kabupaten Agam. Karena keduanya berbeda. Kabupaten Agam, tidak termasuk Bukittinggi & Pandai Sikek.[5] Namun jika berbicara Luhak Agam maka Bukittinggi dan Pandai Sikek merupakan bagian darinya.

Pelajari dan dalami sejarah tanah kelahiran kita kawan, karena sekarang banyak anak-anak seusia kita berani bercakap perkara adat & agama. Namun pada dasarnya mereka tidak memiliki pengetahuan pada keduanya, tapi sayangnya suara mereka pula yang paling keras.…



[1] Dari sudut pandang adat/budaya, Tiku merupakan bagian dari Rantau Pariaman. Hingga kini masih terdengar oleh ku orang-orang menyebut “Tiku Pariaman”.

[2] Penduduk Luhak Agam lebih mengenal Bukittinggi dengan sebutan Pasa Kurai, tentunya di masa Belanda. Inyiak (kakek) ku masih sering menyebut Bukittinggi dengan sebutan Pasa Kurai. Beda dengan Belanda yang lebih mengenal Bukittinggi dengan nama Fort de Kock. Salah seorang Jendral Belanda masa Paderi. Bukittinggi mulai ditaruko oleh Belanda masa Paderi, dimana mereka mendirikan benteng untuk menghadapi Pejuang Paderi.
[3] Ibukota Kabupaten Agam dipindahkan pada tahun 1991 ke Lubukbasung.

[4] Nagari Pandai Sikek yang terkenal dengan kerjaninan songketnya sebenarnya berasal dari Luhak Agam, hanya saja dalam administrasi modern pada masa sekarang ini Pandai Sikek dimasukkan ke dalam Kabupaten Tanah Datar. Entah apa penyebabnya di masa lalu…

[5] Salah seorang tokoh Gerakan Paderi yakni Haji Miskin berasal dari Pandai Sikek Luhak Agam. Dalam berbagai literartur selalu dikedepankan “Tiga Orang Haji pulang dari Mekah, Haji Sumaniak dari Luhak Tanah Data, Haji Miskin dari Luhak Agam, dan Haji Piobang dari Luhak Limopuluah Koto”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rabu, 14 September 2011

Bukik Tinggi-Luhak Agam


Bukik Tinggi Koto Rang Agam

Bukittinggi adalah kota kelahiran ku, walau nyatanya rumah ku berada di luar wilayah administratif kota ini. Aku berasal dari salah satu nagari yang merupakan wilayah administratif dari Kabupaten Agam. Sedangkan Bukittinggi berada 12 Km dari kampung ku, Bukittinggi merupakan kota kecil yang saat ini terus berkembang. Berdasarkan Peraturan Pemerintah yang aku lupa nomornya, wilayah kota ini seharusnya sudah diperluas, seperti layaknya Kota Sawahlunto. Namun hingga kini perluasan tersebut masih terhalang karena ditentang oleh rakyat yang nagari mereka hendak dimasukkan ke dalam wilayah kota ini. Entah apa penyebab penolakan mereka, aku hanya mendengar kabar angin yang aku ragukan kebenarannya, makanya tak dapat aku sebutkan disini.
Sumber Foto: Internet

Bukik Tinggi Koto Rang Agam, begitulah bunyi sepenggal sair lagu Elly Kasim, penyanyi kebanggan Rang Minang. Makna lagunya sungguh menggambarkan realitas yang ada di daerah kami. Secara administratif Bukittinggi dan Agam merupakan wilayah Tingkat Dua yang berbeda dan sejajar namun secara sosial-budaya kedua daerah ini sebenarnya satu. Wilayah Kabupaten Agam sekarang, sebagian besar merupakan wilayah dari Luhak Agam, kecuali Tiku[1] dan beberapa daerah lainnya yang terletak arah ke Lubukbasung. Sedangkan Bukittinggi yang dulunya bernama Pasa Kurai[2] merupakan bagian dari Luhak Agam. Makanya orang Bukittinggi juga disebut orang Agam karena secara kultural Bukittinggi merupakan bagian dari Luhak Agam, salah satu dari tiga Luhak yang diyakini sebagai daerah asal orang Minangkabau. Aku teringat tulisan Bung Hatta diawal Memoirnya, kira-kira begini bunyi kutipannya:


 “Ketika semasa kecil dulu aku bermain-main di Pasa Ateh, aku mendengar para pedagang disana berujar, “disana”, sambil menunjuk ke kantor Residen Agam, “Tuan Kompeni itu yang berkuasa, akan tetapi di sini” sambil menunjuk ke Pasa Ateh, “kami orang Agam yang berkuasa”.

Begitulah kawan, hingga kini di Kota Bukittinggi, kami orang Agamlah yang meramaikan. Banyak diantara pedagang, pegawai, atau orang-orang dari berbagai profesi lainnya yang beraktifitas di Bukittinggi berasal dari daerah sekitar. Kami orang Minang menyebut orang-orang semacam ini dengan Marantau Pipik. Yakni orang-orang yang mencari hidup di daerah lain namun tinggalnya tidak di tempat mereka mencari hidup. Kira-kira persis seperti orang-orang yang bekerja di Jakarta namun tinggalnya di Depok, Bekasi, atau Tanggerang. Namun bedanya ialah kami masih satu asal-usul yakni sama-sama orang Agam.

Jadi kau jangan heran kawan, pabila aku mengatakan aku orang Bukittinggi atau aku dibesarkan di kota ini. Karena memang semenjak aku masih kecil kota ini sudah menjadi bagian dari hidup ku, jaraknya cuma 12 km dari kampung ku, cukup 15 menit berkendaraan. Aku cukup mengetahui seluk-beluk kota ini. Ikatan batin diantara kami memang sudah cukup besar, Bukik Tinggi Koto Rang Agam. Saya yakin banyak dari orang Kurai yang keberatan, tapi apa hendak dikata, karena aku yakin dari dahulu Bukik Tinggi merupakan milik orang Agam. Bukik Tinggi merupakan ibu negeri Kabupaten Agam sebelum dipindahkan ke Lubukbasung.[3] Kantor Bupatinya berada tepat di depan Jam Gadang yang sekarang lahan tersebut sudah berubah fungsi menjadi “Bukittinggi Plaza”.

Berkembangnya ekonomi di Bukittinggi juga tak terlepas dari peran orang Agam, berbagai produk industri kecil seperti souvenir yang dijual di depan Jam Gadang, dibuat oleh penduduk Agam. Produk Konveksi seperti mukena, baju, celana, bordiran, tenunan juga berasal dari Agam.[4] Nasi Kapau yang terkenal, berasal dari Agam, Kerupuk Jangek, Kerupuk Kamang, dan berbagai macam panganan lainnya juga berasal dari Agam. Masih banyak lagi produk home industrie yang dipasarkan di Bukittinggi berasal dari Agam. Begitu juga dengan sekolah-sekolah yang terdapat di Bukittinggi, cukup banyak siswanya yang berasal dari Agam. Bukan aku hendak menggadang-gadangkan Agam kawan, namun untuk membuka mata hati kita orang Agam, hendaknya bersatulah. Jangan karena berbeda wilayah administratif kita terpecah-belah dan saling mengedepankan ke kami-an kita.

Dimasa Belanda Residensi Agam berpusat di Fort de Kock, sama sekali tidak ada dikhotomi antara yang di de Kock dengan daerah lainnya di Agam. Hanya saja kita, generasi sekarang sangat kurang memahami dan mengenali sejarah tanah leluhur kita. Sehingga banyak diantara kita sekarang ini bersikap kagadang-gadangan. Banyak dari anak Agam yang mencintai Bukittinggi layaknya mereka mencintai kampung mereka sendiri. Jadi usahlah difikirkan, kita ini Rang Agam. Ingat kawan, harap dipisahkan antara Luhak Agam dengan Kabupaten Agam. Karena keduanya berbeda. Kabupaten Agam, tidak termasuk Bukittinggi & Pandai Sikek.[5] Namun jika berbicara Luhak Agam maka Bukittinggi dan Pandai Sikek merupakan bagian darinya.

Pelajari dan dalami sejarah tanah kelahiran kita kawan, karena sekarang banyak anak-anak seusia kita berani bercakap perkara adat & agama. Namun pada dasarnya mereka tidak memiliki pengetahuan pada keduanya, tapi sayangnya suara mereka pula yang paling keras.…



[1] Dari sudut pandang adat/budaya, Tiku merupakan bagian dari Rantau Pariaman. Hingga kini masih terdengar oleh ku orang-orang menyebut “Tiku Pariaman”.

[2] Penduduk Luhak Agam lebih mengenal Bukittinggi dengan sebutan Pasa Kurai, tentunya di masa Belanda. Inyiak (kakek) ku masih sering menyebut Bukittinggi dengan sebutan Pasa Kurai. Beda dengan Belanda yang lebih mengenal Bukittinggi dengan nama Fort de Kock. Salah seorang Jendral Belanda masa Paderi. Bukittinggi mulai ditaruko oleh Belanda masa Paderi, dimana mereka mendirikan benteng untuk menghadapi Pejuang Paderi.
[3] Ibukota Kabupaten Agam dipindahkan pada tahun 1991 ke Lubukbasung.

[4] Nagari Pandai Sikek yang terkenal dengan kerjaninan songketnya sebenarnya berasal dari Luhak Agam, hanya saja dalam administrasi modern pada masa sekarang ini Pandai Sikek dimasukkan ke dalam Kabupaten Tanah Datar. Entah apa penyebabnya di masa lalu…

[5] Salah seorang tokoh Gerakan Paderi yakni Haji Miskin berasal dari Pandai Sikek Luhak Agam. Dalam berbagai literartur selalu dikedepankan “Tiga Orang Haji pulang dari Mekah, Haji Sumaniak dari Luhak Tanah Data, Haji Miskin dari Luhak Agam, dan Haji Piobang dari Luhak Limopuluah Koto”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar