Kamis, 17 November 2011

Nyanyian dalam Islam


Nyanyian dalam Islam

Baru-baru ini salah seorang kawan bertanya, “bagaimana gerangan pandangan nyanyian terutama nyanyian Islami dalam agama kita. Bukankah hal tersebut sama namanya dengan menyerupai orang-orang kafir?”

 Lebih lanjut dia bercerita kalau semasa kuliah dulu pernah dia bertanya kepada salah seorang kawannya yang Kristiani, “apa gerangan isi nyanyian di gereja?” Si kawan menjelaskan “yang kami nyanyikan ialah puji-pujian kepada Tuhan”.

Beralaskan jawaban dari kawannya tersebut, maka kawan ku yang satu ini beranggapan nyanyian Islami dianggap menyerupai umat Kristiani dalam beribadah. Berdasarkan jawaban dari kawannya tersebut maka dia sendiri yakin nyanyian dalam Islam merusak akidah, dia sendiri lebih menyukai musik-musik non Islami semacam pop, jazz, ataupun musik klasik.

Mungkin banyak diantara kita yang berpandangan demikian, alangkah baiknya jika kita menengok sejenak Sejarah Perkembangan Peradaban Islam. Hampir setiap suku bangsa di dunia (termasuk kita di Ranah Melayu ini) memiliki tradisi sastra tertulis maupun lisan, sudah menjadi kebiasaan masyarakat pada masa dahulu untuk mengubah sebuah sya’ir sebagai bentuk penghargaan tertinggi apakah itu kepada Tuhan, manusia yang dikagumi (seperti penguasa atau tokoh masyarakat), kekasih ataupun orang-orang yang dicintai, alam dan lingkungan tempat tinggal. Terkadang pula di sebagian masyarakat, para ahli sastra terutama penyair menduduki posisi terhormat dikalangan masyarakatnya.


Begitu pulalah di Negeri Arab, para penyair menduduki posisi istimewa di tengah-tengah masyarakat Arab kala itu. Oleh karena itu Allah menurunkan Al Qur’an kepada nabi kita Muhammad S.A.W dengan tata bahasa yang menakjubkan, dan benar, para penyair Arab kala itu tidak pernah berhasil menciptakan untaian kata-kata indah seperti yang terdapat pada Al Qur’an. Bahkan dalam salah satu ayat Al Qur’an, Allah pernah menantang para sastrawan Arab kala itu untuk membuat ayat tandingan serupa yang terdapat pada Al Qur’an.

Dalam perkembangan kebudayaan Islam, tradisi membuat sya’ir terus berlanjut. Para sufi yang terkenal hidup sederhana dan berjiwa filosofis merupakan penyair paling produktif. Tentunya tema-tema mereka mengenai ketuhanan atau religiusitas. Beraneka ragam syair puji-pujian kepada Allah S.W.T diciptakan.

Selain itu, teknologi musik Islam yang telah ada sebelumnya juga ikut berkembang. Adalah sittar dan rebab yang merupakan alat musik tradisional bangsa Arab yang kemudian mendunia. Alat musik tradisional tersebut masih ada hingga kini namun turunannya yang patut kita perhatikan yakni Gitar dan Biola. Tidak banyak yang tahu memang, kita tahunya bahwa kedua alat musik tersebut berasal dari Barat. Sama kiranya dengan angka-angka yang kita pakai sekarang, tahukah kalian kawan  kalau angka-angka yang kita gunakan sekarang berasal dari peradaban Islam Bangsa Arab?

Dalam lingkungan istana-istana Khalifah, Sulthan, Amir, ataupun istana-istana lainnya baik yang dimiliki oleh pejabat negara maupun kaum hartawan pada masa dahulunya tersedia sekelompok penyanyi dan pemain musik. Karena pada masa dahulu belum dikenal alat perekam suara, maka kelompok-kelompok penyanyi dan pemain musik tersebut sengaja dipekerjakan sebagai pegawai guna menghibur tuan rumah dan tamunya.

Jadi perkembangan seni musik dan sastra (syair) di dunia Islam terlepas sepenuhnya dari peradaban Barat. Tidak tepat kiranya jika kita memandang bahwa nyanyian tersebut berasal dari kebudayaan Barat yang non-muslim. Adapun perihal puji-pujian yang terdapat dalam nyanyian Islam yang serupa dengan umat Kristiani yang juga melantunkan puji-pujian dalam beribadah kepada Tuhan mereka. Hal tersebut amatlah berbeda, karena kita umat Islam tidak pernah melantunkan nyanyian dalam beribadah. Sudah ada tuntunan yang jelas dalam beribadah bagi umat muslim. Nyanyian yang bermuat puji-pujian tersebut hanya dinyanyikan hanya pada kesempatan tertentu seperti; ketika berdakwah, di depan khalayak ramai, dan lain sebagainya.

Kalaupun dalam nyanyian tersebut terdapat do’a, maka bukan maksudnya supaya kita sambil berdo’a juga menyanyi. Akan tetapi itu hanya merupakan bentuk ekspresi jiwa seni, hanya metafora dari kehidupan di dunia nyata. Ah..para seniman tentu lebih paham maksud ku ini.

Adapun perihal hukum nyanyian dalam Islam, baiknya kita simak fatwa Sheikh Yusuf Qardhawi seorang ulama dari Mesir. Pendek kata, beliau menyatakan bahwa tidak terlarang bernyanyi bagi umat Islam asalkan; tergantung dari niat si penyanyi, lagu-lagu yang dinyanyikan mengajak kepada kebaikan tidak sebaliknya. Tidak boleh ada unsur-unsur syirik seperti menyekutukan Allah, dll.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kamis, 17 November 2011

Nyanyian dalam Islam


Nyanyian dalam Islam

Baru-baru ini salah seorang kawan bertanya, “bagaimana gerangan pandangan nyanyian terutama nyanyian Islami dalam agama kita. Bukankah hal tersebut sama namanya dengan menyerupai orang-orang kafir?”

 Lebih lanjut dia bercerita kalau semasa kuliah dulu pernah dia bertanya kepada salah seorang kawannya yang Kristiani, “apa gerangan isi nyanyian di gereja?” Si kawan menjelaskan “yang kami nyanyikan ialah puji-pujian kepada Tuhan”.

Beralaskan jawaban dari kawannya tersebut, maka kawan ku yang satu ini beranggapan nyanyian Islami dianggap menyerupai umat Kristiani dalam beribadah. Berdasarkan jawaban dari kawannya tersebut maka dia sendiri yakin nyanyian dalam Islam merusak akidah, dia sendiri lebih menyukai musik-musik non Islami semacam pop, jazz, ataupun musik klasik.

Mungkin banyak diantara kita yang berpandangan demikian, alangkah baiknya jika kita menengok sejenak Sejarah Perkembangan Peradaban Islam. Hampir setiap suku bangsa di dunia (termasuk kita di Ranah Melayu ini) memiliki tradisi sastra tertulis maupun lisan, sudah menjadi kebiasaan masyarakat pada masa dahulu untuk mengubah sebuah sya’ir sebagai bentuk penghargaan tertinggi apakah itu kepada Tuhan, manusia yang dikagumi (seperti penguasa atau tokoh masyarakat), kekasih ataupun orang-orang yang dicintai, alam dan lingkungan tempat tinggal. Terkadang pula di sebagian masyarakat, para ahli sastra terutama penyair menduduki posisi terhormat dikalangan masyarakatnya.


Begitu pulalah di Negeri Arab, para penyair menduduki posisi istimewa di tengah-tengah masyarakat Arab kala itu. Oleh karena itu Allah menurunkan Al Qur’an kepada nabi kita Muhammad S.A.W dengan tata bahasa yang menakjubkan, dan benar, para penyair Arab kala itu tidak pernah berhasil menciptakan untaian kata-kata indah seperti yang terdapat pada Al Qur’an. Bahkan dalam salah satu ayat Al Qur’an, Allah pernah menantang para sastrawan Arab kala itu untuk membuat ayat tandingan serupa yang terdapat pada Al Qur’an.

Dalam perkembangan kebudayaan Islam, tradisi membuat sya’ir terus berlanjut. Para sufi yang terkenal hidup sederhana dan berjiwa filosofis merupakan penyair paling produktif. Tentunya tema-tema mereka mengenai ketuhanan atau religiusitas. Beraneka ragam syair puji-pujian kepada Allah S.W.T diciptakan.

Selain itu, teknologi musik Islam yang telah ada sebelumnya juga ikut berkembang. Adalah sittar dan rebab yang merupakan alat musik tradisional bangsa Arab yang kemudian mendunia. Alat musik tradisional tersebut masih ada hingga kini namun turunannya yang patut kita perhatikan yakni Gitar dan Biola. Tidak banyak yang tahu memang, kita tahunya bahwa kedua alat musik tersebut berasal dari Barat. Sama kiranya dengan angka-angka yang kita pakai sekarang, tahukah kalian kawan  kalau angka-angka yang kita gunakan sekarang berasal dari peradaban Islam Bangsa Arab?

Dalam lingkungan istana-istana Khalifah, Sulthan, Amir, ataupun istana-istana lainnya baik yang dimiliki oleh pejabat negara maupun kaum hartawan pada masa dahulunya tersedia sekelompok penyanyi dan pemain musik. Karena pada masa dahulu belum dikenal alat perekam suara, maka kelompok-kelompok penyanyi dan pemain musik tersebut sengaja dipekerjakan sebagai pegawai guna menghibur tuan rumah dan tamunya.

Jadi perkembangan seni musik dan sastra (syair) di dunia Islam terlepas sepenuhnya dari peradaban Barat. Tidak tepat kiranya jika kita memandang bahwa nyanyian tersebut berasal dari kebudayaan Barat yang non-muslim. Adapun perihal puji-pujian yang terdapat dalam nyanyian Islam yang serupa dengan umat Kristiani yang juga melantunkan puji-pujian dalam beribadah kepada Tuhan mereka. Hal tersebut amatlah berbeda, karena kita umat Islam tidak pernah melantunkan nyanyian dalam beribadah. Sudah ada tuntunan yang jelas dalam beribadah bagi umat muslim. Nyanyian yang bermuat puji-pujian tersebut hanya dinyanyikan hanya pada kesempatan tertentu seperti; ketika berdakwah, di depan khalayak ramai, dan lain sebagainya.

Kalaupun dalam nyanyian tersebut terdapat do’a, maka bukan maksudnya supaya kita sambil berdo’a juga menyanyi. Akan tetapi itu hanya merupakan bentuk ekspresi jiwa seni, hanya metafora dari kehidupan di dunia nyata. Ah..para seniman tentu lebih paham maksud ku ini.

Adapun perihal hukum nyanyian dalam Islam, baiknya kita simak fatwa Sheikh Yusuf Qardhawi seorang ulama dari Mesir. Pendek kata, beliau menyatakan bahwa tidak terlarang bernyanyi bagi umat Islam asalkan; tergantung dari niat si penyanyi, lagu-lagu yang dinyanyikan mengajak kepada kebaikan tidak sebaliknya. Tidak boleh ada unsur-unsur syirik seperti menyekutukan Allah, dll.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar