Tipu Daya Manusia
Sungguh aneh dunia zaman
sekarang, saking anehnya aku tak tahu harus memulai tulisan ini dari mana.
Bagaimana kalau ku awali saja dari salah satu percakapan ku dengan seorang
kawan perihal salah satu grup “penghujat” di Facebook. Walau para pendukung dan
pendiri dari grup ini menolak dengan keras kalau dikatakan bahwa mereka
merupakan sekumpulan orang kurang kerjaan yang kerjanya mencari masalah dengan
memperbincangkan hal-hal yang sensitif dalam kehidupan masyarakat. Namun tetap
saja bagi ku mereka terlihat seperti sekelompok anak sekolah yang masih bau kencur yang belum tahu apa-apa
mengenai kehidupan di dunia ini. Mencoba dengan idealisme sempit mereka
berusaha melawan arus dengan mengangkat topik-topik yang sebenarnya tidak
mereka pahami dengan baik.
Layaknya anak muda, mereka
kasar, tak beretika, cepat marah, dan tidak ada sopan santun dalam berbicara
dengan orang lain. Menganggap lawan bicara mereka bodoh dan patut diberi
pencerahan. Padahal sebenarnya merekalah yang seharusnya diberi pencerahan.
Namun pabila itu dilakukan kepada mereka maka akan menjadi senjata makan tuan
bagi yang melakukannya. Mata mereka buta dan telinga mereka telah pekak, hati
mereka telah lama mati. Mereka terlalu sombong dengan kehebatan cara berfikir
mereka yang-menurut mereka-hasil dari pendidikan tinggi yang mereka peroleh.
Berpendapat tentunya boleh-boleh
saja, di zaman sekarang semua orang
boleh mengeluarkan pendapat mereka. Sesuka mereka. Berbicara blak-blakan telah
menjadi budaya di negeri ini. Hal itu dianggap baik karena merupakan tradisi
keilmuan. Dosen saya dulu ketika masih kuliah pernah berkata “Bicara saja
saudara, disini anda diperbolehkan berbicara sesuka anda, beda dengan dunia di
luar sana.!” Tentunya kami menyambut dengan meriah ajakan tersebut, maka
banyaklah kawan-kawan yang pada dasarnya masih belum tahu apa-apa berbicara
mengenai ini dan itu. Kami diperkenalkan kepada ide-ide baru, pikiran-pikiran
cemerlang, dan tradisi baru dalam usaha membenahi masyarakat di luar sana yang
menurut para akademisi masih “jahiliyah”. Termasuk saya yang juga menjadi
korban, berfikir sinis terhadap pemikiran yang selama ini telah mendominasi.
Pada dasarnya ini baik, karena bagaimanapun juga sistim yang berlaku dan
berkembang dalam masyarakat pada saat sekarang ini merupakan buah pikir manusia
juga, jadi wajar jika terdapat kelemahan disana-sini. Mungkin hal inilah yang
mendorong para mahasiswa idealis untuk pergi berdemo, membela kepentingan
rakyat, mengkritisi pemerintah, dan berusaha mendobrak kemapaman. Tidak ada
yang salah, baik, sangat baik.
Tapi sayang, beribu sayang. Yang
kita hadapi ialah manusia bukan benda tak bernyawa. Tiap manusia memiliki
fikiran, pendapat yang berlainan. Seperti kata pepatah; rambut boleh sama hitam, namun fikiran tentunya berlainan. Yang
tidak difahami oleh para idealis ini ialah menghadapi manusia tidaklah mudah.
Kita tidak dapat berteriak-teriak di depan hidung mereka, lalu mereka
mendengarkan, dan setelah itu mereka berubah seperti yang kita inginkan. Tidak,
sekali lagi tidak. Bangunlah duhai orang-orang dungu, keluar dari cangkang
kalian, keluar dari planet kalian yang bernama “idealis”. Ini dunia nyata,
hidup tidak berjalan sesuai dengan apa yang ada di benak kalian.
Sering kali dalam berkata-kata,
mereka tidak memandang dahulu siapa yang dihadapi. Semua orang dipandang sama
besar. Sungguh keterlaluan, lupakah mereka dengan ajaran dasar dalam masyarakat
bahwa sopan-santun dalam berbicara dan bertingkah laku amatlah penting. Hal
tersebut menandakan dari mana kita berasal, dari keluarga terhormat yang berpendidikankah
ataukah keluarga rakyat kebanyakan yang sama sekali tidak pernah memperhatikan
soal pendidikan. Maaf, bukan hendak merendahkan, tapi begitulah adanya. Sopan
santun menandakan tempat asal kita sekaligus posisi kita di tengah-tengah
masyarakat. Walaupun kita berasal dari keluarga miskin-papa sekalipun namun
pabila kita memiliki sopan-santun dalam berbicara dan berbuat maka orang
lainpun akan menaruh hormat kepada kita. Itu rupanya yang tidak diajarkan di berbagai
lembaga pendidikan masa kini. Sama sekali tidak ada kato nan ampek, orang-orang sekarang sudah tidak kenal dengan hal
tersebut. Hebat sekali pendidikan kita.
Sebaik-baik apapun suatu
pemikiran atau pendapat, tidak akan berguna jika disampaikan dengan cara yang
tidak santun atau terhormat. Semuanya akan sia-sia, karena orang-orang tentu
berfikir “Ide macam apakah yang keluar dari seorang yang berjiwa kasar seperti
dia?”. Apakah engkau sarjana, ataupun sudah megister, doktor, atau bahkan
profesor sekalipun, namun dalam berakhlak tidak sesuai dengan titel yang engkau
sandang, orang-orang tidak akan menaruh hormat pada mu.
Yang menyedihkan dari ini semua
ialah apabila agama sudah dibawa-bawa. Padahal orang yang membawanya tersebut
tidak mencerminkan keindahan ajaran yang dibawanya. Jika dilihat kehidupannya
jauh dari tuntunan syari’ah, tanpa malu memposting foto perempuan yang bukan
muhrim dan memperlihatkan aurat di Facebooknya. Dalam berucap kasar tak ada
santun sama sekali. Padahal Islam mengajarkan kita untuk berbicara lembut dan
menentramkan. Garis politiknyapun nasionalis. Entah apa yang ada dikepalanya.
Namun yang pasti, jika disanggah dia akan marah, kita yang menyanggah
dikatakannya keras kepala. Aduh, apakah tidak terbalik???
Harus diakui bahwa teknologi
internet dengan jejaring sosialnya selain memberikan dampak positif juga
memberikan dampak negatif. Kita selama ini sudah tahu, namun mengabaikan karena
belum ada dampak negatif yang besar terhadap kehidupan di negeri kita. Saya
bukannya anti internet, saya termasuk salah satu penikmatnya. Hanya saja saya
memberikan batasan terhadap diri sendiri dalam hal berinternet.
Internet telah melumpuhkan jiwa
kita, menjauhkan diri dari budaya dan agama. Serta yang terpenting ialah
menciptakan para pengecut dan pecundang. Tanpa segan seseorang memaki, mengata-ngatai
orang lain dengan kata-kata yang tak sepatutnya dalam suatu forum diskusi di
internet. Hal tersebut dianggap wajar, karena merupakan bagian dari dinamika
berfikir, bagian dari kebebasan yang menjadi landasan negara ini semenjak era
Reformasi. Pendek kata, semakin banyak para pecundang di negeri ini, orang yang
hanya bisa mengeluh, mengata-ngatai dengan dalih bersikap kritis padahal kedua
hal tersebut sesungguhnya berbeda. Sangat berlainan sekali jika berada di dunia
nyata, mereka akan berubah menjadi pengecut, sopan di hadapan lawan tapi
tatkala sudah berada di belakang maka mulutnya lebih beracun dari betina.
Bicara blak-balakan bukanlah
budaya di negeri kita. Negeri yang mengutamakan tenggang rasa, kehalusan dalam
bertutur, kelembutan dalam berbuat. Negeri yang memiliki petuah: fikirkanlah apa yang hendak engkau katakan,
namun jangan engkau katakan apa yang sedang terfikirkan. Negeri yang
orang-orangnya memiliki jiwa lembut, perasa, dan selalu menimbang perasaan
orang lain sebelum berbicara. Kita koyak oleh keangkuhan, keangkuhan karena merasa
tingginya tingkat pendidikan, keangkuhan karena merasa diri lebih pandai dan
benar, keangkuhan karena terlanjur mencap orang lain bengak.
Tidak kawan-kawan, sekali lagi
tidak. Aku tidak sedang memperbincang diri kalian. Akan tetapi orang-orang yang
berada nun jauh di sana. Terkunci dalam dunia khayalan ciptaannya yang tak
kunjung sadar kalau dunia ini tidak seluas sangkaannya. Mereka tidak sekadar
anak-anak usia 18 hingga 23 tahun, akan tetapi juga lebih dari itu. Orang
dewasa yang seharusnya matang dalam berfikir, para orang tua paruh baya yang
sudah memiliki anak remaja atau bahkan sudah punya cucu. Namun telah terserabut
dari akar ketimurannya, lupa dengan asal, lupa dengan tanah tempat dia pertama
kali menginjakkan kaki, lupa dengan negeri dimana dia menghirup udara demi
kehidupannya. Mereka lupa diri, lupa dengan segala-galanya, hanya satu yang
mereka ingat yaitu bahwa MEREKALAH KEBENARAN.
Jangan sekali-kali engkau
mencoba menyanggahnya, niscaya petaka akan menghampiri. Kalau sudah seperti
itu, maka bersiap-siaplah sambil menabahkan hati dengan segenap kesabaran yang
ada. Karena untaian kata-kata mutiara
akan siap menerjang. Bak hamburan peluru dari senapan mesin.
Oh..dunia, bukan,bukan dunia
akan tetapi manusia itulah yang berubah. Semakin lama semakin biadab bukan
beradab. Semoga Allah Ta’ala menjauhkan kita dan keluarga dan segenap umat
muslim dari manusia-manusia semacam ini yang mengaku beragama Islam. Amiin...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar