Kamis, 17 November 2011

Sebuah Pandangan terhadap Realitas Masa Kini


Tipu Daya Manusia


Sungguh aneh dunia zaman sekarang, saking anehnya aku tak tahu harus memulai tulisan ini dari mana. Bagaimana kalau ku awali saja dari salah satu percakapan ku dengan seorang kawan perihal salah satu grup “penghujat” di Facebook. Walau para pendukung dan pendiri dari grup ini menolak dengan keras kalau dikatakan bahwa mereka merupakan sekumpulan orang kurang kerjaan yang kerjanya mencari masalah dengan memperbincangkan hal-hal yang sensitif dalam kehidupan masyarakat. Namun tetap saja bagi ku mereka terlihat seperti sekelompok anak sekolah yang masih bau kencur yang belum tahu apa-apa mengenai kehidupan di dunia ini. Mencoba dengan idealisme sempit mereka berusaha melawan arus dengan mengangkat topik-topik yang sebenarnya tidak mereka pahami dengan baik.

Layaknya anak muda, mereka kasar, tak beretika, cepat marah, dan tidak ada sopan santun dalam berbicara dengan orang lain. Menganggap lawan bicara mereka bodoh dan patut diberi pencerahan. Padahal sebenarnya merekalah yang seharusnya diberi pencerahan. Namun pabila itu dilakukan kepada mereka maka akan menjadi senjata makan tuan bagi yang melakukannya. Mata mereka buta dan telinga mereka telah pekak, hati mereka telah lama mati. Mereka terlalu sombong dengan kehebatan cara berfikir mereka yang-menurut mereka-hasil dari pendidikan tinggi yang mereka peroleh.

Berpendapat tentunya boleh-boleh saja, di  zaman sekarang semua orang boleh mengeluarkan pendapat mereka. Sesuka mereka. Berbicara blak-blakan telah menjadi budaya di negeri ini. Hal itu dianggap baik karena merupakan tradisi keilmuan. Dosen saya dulu ketika masih kuliah pernah berkata “Bicara saja saudara, disini anda diperbolehkan berbicara sesuka anda, beda dengan dunia di luar sana.!” Tentunya kami menyambut dengan meriah ajakan tersebut, maka banyaklah kawan-kawan yang pada dasarnya masih belum tahu apa-apa berbicara mengenai ini dan itu. Kami diperkenalkan kepada ide-ide baru, pikiran-pikiran cemerlang, dan tradisi baru dalam usaha membenahi masyarakat di luar sana yang menurut para akademisi masih “jahiliyah”. Termasuk saya yang juga menjadi korban, berfikir sinis terhadap pemikiran yang selama ini telah mendominasi. Pada dasarnya ini baik, karena bagaimanapun juga sistim yang berlaku dan berkembang dalam masyarakat pada saat sekarang ini merupakan buah pikir manusia juga, jadi wajar jika terdapat kelemahan disana-sini. Mungkin hal inilah yang mendorong para mahasiswa idealis untuk pergi berdemo, membela kepentingan rakyat, mengkritisi pemerintah, dan berusaha mendobrak kemapaman. Tidak ada yang salah, baik, sangat baik.

Tapi sayang, beribu sayang. Yang kita hadapi ialah manusia bukan benda tak bernyawa. Tiap manusia memiliki fikiran, pendapat yang berlainan. Seperti kata pepatah; rambut boleh sama hitam, namun fikiran tentunya berlainan. Yang tidak difahami oleh para idealis ini ialah menghadapi manusia tidaklah mudah. Kita tidak dapat berteriak-teriak di depan hidung mereka, lalu mereka mendengarkan, dan setelah itu mereka berubah seperti yang kita inginkan. Tidak, sekali lagi tidak. Bangunlah duhai orang-orang dungu, keluar dari cangkang kalian, keluar dari planet kalian yang bernama “idealis”. Ini dunia nyata, hidup tidak berjalan sesuai dengan apa yang ada di benak kalian.


Sering kali dalam berkata-kata, mereka tidak memandang dahulu siapa yang dihadapi. Semua orang dipandang sama besar. Sungguh keterlaluan, lupakah mereka dengan ajaran dasar dalam masyarakat bahwa sopan-santun dalam berbicara dan bertingkah laku amatlah penting. Hal tersebut menandakan dari mana kita berasal, dari keluarga terhormat yang berpendidikankah ataukah keluarga rakyat kebanyakan yang sama sekali tidak pernah memperhatikan soal pendidikan. Maaf, bukan hendak merendahkan, tapi begitulah adanya. Sopan santun menandakan tempat asal kita sekaligus posisi kita di tengah-tengah masyarakat. Walaupun kita berasal dari keluarga miskin-papa sekalipun namun pabila kita memiliki sopan-santun dalam berbicara dan berbuat maka orang lainpun akan menaruh hormat kepada kita. Itu rupanya yang tidak diajarkan di berbagai lembaga pendidikan masa kini. Sama sekali tidak ada kato nan ampek, orang-orang sekarang sudah tidak kenal dengan hal tersebut. Hebat sekali pendidikan kita.

Sebaik-baik apapun suatu pemikiran atau pendapat, tidak akan berguna jika disampaikan dengan cara yang tidak santun atau terhormat. Semuanya akan sia-sia, karena orang-orang tentu berfikir “Ide macam apakah yang keluar dari seorang yang berjiwa kasar seperti dia?”. Apakah engkau sarjana, ataupun sudah megister, doktor, atau bahkan profesor sekalipun, namun dalam berakhlak tidak sesuai dengan titel yang engkau sandang, orang-orang tidak akan menaruh hormat pada mu.

Yang menyedihkan dari ini semua ialah apabila agama sudah dibawa-bawa. Padahal orang yang membawanya tersebut tidak mencerminkan keindahan ajaran yang dibawanya. Jika dilihat kehidupannya jauh dari tuntunan syari’ah, tanpa malu memposting foto perempuan yang bukan muhrim dan memperlihatkan aurat di Facebooknya. Dalam berucap kasar tak ada santun sama sekali. Padahal Islam mengajarkan kita untuk berbicara lembut dan menentramkan. Garis politiknyapun nasionalis. Entah apa yang ada dikepalanya. Namun yang pasti, jika disanggah dia akan marah, kita yang menyanggah dikatakannya keras kepala. Aduh, apakah tidak terbalik???

Harus diakui bahwa teknologi internet dengan jejaring sosialnya selain memberikan dampak positif juga memberikan dampak negatif. Kita selama ini sudah tahu, namun mengabaikan karena belum ada dampak negatif yang besar terhadap kehidupan di negeri kita. Saya bukannya anti internet, saya termasuk salah satu penikmatnya. Hanya saja saya memberikan batasan terhadap diri sendiri dalam hal berinternet.

Internet telah melumpuhkan jiwa kita, menjauhkan diri dari budaya dan agama. Serta yang terpenting ialah menciptakan para pengecut dan pecundang. Tanpa segan seseorang memaki, mengata-ngatai orang lain dengan kata-kata yang tak sepatutnya dalam suatu forum diskusi di internet. Hal tersebut dianggap wajar, karena merupakan bagian dari dinamika berfikir, bagian dari kebebasan yang menjadi landasan negara ini semenjak era Reformasi. Pendek kata, semakin banyak para pecundang di negeri ini, orang yang hanya bisa mengeluh, mengata-ngatai dengan dalih bersikap kritis padahal kedua hal tersebut sesungguhnya berbeda. Sangat berlainan sekali jika berada di dunia nyata, mereka akan berubah menjadi pengecut, sopan di hadapan lawan tapi tatkala sudah berada di belakang maka mulutnya lebih beracun dari betina.

Bicara blak-balakan bukanlah budaya di negeri kita. Negeri yang mengutamakan tenggang rasa, kehalusan dalam bertutur, kelembutan dalam berbuat. Negeri yang memiliki petuah: fikirkanlah apa yang hendak engkau katakan, namun jangan engkau katakan apa yang sedang terfikirkan. Negeri yang orang-orangnya memiliki jiwa lembut, perasa, dan selalu menimbang perasaan orang lain sebelum berbicara. Kita koyak oleh keangkuhan, keangkuhan karena merasa tingginya tingkat pendidikan, keangkuhan karena merasa diri lebih pandai dan benar, keangkuhan karena terlanjur mencap orang lain bengak.

Tidak kawan-kawan, sekali lagi tidak. Aku tidak sedang memperbincang diri kalian. Akan tetapi orang-orang yang berada nun jauh di sana. Terkunci dalam dunia khayalan ciptaannya yang tak kunjung sadar kalau dunia ini tidak seluas sangkaannya. Mereka tidak sekadar anak-anak usia 18 hingga 23 tahun, akan tetapi juga lebih dari itu. Orang dewasa yang seharusnya matang dalam berfikir, para orang tua paruh baya yang sudah memiliki anak remaja atau bahkan sudah punya cucu. Namun telah terserabut dari akar ketimurannya, lupa dengan asal, lupa dengan tanah tempat dia pertama kali menginjakkan kaki, lupa dengan negeri dimana dia menghirup udara demi kehidupannya. Mereka lupa diri, lupa dengan segala-galanya, hanya satu yang mereka ingat yaitu bahwa MEREKALAH KEBENARAN.

Jangan sekali-kali engkau mencoba menyanggahnya, niscaya petaka akan menghampiri. Kalau sudah seperti itu, maka bersiap-siaplah sambil menabahkan hati dengan segenap kesabaran yang ada. Karena untaian kata-kata mutiara akan siap menerjang. Bak hamburan peluru dari senapan mesin.

Oh..dunia, bukan,bukan dunia akan tetapi manusia itulah yang berubah. Semakin lama semakin biadab bukan beradab. Semoga Allah Ta’ala menjauhkan kita dan keluarga dan segenap umat muslim dari manusia-manusia semacam ini yang mengaku beragama Islam. Amiin...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kamis, 17 November 2011

Sebuah Pandangan terhadap Realitas Masa Kini


Tipu Daya Manusia


Sungguh aneh dunia zaman sekarang, saking anehnya aku tak tahu harus memulai tulisan ini dari mana. Bagaimana kalau ku awali saja dari salah satu percakapan ku dengan seorang kawan perihal salah satu grup “penghujat” di Facebook. Walau para pendukung dan pendiri dari grup ini menolak dengan keras kalau dikatakan bahwa mereka merupakan sekumpulan orang kurang kerjaan yang kerjanya mencari masalah dengan memperbincangkan hal-hal yang sensitif dalam kehidupan masyarakat. Namun tetap saja bagi ku mereka terlihat seperti sekelompok anak sekolah yang masih bau kencur yang belum tahu apa-apa mengenai kehidupan di dunia ini. Mencoba dengan idealisme sempit mereka berusaha melawan arus dengan mengangkat topik-topik yang sebenarnya tidak mereka pahami dengan baik.

Layaknya anak muda, mereka kasar, tak beretika, cepat marah, dan tidak ada sopan santun dalam berbicara dengan orang lain. Menganggap lawan bicara mereka bodoh dan patut diberi pencerahan. Padahal sebenarnya merekalah yang seharusnya diberi pencerahan. Namun pabila itu dilakukan kepada mereka maka akan menjadi senjata makan tuan bagi yang melakukannya. Mata mereka buta dan telinga mereka telah pekak, hati mereka telah lama mati. Mereka terlalu sombong dengan kehebatan cara berfikir mereka yang-menurut mereka-hasil dari pendidikan tinggi yang mereka peroleh.

Berpendapat tentunya boleh-boleh saja, di  zaman sekarang semua orang boleh mengeluarkan pendapat mereka. Sesuka mereka. Berbicara blak-blakan telah menjadi budaya di negeri ini. Hal itu dianggap baik karena merupakan tradisi keilmuan. Dosen saya dulu ketika masih kuliah pernah berkata “Bicara saja saudara, disini anda diperbolehkan berbicara sesuka anda, beda dengan dunia di luar sana.!” Tentunya kami menyambut dengan meriah ajakan tersebut, maka banyaklah kawan-kawan yang pada dasarnya masih belum tahu apa-apa berbicara mengenai ini dan itu. Kami diperkenalkan kepada ide-ide baru, pikiran-pikiran cemerlang, dan tradisi baru dalam usaha membenahi masyarakat di luar sana yang menurut para akademisi masih “jahiliyah”. Termasuk saya yang juga menjadi korban, berfikir sinis terhadap pemikiran yang selama ini telah mendominasi. Pada dasarnya ini baik, karena bagaimanapun juga sistim yang berlaku dan berkembang dalam masyarakat pada saat sekarang ini merupakan buah pikir manusia juga, jadi wajar jika terdapat kelemahan disana-sini. Mungkin hal inilah yang mendorong para mahasiswa idealis untuk pergi berdemo, membela kepentingan rakyat, mengkritisi pemerintah, dan berusaha mendobrak kemapaman. Tidak ada yang salah, baik, sangat baik.

Tapi sayang, beribu sayang. Yang kita hadapi ialah manusia bukan benda tak bernyawa. Tiap manusia memiliki fikiran, pendapat yang berlainan. Seperti kata pepatah; rambut boleh sama hitam, namun fikiran tentunya berlainan. Yang tidak difahami oleh para idealis ini ialah menghadapi manusia tidaklah mudah. Kita tidak dapat berteriak-teriak di depan hidung mereka, lalu mereka mendengarkan, dan setelah itu mereka berubah seperti yang kita inginkan. Tidak, sekali lagi tidak. Bangunlah duhai orang-orang dungu, keluar dari cangkang kalian, keluar dari planet kalian yang bernama “idealis”. Ini dunia nyata, hidup tidak berjalan sesuai dengan apa yang ada di benak kalian.


Sering kali dalam berkata-kata, mereka tidak memandang dahulu siapa yang dihadapi. Semua orang dipandang sama besar. Sungguh keterlaluan, lupakah mereka dengan ajaran dasar dalam masyarakat bahwa sopan-santun dalam berbicara dan bertingkah laku amatlah penting. Hal tersebut menandakan dari mana kita berasal, dari keluarga terhormat yang berpendidikankah ataukah keluarga rakyat kebanyakan yang sama sekali tidak pernah memperhatikan soal pendidikan. Maaf, bukan hendak merendahkan, tapi begitulah adanya. Sopan santun menandakan tempat asal kita sekaligus posisi kita di tengah-tengah masyarakat. Walaupun kita berasal dari keluarga miskin-papa sekalipun namun pabila kita memiliki sopan-santun dalam berbicara dan berbuat maka orang lainpun akan menaruh hormat kepada kita. Itu rupanya yang tidak diajarkan di berbagai lembaga pendidikan masa kini. Sama sekali tidak ada kato nan ampek, orang-orang sekarang sudah tidak kenal dengan hal tersebut. Hebat sekali pendidikan kita.

Sebaik-baik apapun suatu pemikiran atau pendapat, tidak akan berguna jika disampaikan dengan cara yang tidak santun atau terhormat. Semuanya akan sia-sia, karena orang-orang tentu berfikir “Ide macam apakah yang keluar dari seorang yang berjiwa kasar seperti dia?”. Apakah engkau sarjana, ataupun sudah megister, doktor, atau bahkan profesor sekalipun, namun dalam berakhlak tidak sesuai dengan titel yang engkau sandang, orang-orang tidak akan menaruh hormat pada mu.

Yang menyedihkan dari ini semua ialah apabila agama sudah dibawa-bawa. Padahal orang yang membawanya tersebut tidak mencerminkan keindahan ajaran yang dibawanya. Jika dilihat kehidupannya jauh dari tuntunan syari’ah, tanpa malu memposting foto perempuan yang bukan muhrim dan memperlihatkan aurat di Facebooknya. Dalam berucap kasar tak ada santun sama sekali. Padahal Islam mengajarkan kita untuk berbicara lembut dan menentramkan. Garis politiknyapun nasionalis. Entah apa yang ada dikepalanya. Namun yang pasti, jika disanggah dia akan marah, kita yang menyanggah dikatakannya keras kepala. Aduh, apakah tidak terbalik???

Harus diakui bahwa teknologi internet dengan jejaring sosialnya selain memberikan dampak positif juga memberikan dampak negatif. Kita selama ini sudah tahu, namun mengabaikan karena belum ada dampak negatif yang besar terhadap kehidupan di negeri kita. Saya bukannya anti internet, saya termasuk salah satu penikmatnya. Hanya saja saya memberikan batasan terhadap diri sendiri dalam hal berinternet.

Internet telah melumpuhkan jiwa kita, menjauhkan diri dari budaya dan agama. Serta yang terpenting ialah menciptakan para pengecut dan pecundang. Tanpa segan seseorang memaki, mengata-ngatai orang lain dengan kata-kata yang tak sepatutnya dalam suatu forum diskusi di internet. Hal tersebut dianggap wajar, karena merupakan bagian dari dinamika berfikir, bagian dari kebebasan yang menjadi landasan negara ini semenjak era Reformasi. Pendek kata, semakin banyak para pecundang di negeri ini, orang yang hanya bisa mengeluh, mengata-ngatai dengan dalih bersikap kritis padahal kedua hal tersebut sesungguhnya berbeda. Sangat berlainan sekali jika berada di dunia nyata, mereka akan berubah menjadi pengecut, sopan di hadapan lawan tapi tatkala sudah berada di belakang maka mulutnya lebih beracun dari betina.

Bicara blak-balakan bukanlah budaya di negeri kita. Negeri yang mengutamakan tenggang rasa, kehalusan dalam bertutur, kelembutan dalam berbuat. Negeri yang memiliki petuah: fikirkanlah apa yang hendak engkau katakan, namun jangan engkau katakan apa yang sedang terfikirkan. Negeri yang orang-orangnya memiliki jiwa lembut, perasa, dan selalu menimbang perasaan orang lain sebelum berbicara. Kita koyak oleh keangkuhan, keangkuhan karena merasa tingginya tingkat pendidikan, keangkuhan karena merasa diri lebih pandai dan benar, keangkuhan karena terlanjur mencap orang lain bengak.

Tidak kawan-kawan, sekali lagi tidak. Aku tidak sedang memperbincang diri kalian. Akan tetapi orang-orang yang berada nun jauh di sana. Terkunci dalam dunia khayalan ciptaannya yang tak kunjung sadar kalau dunia ini tidak seluas sangkaannya. Mereka tidak sekadar anak-anak usia 18 hingga 23 tahun, akan tetapi juga lebih dari itu. Orang dewasa yang seharusnya matang dalam berfikir, para orang tua paruh baya yang sudah memiliki anak remaja atau bahkan sudah punya cucu. Namun telah terserabut dari akar ketimurannya, lupa dengan asal, lupa dengan tanah tempat dia pertama kali menginjakkan kaki, lupa dengan negeri dimana dia menghirup udara demi kehidupannya. Mereka lupa diri, lupa dengan segala-galanya, hanya satu yang mereka ingat yaitu bahwa MEREKALAH KEBENARAN.

Jangan sekali-kali engkau mencoba menyanggahnya, niscaya petaka akan menghampiri. Kalau sudah seperti itu, maka bersiap-siaplah sambil menabahkan hati dengan segenap kesabaran yang ada. Karena untaian kata-kata mutiara akan siap menerjang. Bak hamburan peluru dari senapan mesin.

Oh..dunia, bukan,bukan dunia akan tetapi manusia itulah yang berubah. Semakin lama semakin biadab bukan beradab. Semoga Allah Ta’ala menjauhkan kita dan keluarga dan segenap umat muslim dari manusia-manusia semacam ini yang mengaku beragama Islam. Amiin...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar