Sebuah Renungan
Atas Kekalahan Timnas Indonesia
Kekalahan yang diderita Timnas
U-23 dari Malaysia pada pertandingan Final SEA Games pada Senin malam tanggal
21 November 2011 menyisakan duka yang menyakitkan bagi sebagian besar penyuka
olahraga sepakbola tanah air. Bagaimana tidak, Timnas Malaysia merupakan musuh
bebuyutan yang amat dibenci oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Kenapa
demikian? untuk menjawab pertanyaan ini akan menghabiskan banyak huruf dan
rangkaian kata. Sebut saja perseteruan mengenai masalah perbatasan kedua negara
yang tak ada ujungnya. Belum lagi klaim dari Malaysia atas beberapa budaya
daerah di Indonesia. Ada pula masalah TKI yang selalu membawa duka yang
menyayat hati, dan lain sebagainya.
Pendek kata, ini merupakan
masalah nasional yang menyangkut harga diri bangsa. Bagaimanapun juga kekalahan
ini tidak dapat diterima. Terlalu menyakitkan untuk diderita, terlalu pahit
untuk dijalani, dan terlalu memalukan untuk diakui. Begitu kira-kira anggapan
sebagian besar penyuka sepakbola di negeri ini.
Namun lebih daripada itu, ada
banyak aspek yang ikut terlibat di dalam permainan ini, apabila sudah
menyangkut rival antar dua negara bertetangga ini. Yakni aspek politik, sosial,
dan budaya. Akibatnya permainan ini tidak lagi murni permainan antar dua tim
melainkan peperangan antar ego dua negara. Permainan yang mana masing-masing
pendukung membawa dalam setiap dirinya, bara yang siap membakar kapan saja.
Kenapa tim Indonesia bisa
kalah? Siapa pula yang patut dipersalahkan atas kekalahan ini? Cukupkah
dukungan sporter fanatik[1] sebagai
bahan bakar bagi pemain untuk melaju kencang menuju puncak kemenangan?
Sepakbola merupakan permainan,
permainan adu kelihaian dan keterampilan dalam lapangan. Layaknya suatu
permainan tentunya ada menang dan adapula yang kalah. Tidaklah mungkin jika
pemenangnya lebih dari satu, sebab sang pemenang hanya boleh satu. Sama kiranya
dengan Tuhan, Tuhan hanya boleh ada satu, kalau lebih dari satu berarti...?
Alangkah eloknya jikalau
sebelum bermain kita tanamkan kepada diri bahwa dalam permainan ini mungkin
saja kekalahan sedang mengintai untuk menghampiri. Yang sepatutnya kita lakukan
ialah berusaha sebaik yang kita mampu untuk meraih kemenangan supaya berada
dalam genggaman. Namun kebanyakan dari kita ialah tipe manusia yang ingin
menang tapi tak suka pabila kekalahan yang didapat.
Kita dapat mengambil teladan
dalam kehidupan, dimana seorang yang telah berusaha cukup keras dalam mencapai
kesuksesan dalam hidup, namun kesuksesan yang diharap tak kunjungi menghampiri.
Dalam hati ia mencela “Duhai kenapa gerangan? Telah pontang panting aku
berusaha namun hasil yang kudapat tak sesuai dengan yang ku cita-citakan.
Cobalah lihat dia! yang tak perlu berusahapun mendapat segala yang diinginkan.
Hidup memang tak adil..!”
Begitulah hidup, menurut kita
manusia yang kurang iman ini, hidup itu ialah tak adil. Wajar jika ada yang
berfikir semacam itu. Karena manusia dengan segala kekurangan dan kelemahan
yang ada padanya selalu melihat dunia dari kacamata dirinya seorang.
Kenapa kita belum jua meraih
kemenangan dalam dunia sepakbola yang konon kabarnya merupakan permainan yang
amat digemari oleh umat manusia di muka bumi ini? Pertanyaan itulah yang selalu
menghantui untuk segera dijawab. Beragam jawaban dikemukakan, mulai dari masalah
pemain, pelatih, PSSI, hingga pemerintah. Namun tak jua kunjungi terselesaikan,
TIMNAS masih tetap kalah dalam berbagai pertandingan. Untung saja Timnas
Indonesia tidak dikalahkan oleh Timor Leste. Cobalah bayangkan betapa malunya
kita kalau sampai hal itu benar-benar terjadi.
Cobalah kita merenung, apa
gerangan penyebab kekalahan ini? Pemain dan pelatih bukanlah satu-satunya yang
bertanggung jawab akan tetapi semua orang yang menggemari permainan ini ikut
bertanggung jawab atas kekalahan ini. Kita siap menang, tapi tidak siap untuk
kalah. Dalam kehidupan sehari-hari orang bermental semacam ini kita lihat suka
sekali berbuat culas, menipu, menyuap, sampai kepada mengancam hanya untuk
mendapatkan apa yang diinginkannya.
Berikutnya ialah kita bermain
bukan untuk kesenangan melainkan untuk memuaskan nafsu. Sehingga ada beban yang
terasa setiap kali ada permainan. Kenapa harus ada ego, marah, dan dendam
kesumat terhadap tim lawan? Jika suatu permainan sudah dimulai dengan niat
bukan untuk bermain indah melainkan untuk memuaskan hawa nafsu, untuk
mengalahkan lawan. Maka permainan semacam ini tidak patut kita sebut permainan
melainkan peperangan. Tatkala jiwa yang suci sudah tercemar, maka bumipun kan
menolak untuk menerima jasadnya.
Kenapa kita mengalami
kekalahan? Karena kita tidak pandai bersikap rendah hati, kita terlalu
menggadang-gadangkan tim kita. Dalam setiap kesempatan, apakah itu di TV, Surat
kabar, atau media lainnya, selalu perkara timnas yang diulas. Seolah-olah tak
ada topik lain. Bukannya melarang, wajar memang. Akan tetapi jika kita terlalu
hanyut akan sesuatu maka bersiaplah untuk kecewa. Seseorang yang suka
memamerkan segala rencananya, biasanya rencana tersebut tidakkan berjalan
sebagai mana mestinya.
Kenapa kita kalah? Karena
sepakbola tidak murni lagi sebuah permainan, melainkan telah dicemari oleh
politik, ekonomi, ego, dan beragam racun dunia lainnya. Setiap kali ada
pertandingan maka akan diiming-imingi dengan hadiah yang besar. Namun
sebaliknya dalam pengkaderan pemain, perekrutan, pelatihan, pendidikan, dan
kesejahteraan pemain sama sekali tidak diperhatikan. Kita hanya mementingkan
hasil, namun melupakan proses.
Kenapa kita belum jua menang?
Karena kita belum siap untuk kalah. Kita belum dapat menerima kekalahan dengan
jiwa besar. Kita belum sanggup bersabar dalam menyemai benih, maunya hanya
mendapatkan hasil yang melimpah tanpa usaha.
Itulah kita, manusia Indonesia masa
kini..
Berhentilah menyalahkan,
Belajarlah untuk menerima,
Dewasalah, grow up …
[1] Kabarnya
negara ini sangat membenci kaum fanatik. Tampaknya dalam hal ini pengecualian.
Fanatik terhadap agama tidak boleh. Tetapi fanatik selain kepada agama,
boleh-boleh saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar