Rabu, 23 November 2011

Dewasalah, grow up..


Sebuah Renungan
Atas Kekalahan Timnas Indonesia

Kekalahan yang diderita Timnas U-23 dari Malaysia pada pertandingan Final SEA Games pada Senin malam tanggal 21 November 2011 menyisakan duka yang menyakitkan bagi sebagian besar penyuka olahraga sepakbola tanah air. Bagaimana tidak, Timnas Malaysia merupakan musuh bebuyutan yang amat dibenci oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Kenapa demikian? untuk menjawab pertanyaan ini akan menghabiskan banyak huruf dan rangkaian kata. Sebut saja perseteruan mengenai masalah perbatasan kedua negara yang tak ada ujungnya. Belum lagi klaim dari Malaysia atas beberapa budaya daerah di Indonesia. Ada pula masalah TKI yang selalu membawa duka yang menyayat hati, dan lain sebagainya.

Pendek kata, ini merupakan masalah nasional yang menyangkut harga diri bangsa. Bagaimanapun juga kekalahan ini tidak dapat diterima. Terlalu menyakitkan untuk diderita, terlalu pahit untuk dijalani, dan terlalu memalukan untuk diakui. Begitu kira-kira anggapan sebagian besar penyuka sepakbola di negeri ini.

Namun lebih daripada itu, ada banyak aspek yang ikut terlibat di dalam permainan ini, apabila sudah menyangkut rival antar dua negara bertetangga ini. Yakni aspek politik, sosial, dan budaya. Akibatnya permainan ini tidak lagi murni permainan antar dua tim melainkan peperangan antar ego dua negara. Permainan yang mana masing-masing pendukung membawa dalam setiap dirinya, bara yang siap membakar kapan saja.

Kenapa tim Indonesia bisa kalah? Siapa pula yang patut dipersalahkan atas kekalahan ini? Cukupkah dukungan sporter fanatik[1] sebagai bahan bakar bagi pemain untuk melaju kencang menuju puncak kemenangan?


Sepakbola merupakan permainan, permainan adu kelihaian dan keterampilan dalam lapangan. Layaknya suatu permainan tentunya ada menang dan adapula yang kalah. Tidaklah mungkin jika pemenangnya lebih dari satu, sebab sang pemenang hanya boleh satu. Sama kiranya dengan Tuhan, Tuhan hanya boleh ada satu, kalau lebih dari satu berarti...?

Alangkah eloknya jikalau sebelum bermain kita tanamkan kepada diri bahwa dalam permainan ini mungkin saja kekalahan sedang mengintai untuk menghampiri. Yang sepatutnya kita lakukan ialah berusaha sebaik yang kita mampu untuk meraih kemenangan supaya berada dalam genggaman. Namun kebanyakan dari kita ialah tipe manusia yang ingin menang tapi tak suka pabila kekalahan yang didapat.

Kita dapat mengambil teladan dalam kehidupan, dimana seorang yang telah berusaha cukup keras dalam mencapai kesuksesan dalam hidup, namun kesuksesan yang diharap tak kunjungi menghampiri. Dalam hati ia mencela “Duhai kenapa gerangan? Telah pontang panting aku berusaha namun hasil yang kudapat tak sesuai dengan yang ku cita-citakan. Cobalah lihat dia! yang tak perlu berusahapun mendapat segala yang diinginkan. Hidup memang tak adil..!”

Begitulah hidup, menurut kita manusia yang kurang iman ini, hidup itu ialah tak adil. Wajar jika ada yang berfikir semacam itu. Karena manusia dengan segala kekurangan dan kelemahan yang ada padanya selalu melihat dunia dari kacamata dirinya seorang.

Kenapa kita belum jua meraih kemenangan dalam dunia sepakbola yang konon kabarnya merupakan permainan yang amat digemari oleh umat manusia di muka bumi ini? Pertanyaan itulah yang selalu menghantui untuk segera dijawab. Beragam jawaban dikemukakan, mulai dari masalah pemain, pelatih, PSSI, hingga pemerintah. Namun tak jua kunjungi terselesaikan, TIMNAS masih tetap kalah dalam berbagai pertandingan. Untung saja Timnas Indonesia tidak dikalahkan oleh Timor Leste. Cobalah bayangkan betapa malunya kita kalau sampai hal itu benar-benar terjadi.

Cobalah kita merenung, apa gerangan penyebab kekalahan ini? Pemain dan pelatih bukanlah satu-satunya yang bertanggung jawab akan tetapi semua orang yang menggemari permainan ini ikut bertanggung jawab atas kekalahan ini. Kita siap menang, tapi tidak siap untuk kalah. Dalam kehidupan sehari-hari orang bermental semacam ini kita lihat suka sekali berbuat culas, menipu, menyuap, sampai kepada mengancam hanya untuk mendapatkan apa yang diinginkannya.

Berikutnya ialah kita bermain bukan untuk kesenangan melainkan untuk memuaskan nafsu. Sehingga ada beban yang terasa setiap kali ada permainan. Kenapa harus ada ego, marah, dan dendam kesumat terhadap tim lawan? Jika suatu permainan sudah dimulai dengan niat bukan untuk bermain indah melainkan untuk memuaskan hawa nafsu, untuk mengalahkan lawan. Maka permainan semacam ini tidak patut kita sebut permainan melainkan peperangan. Tatkala jiwa yang suci sudah tercemar, maka bumipun kan menolak untuk menerima jasadnya.

Kenapa kita mengalami kekalahan? Karena kita tidak pandai bersikap rendah hati, kita terlalu menggadang-gadangkan tim kita. Dalam setiap kesempatan, apakah itu di TV, Surat kabar, atau media lainnya, selalu perkara timnas yang diulas. Seolah-olah tak ada topik lain. Bukannya melarang, wajar memang. Akan tetapi jika kita terlalu hanyut akan sesuatu maka bersiaplah untuk kecewa. Seseorang yang suka memamerkan segala rencananya, biasanya rencana tersebut tidakkan berjalan sebagai mana mestinya.

Kenapa kita kalah? Karena sepakbola tidak murni lagi sebuah permainan, melainkan telah dicemari oleh politik, ekonomi, ego, dan beragam racun dunia lainnya. Setiap kali ada pertandingan maka akan diiming-imingi dengan hadiah yang besar. Namun sebaliknya dalam pengkaderan pemain, perekrutan, pelatihan, pendidikan, dan kesejahteraan pemain sama sekali tidak diperhatikan. Kita hanya mementingkan hasil, namun melupakan proses.

Kenapa kita belum jua menang? Karena kita belum siap untuk kalah. Kita belum dapat menerima kekalahan dengan jiwa besar. Kita belum sanggup bersabar dalam menyemai benih, maunya hanya mendapatkan hasil yang melimpah tanpa usaha.

Itulah kita, manusia Indonesia masa kini..
Berhentilah menyalahkan,
Belajarlah untuk menerima,
Dewasalah, grow up





[1] Kabarnya negara ini sangat membenci kaum fanatik. Tampaknya dalam hal ini pengecualian. Fanatik terhadap agama tidak boleh. Tetapi fanatik selain kepada agama, boleh-boleh saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rabu, 23 November 2011

Dewasalah, grow up..


Sebuah Renungan
Atas Kekalahan Timnas Indonesia

Kekalahan yang diderita Timnas U-23 dari Malaysia pada pertandingan Final SEA Games pada Senin malam tanggal 21 November 2011 menyisakan duka yang menyakitkan bagi sebagian besar penyuka olahraga sepakbola tanah air. Bagaimana tidak, Timnas Malaysia merupakan musuh bebuyutan yang amat dibenci oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Kenapa demikian? untuk menjawab pertanyaan ini akan menghabiskan banyak huruf dan rangkaian kata. Sebut saja perseteruan mengenai masalah perbatasan kedua negara yang tak ada ujungnya. Belum lagi klaim dari Malaysia atas beberapa budaya daerah di Indonesia. Ada pula masalah TKI yang selalu membawa duka yang menyayat hati, dan lain sebagainya.

Pendek kata, ini merupakan masalah nasional yang menyangkut harga diri bangsa. Bagaimanapun juga kekalahan ini tidak dapat diterima. Terlalu menyakitkan untuk diderita, terlalu pahit untuk dijalani, dan terlalu memalukan untuk diakui. Begitu kira-kira anggapan sebagian besar penyuka sepakbola di negeri ini.

Namun lebih daripada itu, ada banyak aspek yang ikut terlibat di dalam permainan ini, apabila sudah menyangkut rival antar dua negara bertetangga ini. Yakni aspek politik, sosial, dan budaya. Akibatnya permainan ini tidak lagi murni permainan antar dua tim melainkan peperangan antar ego dua negara. Permainan yang mana masing-masing pendukung membawa dalam setiap dirinya, bara yang siap membakar kapan saja.

Kenapa tim Indonesia bisa kalah? Siapa pula yang patut dipersalahkan atas kekalahan ini? Cukupkah dukungan sporter fanatik[1] sebagai bahan bakar bagi pemain untuk melaju kencang menuju puncak kemenangan?


Sepakbola merupakan permainan, permainan adu kelihaian dan keterampilan dalam lapangan. Layaknya suatu permainan tentunya ada menang dan adapula yang kalah. Tidaklah mungkin jika pemenangnya lebih dari satu, sebab sang pemenang hanya boleh satu. Sama kiranya dengan Tuhan, Tuhan hanya boleh ada satu, kalau lebih dari satu berarti...?

Alangkah eloknya jikalau sebelum bermain kita tanamkan kepada diri bahwa dalam permainan ini mungkin saja kekalahan sedang mengintai untuk menghampiri. Yang sepatutnya kita lakukan ialah berusaha sebaik yang kita mampu untuk meraih kemenangan supaya berada dalam genggaman. Namun kebanyakan dari kita ialah tipe manusia yang ingin menang tapi tak suka pabila kekalahan yang didapat.

Kita dapat mengambil teladan dalam kehidupan, dimana seorang yang telah berusaha cukup keras dalam mencapai kesuksesan dalam hidup, namun kesuksesan yang diharap tak kunjungi menghampiri. Dalam hati ia mencela “Duhai kenapa gerangan? Telah pontang panting aku berusaha namun hasil yang kudapat tak sesuai dengan yang ku cita-citakan. Cobalah lihat dia! yang tak perlu berusahapun mendapat segala yang diinginkan. Hidup memang tak adil..!”

Begitulah hidup, menurut kita manusia yang kurang iman ini, hidup itu ialah tak adil. Wajar jika ada yang berfikir semacam itu. Karena manusia dengan segala kekurangan dan kelemahan yang ada padanya selalu melihat dunia dari kacamata dirinya seorang.

Kenapa kita belum jua meraih kemenangan dalam dunia sepakbola yang konon kabarnya merupakan permainan yang amat digemari oleh umat manusia di muka bumi ini? Pertanyaan itulah yang selalu menghantui untuk segera dijawab. Beragam jawaban dikemukakan, mulai dari masalah pemain, pelatih, PSSI, hingga pemerintah. Namun tak jua kunjungi terselesaikan, TIMNAS masih tetap kalah dalam berbagai pertandingan. Untung saja Timnas Indonesia tidak dikalahkan oleh Timor Leste. Cobalah bayangkan betapa malunya kita kalau sampai hal itu benar-benar terjadi.

Cobalah kita merenung, apa gerangan penyebab kekalahan ini? Pemain dan pelatih bukanlah satu-satunya yang bertanggung jawab akan tetapi semua orang yang menggemari permainan ini ikut bertanggung jawab atas kekalahan ini. Kita siap menang, tapi tidak siap untuk kalah. Dalam kehidupan sehari-hari orang bermental semacam ini kita lihat suka sekali berbuat culas, menipu, menyuap, sampai kepada mengancam hanya untuk mendapatkan apa yang diinginkannya.

Berikutnya ialah kita bermain bukan untuk kesenangan melainkan untuk memuaskan nafsu. Sehingga ada beban yang terasa setiap kali ada permainan. Kenapa harus ada ego, marah, dan dendam kesumat terhadap tim lawan? Jika suatu permainan sudah dimulai dengan niat bukan untuk bermain indah melainkan untuk memuaskan hawa nafsu, untuk mengalahkan lawan. Maka permainan semacam ini tidak patut kita sebut permainan melainkan peperangan. Tatkala jiwa yang suci sudah tercemar, maka bumipun kan menolak untuk menerima jasadnya.

Kenapa kita mengalami kekalahan? Karena kita tidak pandai bersikap rendah hati, kita terlalu menggadang-gadangkan tim kita. Dalam setiap kesempatan, apakah itu di TV, Surat kabar, atau media lainnya, selalu perkara timnas yang diulas. Seolah-olah tak ada topik lain. Bukannya melarang, wajar memang. Akan tetapi jika kita terlalu hanyut akan sesuatu maka bersiaplah untuk kecewa. Seseorang yang suka memamerkan segala rencananya, biasanya rencana tersebut tidakkan berjalan sebagai mana mestinya.

Kenapa kita kalah? Karena sepakbola tidak murni lagi sebuah permainan, melainkan telah dicemari oleh politik, ekonomi, ego, dan beragam racun dunia lainnya. Setiap kali ada pertandingan maka akan diiming-imingi dengan hadiah yang besar. Namun sebaliknya dalam pengkaderan pemain, perekrutan, pelatihan, pendidikan, dan kesejahteraan pemain sama sekali tidak diperhatikan. Kita hanya mementingkan hasil, namun melupakan proses.

Kenapa kita belum jua menang? Karena kita belum siap untuk kalah. Kita belum dapat menerima kekalahan dengan jiwa besar. Kita belum sanggup bersabar dalam menyemai benih, maunya hanya mendapatkan hasil yang melimpah tanpa usaha.

Itulah kita, manusia Indonesia masa kini..
Berhentilah menyalahkan,
Belajarlah untuk menerima,
Dewasalah, grow up





[1] Kabarnya negara ini sangat membenci kaum fanatik. Tampaknya dalam hal ini pengecualian. Fanatik terhadap agama tidak boleh. Tetapi fanatik selain kepada agama, boleh-boleh saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar