Kisah bersama Antan
Bagian. 1

Kebanyakan orang tua
memang suka sekali bercerita, kita anak muda harus bersedia
mendengarkannya karena dengan begitu hati mereka akan senang. Begitulah
tabiat mereka dan Insya Allah akan menjadi tabiat kita juga pabila sudah
tua kelak. Mereka bercerita sebagai wujud dari rasa kesepian mereka,
rasa sepi diusia senja, rasa sepi karena telah ditinggal pergi oleh
banyak kawan-kawan, rasa sepi karena dunia telah berubah dan tidak lagi
sama dengan yang mereka tinggali dahulu. Rasa sepi karena tidak ada
orang yang sepaham dapat diajak bercerita. Maka jadilah tuan dan engku
pendengar yang baik, jangan dibantah, iyakan setiap perkataan mereka,
walau hal tersebut bertentangan dengan hati. Niscaya hal tersebut akan
mendatangakan kebahagiaan bagi mereka. Tidakkah suka tuan dan engku
melihat mereka senang?

Sampailah perbincangan kami kepada perkara orang meminta sedekah di surau. Menurut cerita antan
ku ini yang diamini oleh ibu ku bahwa pada masa dahulu jikalau orang
meminta sumbangan atas nama surau ke rumah-rumah penduduk kampung ialah
dengan manggigiahi. Maksudnya dengan cara memaksa, bukan dengan
memaksa yang diiringi ancaman melainkan semacam diplomasi yang alot
antara pengurus dan penduduk. Dan biasanya jikalau mendapat pengurus
yang lihai dan gigih dalam berdiplomasi ke orang kampung maka duit akan
terkumpul banyak di tangan pengurus.
Akupun berujar “Kalam macam tu ntan mana dapat pahala kita. Sebab memberi karena terpaksa bukan karena ikhlas beramal..!”
Antan
ku ini langsun menjawab dengan kesal “Mana ada di kamu, perkara pahala
itu masalah Allah Ta’ala. Kita manusia mana pernah tahu perkara macam
tu..! lagipula orang-orang itu senang pula dipaksa macam tu..”
Jawaban
antan ku ini diamini ibu “Benar juga bapanda, soalnya jikalau bulan
puasa di surau kita ini (sambil menunjuk ke surau di sebelah rumah kami)
setiap bersedekah tidak semua orang suka memberikan sedekah mereka
lewat kotak. Melainkan terdapat beberapa orang amai-amai[2]
yang suka sekali apabila selesai penceramah memberikan wasiat maka
sebelum dilaksanakan Shalat Tarawih pengurus yang menjadi protokol akan
selalu bertanya kepada para jama’ah “Apakah masih ada diantara engku dan amai-amai yang hendak berinfaq untuk surau kita lagi..?” dan biasanya selalu ada saja amai-amai yang beridiri memberikan sumbangan. Sebab sudah menjadi kebiasaan dibegitukan..”
Aku hanya tersenyum dan terdiam, tak ada guna mendebat antan
ku ini. Bisa-bisa sakit beliau, apalagi ibu juga menyokong pendapat
beliau. Aku hanya terperangah, begitu rupanya. Alangkah sedihnya kalau
memang seperti ini kesadaran beragama orang-orang tua di kampung ku.
Padahal sudah entah berapa kali guru mengaji berceramah di surau perihal
perkara riya. Dan tampaknya sama sekali tidak ada bekasnya dikehidupan orang kampung. Masuak suok kalua kida,[3] begitu rupanya yang berlaku.
Apakah hal yang sama juga berlaku di kampung tuan dan engku?
sumber gambar: internet
'Juga dimuat di: http://www.soeloehmelajoe.wordpress.com
[1] Antan artinya Kakek. Dalam masyarakat Minangkabau ada beragam panggilan untuk kakek seperti antan, inyiak, aki, dan atuak.
[2]Ibu-ibu
[3]
Maksudnya masuk telinga kanan, keluar telinga kiri. Suatu ungkapan
terhadap orang yang sama sekali tidak menyimak apa yang telah dikatakan.
Seolah-olah orang tak pernah berkata apa-apa kepadanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar