Sabtu, 07 April 2012

Perkara Riya dalam Beramal

Kisah bersama Antan
 Bagian. 1

Beberapa pekan yang lalu ketika aku pulang kampung bersua dengan salah seorang antan[1] ku. Lazimnya cucu dengan antan pabila bersua saling menanyakan kabar berita dan kemudian saling bertukar cerita. Ujungnya ialah perbincangan kami membahas segala hal. Apakah itu mengenai pengalaman yang ku alamai ataupun pengalaman yang beliau alami. Bertukar fikiran dan bertukar khabar, itulah yang terjadi. Apalagi sebagai orang tua beliau suka sekali berbicara, terutama perihal pendapat beliau mengenai keadaan orang zaman sekarang dan lain sebagainya.

Kebanyakan orang tua memang suka sekali bercerita, kita anak muda harus bersedia mendengarkannya karena dengan begitu hati mereka akan senang. Begitulah tabiat mereka dan Insya Allah akan menjadi tabiat kita juga pabila sudah tua kelak. Mereka bercerita sebagai wujud dari rasa kesepian mereka, rasa sepi diusia senja, rasa sepi karena telah ditinggal pergi oleh banyak kawan-kawan, rasa sepi karena dunia telah berubah dan tidak lagi sama dengan yang mereka tinggali dahulu. Rasa sepi karena tidak ada orang yang sepaham dapat diajak bercerita. Maka jadilah tuan dan engku pendengar yang baik, jangan dibantah, iyakan setiap perkataan mereka, walau hal tersebut bertentangan dengan hati. Niscaya hal tersebut akan mendatangakan kebahagiaan bagi mereka. Tidakkah suka tuan dan engku melihat mereka senang?


Sampailah perbincangan kami kepada perkara orang meminta sedekah di surau. Menurut cerita antan ku ini yang diamini oleh ibu ku bahwa pada masa dahulu jikalau orang meminta sumbangan atas nama surau ke rumah-rumah penduduk kampung ialah dengan manggigiahi. Maksudnya dengan cara memaksa, bukan dengan memaksa yang diiringi ancaman melainkan semacam diplomasi yang alot antara pengurus dan penduduk. Dan biasanya jikalau mendapat pengurus yang lihai dan gigih dalam berdiplomasi ke orang kampung maka duit akan terkumpul banyak di tangan pengurus.

Akupun berujar “Kalam macam tu ntan mana dapat pahala kita. Sebab memberi karena terpaksa bukan karena ikhlas beramal..!”

Antan ku ini langsun menjawab dengan kesal “Mana ada di kamu, perkara pahala itu masalah Allah Ta’ala. Kita manusia mana pernah tahu perkara macam tu..! lagipula orang-orang itu senang pula dipaksa macam tu..”

Jawaban antan ku ini diamini ibu “Benar juga bapanda, soalnya jikalau bulan puasa di surau kita ini (sambil menunjuk ke surau di sebelah rumah kami) setiap bersedekah tidak semua orang suka memberikan sedekah mereka lewat kotak. Melainkan terdapat beberapa orang amai-amai[2] yang suka sekali apabila selesai penceramah memberikan wasiat maka sebelum dilaksanakan Shalat Tarawih pengurus yang menjadi protokol  akan selalu bertanya kepada para jama’ah “Apakah masih ada diantara engku dan amai-amai yang hendak berinfaq untuk surau kita lagi..?” dan biasanya selalu ada saja amai-amai yang beridiri memberikan sumbangan. Sebab sudah menjadi kebiasaan dibegitukan..”

Aku hanya tersenyum dan terdiam, tak ada guna mendebat antan ku ini. Bisa-bisa sakit beliau, apalagi ibu juga menyokong pendapat beliau. Aku hanya terperangah, begitu rupanya. Alangkah sedihnya kalau memang seperti ini kesadaran beragama orang-orang tua di kampung ku. Padahal sudah entah berapa kali guru mengaji berceramah di surau perihal perkara riya. Dan tampaknya sama sekali tidak ada bekasnya dikehidupan orang kampung. Masuak suok kalua kida,[3] begitu rupanya yang berlaku.

Apakah hal yang sama juga berlaku di kampung tuan dan engku?

sumber gambar: internet


'Juga dimuat di: http://www.soeloehmelajoe.wordpress.com

[1] Antan artinya Kakek. Dalam masyarakat Minangkabau ada beragam panggilan untuk kakek seperti antan, inyiak, aki, dan atuak.
[2]Ibu-ibu
[3] Maksudnya masuk telinga kanan, keluar telinga kiri. Suatu ungkapan terhadap orang yang sama sekali tidak menyimak apa yang telah dikatakan. Seolah-olah orang tak pernah berkata apa-apa kepadanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sabtu, 07 April 2012

Perkara Riya dalam Beramal

Kisah bersama Antan
 Bagian. 1

Beberapa pekan yang lalu ketika aku pulang kampung bersua dengan salah seorang antan[1] ku. Lazimnya cucu dengan antan pabila bersua saling menanyakan kabar berita dan kemudian saling bertukar cerita. Ujungnya ialah perbincangan kami membahas segala hal. Apakah itu mengenai pengalaman yang ku alamai ataupun pengalaman yang beliau alami. Bertukar fikiran dan bertukar khabar, itulah yang terjadi. Apalagi sebagai orang tua beliau suka sekali berbicara, terutama perihal pendapat beliau mengenai keadaan orang zaman sekarang dan lain sebagainya.

Kebanyakan orang tua memang suka sekali bercerita, kita anak muda harus bersedia mendengarkannya karena dengan begitu hati mereka akan senang. Begitulah tabiat mereka dan Insya Allah akan menjadi tabiat kita juga pabila sudah tua kelak. Mereka bercerita sebagai wujud dari rasa kesepian mereka, rasa sepi diusia senja, rasa sepi karena telah ditinggal pergi oleh banyak kawan-kawan, rasa sepi karena dunia telah berubah dan tidak lagi sama dengan yang mereka tinggali dahulu. Rasa sepi karena tidak ada orang yang sepaham dapat diajak bercerita. Maka jadilah tuan dan engku pendengar yang baik, jangan dibantah, iyakan setiap perkataan mereka, walau hal tersebut bertentangan dengan hati. Niscaya hal tersebut akan mendatangakan kebahagiaan bagi mereka. Tidakkah suka tuan dan engku melihat mereka senang?


Sampailah perbincangan kami kepada perkara orang meminta sedekah di surau. Menurut cerita antan ku ini yang diamini oleh ibu ku bahwa pada masa dahulu jikalau orang meminta sumbangan atas nama surau ke rumah-rumah penduduk kampung ialah dengan manggigiahi. Maksudnya dengan cara memaksa, bukan dengan memaksa yang diiringi ancaman melainkan semacam diplomasi yang alot antara pengurus dan penduduk. Dan biasanya jikalau mendapat pengurus yang lihai dan gigih dalam berdiplomasi ke orang kampung maka duit akan terkumpul banyak di tangan pengurus.

Akupun berujar “Kalam macam tu ntan mana dapat pahala kita. Sebab memberi karena terpaksa bukan karena ikhlas beramal..!”

Antan ku ini langsun menjawab dengan kesal “Mana ada di kamu, perkara pahala itu masalah Allah Ta’ala. Kita manusia mana pernah tahu perkara macam tu..! lagipula orang-orang itu senang pula dipaksa macam tu..”

Jawaban antan ku ini diamini ibu “Benar juga bapanda, soalnya jikalau bulan puasa di surau kita ini (sambil menunjuk ke surau di sebelah rumah kami) setiap bersedekah tidak semua orang suka memberikan sedekah mereka lewat kotak. Melainkan terdapat beberapa orang amai-amai[2] yang suka sekali apabila selesai penceramah memberikan wasiat maka sebelum dilaksanakan Shalat Tarawih pengurus yang menjadi protokol  akan selalu bertanya kepada para jama’ah “Apakah masih ada diantara engku dan amai-amai yang hendak berinfaq untuk surau kita lagi..?” dan biasanya selalu ada saja amai-amai yang beridiri memberikan sumbangan. Sebab sudah menjadi kebiasaan dibegitukan..”

Aku hanya tersenyum dan terdiam, tak ada guna mendebat antan ku ini. Bisa-bisa sakit beliau, apalagi ibu juga menyokong pendapat beliau. Aku hanya terperangah, begitu rupanya. Alangkah sedihnya kalau memang seperti ini kesadaran beragama orang-orang tua di kampung ku. Padahal sudah entah berapa kali guru mengaji berceramah di surau perihal perkara riya. Dan tampaknya sama sekali tidak ada bekasnya dikehidupan orang kampung. Masuak suok kalua kida,[3] begitu rupanya yang berlaku.

Apakah hal yang sama juga berlaku di kampung tuan dan engku?

sumber gambar: internet


'Juga dimuat di: http://www.soeloehmelajoe.wordpress.com

[1] Antan artinya Kakek. Dalam masyarakat Minangkabau ada beragam panggilan untuk kakek seperti antan, inyiak, aki, dan atuak.
[2]Ibu-ibu
[3] Maksudnya masuk telinga kanan, keluar telinga kiri. Suatu ungkapan terhadap orang yang sama sekali tidak menyimak apa yang telah dikatakan. Seolah-olah orang tak pernah berkata apa-apa kepadanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar