Minggu, 15 April 2012

Menggomballah, niscaya engkau akan dipuja orang



Perlombaan “Merayu” Idols


Malam minggu aku habiskan dengan seorang kawan, kawan senasib karena kami sama-sama masih bujangan. Semenjak sehabis Isya tadi kami sudah asyik di depan Laptop. Bukan mengerjakan tugas ataupun Online, melainkan menonton filem yang telah susah payah di download oleh kawan ku ini. Sekarang kami sedang berehat, menonton berita malam di TV, sambil makan gorengan yang sehabis magrib tadi kami beli. Sudah dingin tentunya, tapi tak apalah, kami cukup menikmati gorengan dingin ini.
Sambil acuh tak acuh kami menonton berita yang disiarkan oleh salah satu Stasiun TV Swasta di Indonesia. Sekarang berita beralih ke berita seputar Pemilukada di Jakarta, pembaca berita menyiarkan berita perihal kedatangan salah seorang Calon Gubernur Jakarta ke Pasar Tradisional. Wajah kawan ku yang mulanya acuh tak acuh perlahan-lahan mulai kelihatan tertarik dengan berita ini. Kemudian sambil tersenyum mencemooh dia berujar “Bukankah dahulu hal yang sama juga pernah terjadi di  negara ini? Jangan katakan pada ku kalau engkau telah lupa, kawan ku yang baik..”
Aku tersenyum mendengar ucapannya, bukan jawaban yang dibutuhkannya dari melainkan dukungan atas maksud yang tergambar dari pertanyaannya “Benar kawan, dahulu disetiap pemilihan. Apakah itu pemilihan Bupati, Walikota, Gubernur, hingga Presiden selalu diiringi dengan hal-hal semacam ini…”
Jawaban ku rupanya tak memuaskannya, dia butuh ketegasan dari ku “Benar kawan, hal yang sama selalu terulang. Benarlah kiranya kalau orang Indonesia ini pandir-pandir semuanya..”
Aku diam sambil mengulum tersenyum, kawan ku ini sudah mulai kesal melihat tingkah ku. Bukan diam yang dibutuhkannya melainkan suatu pernyataan tegas dari ku. Aku paham kemana maksud pembicaraan kawan ku ini. Hal yang sama selalu berulang, akan tetapi tetap saja rakyat berhasil ditipu. Entah apa yang terjadi? Padahal mereka sudah tau kalau akan kena tipu dan masih mau saja ditipu. Benarlah kata seorang negarawan muslim di abad pertengahan yang berasal dari Afrika Utara. Beliau berpendapat bahwa “Sesungguhnya sebagian besar rakyat itu pandir-pandir semuanya, hanya sebagian kecil saja yang pandai. Oleh karena itu janganlah urusan kenegaraan ataupun pemerintahan dalam suatu negara diserahkan kepada mereka. Sebab akan hancur perkara itu dibuatnya..”

Pandir yang dimaksud oleh beliau disini tentunya bukan pandir yang bodoh bin bengak, melainkan pandir dalam arti kata mereka tidak memiliki pemahaman yang cukup dalam masalah tatanegara dan pemerintahan. Sehingga hal ini menyebabkan mereka akan mudah ditipu oleh orang yang lebih cerdik.
“Kau pernah mendengar kalau hanya keledai dungulah yang terperosok ke dalam lubang yang sama untuk kedua kalinya..?” tanyanya pada ku.
“Pernah..” jawab ku
Sambil memperbaiki duduknya dia berpetuah pada ku “Nah kawan, keadaan masyarakat Indonesia sekarang ini lebih parah pula dari keledai dungu. Katakan pada ku, sudah berapa kali kita melakukan pemilihan, apakah itu pemilihan wakil rakyat ataupun pemilihan kepala daerah?”
Pertanyaannya membuat ku terdiam, kali ini diam karena benar-benar tak tahu dengan jawaban dari pertanyaan yang diajukannnya tersebut. Sayang aku lupa menghitungnya, kalau seandainya aku tahu akan ditanya tentunya akan ku hitung terlebih dahulu jumlah “pemilihan” yang telah diadakan oleh negara ini.
“Sudahlah, tak usah kau hitung pula. Bisa mengantuk aku dibuatnya nanti. Tentunya kau tahukan kalau setiap pemilihan selalu diiringi dengan kampanye? Nah, biasanya ketika kampanye apa yang terjadi?” tanyanya kepada ku.
“Mm..pengerahan masa, dangdut seronok beserta artis lontenya. Kalau menurut ku, badut di Jam Gadang jauh lebih menarik daripada kampanye ini..” ujar ku.
“Haha..dasar kau ini. Aku sepaham dengan kau dalam perkara ini, biar kutambahi. Pada acara kampanye inilah beragam bentuk kebobrokan moral terjadi. Selain yang telah kau jelaskan tadi dimana para lonte yang selama ini tampil sembunyi-sembunyi sekarang berani tampil di depan khalayak ramai. Ditambah dengan beragam kebohongan yang dilontarkan oleh para politikus, semacam rayuan maut untuk para gadis. Dan hasilnya tentu kau tahu, hanya gadis dengan otak kosonglah yang terpikat dengan rayuan maut tersebut. Belum lagi money polic, kabarnya ada juga beberapa orang yang diupah untuk datang ke acara kampanye tersebut. Sikut-menyikut antara saingan dalam pemilu sudah menjadi hal yang biasa di zaman sekarang. Masih banyak lagi sebenarnya, tapi eloklah kiranya kita membahas perihal berita yang barusan kita lihat. Kalau orang Jakarta yang katanya pintar-pintar itu masih terpikat dengan bentuk rayuan semacam ini, maka mereka jangan lagi menyombongkan diri pabila datang ke negeri kita. Sok paling hebat padahal otaknya kosong, masih dapat ditipu…” jelas kawan ku ini penuh emosi.
Aku terdiam, sekarang pembahasannya sudah melebar soal Kesombongan Orang Jakarta pabila datang ke daerah. Sejauh pengamatan yang ku lakukan, bahwa sebagian besar orang Jakarta yang datang ke daerah menganggap kalau daerah yang mereka kunjungi merupakan daerah yang tertinggal, belum maju, masih sederhana, tradisional, dan apa adanya. Benar memang anggapan mereka, tapi sayang tidak benar sepenuhnya. Dan sayangnya lagi, sebagian besar dari mereka menunjukkan sikap yang merendahkan orang daerah. Ditambah dengan sikap para awak media yang selalu menyoroti beragam fenomena di daerah dari sudut pandang orang Jakarta. Bagaimana kawan ku ini tidak jengkel, terkadang dengan emosi dia berujar “Aku adalah seorang Chauvinist…!”
Begitulah petikan kisah ku dengan seorang kawan di malam Minggu. Pembicaraan kami terus berlanjut dan melebar ke mana-mana. Membahas segala permasalahan: politik, sosial, budaya, agama, pemerintahan, dan lain sebagainya. Semoga kisah ku ini dapat menambah pengalaman tuan, engku, dan sidang pembaca sekalian.

 juga dimuat di:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Minggu, 15 April 2012

Menggomballah, niscaya engkau akan dipuja orang



Perlombaan “Merayu” Idols


Malam minggu aku habiskan dengan seorang kawan, kawan senasib karena kami sama-sama masih bujangan. Semenjak sehabis Isya tadi kami sudah asyik di depan Laptop. Bukan mengerjakan tugas ataupun Online, melainkan menonton filem yang telah susah payah di download oleh kawan ku ini. Sekarang kami sedang berehat, menonton berita malam di TV, sambil makan gorengan yang sehabis magrib tadi kami beli. Sudah dingin tentunya, tapi tak apalah, kami cukup menikmati gorengan dingin ini.
Sambil acuh tak acuh kami menonton berita yang disiarkan oleh salah satu Stasiun TV Swasta di Indonesia. Sekarang berita beralih ke berita seputar Pemilukada di Jakarta, pembaca berita menyiarkan berita perihal kedatangan salah seorang Calon Gubernur Jakarta ke Pasar Tradisional. Wajah kawan ku yang mulanya acuh tak acuh perlahan-lahan mulai kelihatan tertarik dengan berita ini. Kemudian sambil tersenyum mencemooh dia berujar “Bukankah dahulu hal yang sama juga pernah terjadi di  negara ini? Jangan katakan pada ku kalau engkau telah lupa, kawan ku yang baik..”
Aku tersenyum mendengar ucapannya, bukan jawaban yang dibutuhkannya dari melainkan dukungan atas maksud yang tergambar dari pertanyaannya “Benar kawan, dahulu disetiap pemilihan. Apakah itu pemilihan Bupati, Walikota, Gubernur, hingga Presiden selalu diiringi dengan hal-hal semacam ini…”
Jawaban ku rupanya tak memuaskannya, dia butuh ketegasan dari ku “Benar kawan, hal yang sama selalu terulang. Benarlah kiranya kalau orang Indonesia ini pandir-pandir semuanya..”
Aku diam sambil mengulum tersenyum, kawan ku ini sudah mulai kesal melihat tingkah ku. Bukan diam yang dibutuhkannya melainkan suatu pernyataan tegas dari ku. Aku paham kemana maksud pembicaraan kawan ku ini. Hal yang sama selalu berulang, akan tetapi tetap saja rakyat berhasil ditipu. Entah apa yang terjadi? Padahal mereka sudah tau kalau akan kena tipu dan masih mau saja ditipu. Benarlah kata seorang negarawan muslim di abad pertengahan yang berasal dari Afrika Utara. Beliau berpendapat bahwa “Sesungguhnya sebagian besar rakyat itu pandir-pandir semuanya, hanya sebagian kecil saja yang pandai. Oleh karena itu janganlah urusan kenegaraan ataupun pemerintahan dalam suatu negara diserahkan kepada mereka. Sebab akan hancur perkara itu dibuatnya..”

Pandir yang dimaksud oleh beliau disini tentunya bukan pandir yang bodoh bin bengak, melainkan pandir dalam arti kata mereka tidak memiliki pemahaman yang cukup dalam masalah tatanegara dan pemerintahan. Sehingga hal ini menyebabkan mereka akan mudah ditipu oleh orang yang lebih cerdik.
“Kau pernah mendengar kalau hanya keledai dungulah yang terperosok ke dalam lubang yang sama untuk kedua kalinya..?” tanyanya pada ku.
“Pernah..” jawab ku
Sambil memperbaiki duduknya dia berpetuah pada ku “Nah kawan, keadaan masyarakat Indonesia sekarang ini lebih parah pula dari keledai dungu. Katakan pada ku, sudah berapa kali kita melakukan pemilihan, apakah itu pemilihan wakil rakyat ataupun pemilihan kepala daerah?”
Pertanyaannya membuat ku terdiam, kali ini diam karena benar-benar tak tahu dengan jawaban dari pertanyaan yang diajukannnya tersebut. Sayang aku lupa menghitungnya, kalau seandainya aku tahu akan ditanya tentunya akan ku hitung terlebih dahulu jumlah “pemilihan” yang telah diadakan oleh negara ini.
“Sudahlah, tak usah kau hitung pula. Bisa mengantuk aku dibuatnya nanti. Tentunya kau tahukan kalau setiap pemilihan selalu diiringi dengan kampanye? Nah, biasanya ketika kampanye apa yang terjadi?” tanyanya kepada ku.
“Mm..pengerahan masa, dangdut seronok beserta artis lontenya. Kalau menurut ku, badut di Jam Gadang jauh lebih menarik daripada kampanye ini..” ujar ku.
“Haha..dasar kau ini. Aku sepaham dengan kau dalam perkara ini, biar kutambahi. Pada acara kampanye inilah beragam bentuk kebobrokan moral terjadi. Selain yang telah kau jelaskan tadi dimana para lonte yang selama ini tampil sembunyi-sembunyi sekarang berani tampil di depan khalayak ramai. Ditambah dengan beragam kebohongan yang dilontarkan oleh para politikus, semacam rayuan maut untuk para gadis. Dan hasilnya tentu kau tahu, hanya gadis dengan otak kosonglah yang terpikat dengan rayuan maut tersebut. Belum lagi money polic, kabarnya ada juga beberapa orang yang diupah untuk datang ke acara kampanye tersebut. Sikut-menyikut antara saingan dalam pemilu sudah menjadi hal yang biasa di zaman sekarang. Masih banyak lagi sebenarnya, tapi eloklah kiranya kita membahas perihal berita yang barusan kita lihat. Kalau orang Jakarta yang katanya pintar-pintar itu masih terpikat dengan bentuk rayuan semacam ini, maka mereka jangan lagi menyombongkan diri pabila datang ke negeri kita. Sok paling hebat padahal otaknya kosong, masih dapat ditipu…” jelas kawan ku ini penuh emosi.
Aku terdiam, sekarang pembahasannya sudah melebar soal Kesombongan Orang Jakarta pabila datang ke daerah. Sejauh pengamatan yang ku lakukan, bahwa sebagian besar orang Jakarta yang datang ke daerah menganggap kalau daerah yang mereka kunjungi merupakan daerah yang tertinggal, belum maju, masih sederhana, tradisional, dan apa adanya. Benar memang anggapan mereka, tapi sayang tidak benar sepenuhnya. Dan sayangnya lagi, sebagian besar dari mereka menunjukkan sikap yang merendahkan orang daerah. Ditambah dengan sikap para awak media yang selalu menyoroti beragam fenomena di daerah dari sudut pandang orang Jakarta. Bagaimana kawan ku ini tidak jengkel, terkadang dengan emosi dia berujar “Aku adalah seorang Chauvinist…!”
Begitulah petikan kisah ku dengan seorang kawan di malam Minggu. Pembicaraan kami terus berlanjut dan melebar ke mana-mana. Membahas segala permasalahan: politik, sosial, budaya, agama, pemerintahan, dan lain sebagainya. Semoga kisah ku ini dapat menambah pengalaman tuan, engku, dan sidang pembaca sekalian.

 juga dimuat di:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar