Perlombaan “Merayu” Idols
Malam minggu aku habiskan
dengan seorang kawan, kawan senasib karena kami sama-sama masih bujangan.
Semenjak sehabis Isya tadi kami sudah asyik di depan Laptop. Bukan mengerjakan
tugas ataupun Online, melainkan menonton filem yang telah susah payah di
download oleh kawan ku ini. Sekarang kami sedang berehat, menonton berita malam
di TV, sambil makan gorengan yang sehabis magrib tadi kami beli. Sudah dingin
tentunya, tapi tak apalah, kami cukup menikmati gorengan dingin ini.
Sambil acuh tak acuh kami
menonton berita yang disiarkan oleh salah satu Stasiun TV Swasta di Indonesia.
Sekarang berita beralih ke berita seputar Pemilukada di Jakarta, pembaca berita
menyiarkan berita perihal kedatangan salah seorang Calon Gubernur Jakarta ke
Pasar Tradisional. Wajah kawan ku yang mulanya acuh tak acuh perlahan-lahan
mulai kelihatan tertarik dengan berita ini. Kemudian sambil tersenyum mencemooh
dia berujar “Bukankah dahulu hal yang sama juga pernah terjadi di negara ini? Jangan katakan pada ku kalau
engkau telah lupa, kawan ku yang baik..”
Aku tersenyum mendengar
ucapannya, bukan jawaban yang dibutuhkannya dari melainkan dukungan atas maksud
yang tergambar dari pertanyaannya “Benar kawan, dahulu disetiap pemilihan.
Apakah itu pemilihan Bupati, Walikota, Gubernur, hingga Presiden selalu
diiringi dengan hal-hal semacam ini…”
Jawaban ku rupanya tak
memuaskannya, dia butuh ketegasan dari ku “Benar kawan, hal yang sama selalu
terulang. Benarlah kiranya kalau orang Indonesia ini pandir-pandir semuanya..”
Aku diam sambil mengulum
tersenyum, kawan ku ini sudah mulai kesal melihat tingkah ku. Bukan diam yang
dibutuhkannya melainkan suatu pernyataan tegas dari ku. Aku paham kemana maksud
pembicaraan kawan ku ini. Hal yang sama selalu berulang, akan tetapi tetap saja
rakyat berhasil ditipu. Entah apa yang terjadi? Padahal mereka sudah tau kalau
akan kena tipu dan masih mau saja ditipu. Benarlah kata seorang negarawan muslim
di abad pertengahan yang berasal dari Afrika Utara. Beliau berpendapat bahwa
“Sesungguhnya sebagian besar rakyat itu pandir-pandir semuanya, hanya sebagian
kecil saja yang pandai. Oleh karena itu janganlah urusan kenegaraan ataupun
pemerintahan dalam suatu negara diserahkan kepada mereka. Sebab akan hancur
perkara itu dibuatnya..”
Pandir yang dimaksud oleh
beliau disini tentunya bukan pandir yang bodoh bin bengak, melainkan pandir
dalam arti kata mereka tidak memiliki pemahaman yang cukup dalam masalah
tatanegara dan pemerintahan. Sehingga hal ini menyebabkan mereka akan mudah
ditipu oleh orang yang lebih cerdik.
“Kau pernah mendengar
kalau hanya keledai dungulah yang
terperosok ke dalam lubang yang sama untuk kedua kalinya..?” tanyanya pada
ku.
“Pernah..” jawab ku
Sambil memperbaiki
duduknya dia berpetuah pada ku “Nah kawan, keadaan masyarakat Indonesia
sekarang ini lebih parah pula dari keledai
dungu. Katakan pada ku, sudah berapa kali kita melakukan pemilihan, apakah
itu pemilihan wakil rakyat ataupun pemilihan kepala daerah?”
Pertanyaannya membuat ku
terdiam, kali ini diam karena benar-benar tak tahu dengan jawaban dari
pertanyaan yang diajukannnya tersebut. Sayang aku lupa menghitungnya, kalau
seandainya aku tahu akan ditanya tentunya akan ku hitung terlebih dahulu jumlah
“pemilihan” yang telah diadakan oleh negara ini.
“Sudahlah, tak usah kau
hitung pula. Bisa mengantuk aku dibuatnya nanti. Tentunya kau tahukan kalau
setiap pemilihan selalu diiringi dengan kampanye? Nah, biasanya ketika kampanye
apa yang terjadi?” tanyanya kepada ku.
“Mm..pengerahan masa,
dangdut seronok beserta artis lontenya.
Kalau menurut ku, badut di Jam Gadang jauh lebih menarik daripada kampanye
ini..” ujar ku.
“Haha..dasar kau ini. Aku
sepaham dengan kau dalam perkara ini, biar kutambahi. Pada acara kampanye
inilah beragam bentuk kebobrokan moral terjadi. Selain yang telah kau jelaskan
tadi dimana para lonte yang selama
ini tampil sembunyi-sembunyi sekarang berani tampil di depan khalayak ramai.
Ditambah dengan beragam kebohongan yang dilontarkan oleh para politikus,
semacam rayuan maut untuk para gadis. Dan hasilnya tentu kau tahu, hanya gadis
dengan otak kosonglah yang terpikat dengan rayuan maut tersebut. Belum lagi money polic, kabarnya ada juga beberapa
orang yang diupah untuk datang ke acara kampanye tersebut. Sikut-menyikut
antara saingan dalam pemilu sudah menjadi hal yang biasa di zaman sekarang.
Masih banyak lagi sebenarnya, tapi eloklah kiranya kita membahas perihal berita
yang barusan kita lihat. Kalau orang Jakarta yang katanya pintar-pintar itu
masih terpikat dengan bentuk rayuan semacam ini, maka mereka jangan lagi
menyombongkan diri pabila datang ke negeri kita. Sok paling hebat padahal
otaknya kosong, masih dapat ditipu…” jelas kawan ku ini penuh emosi.
Aku terdiam, sekarang
pembahasannya sudah melebar soal Kesombongan Orang Jakarta pabila datang ke
daerah. Sejauh pengamatan yang ku lakukan, bahwa sebagian besar orang Jakarta
yang datang ke daerah menganggap kalau daerah yang mereka kunjungi merupakan
daerah yang tertinggal, belum maju, masih sederhana, tradisional, dan apa
adanya. Benar memang anggapan mereka, tapi sayang tidak benar sepenuhnya. Dan
sayangnya lagi, sebagian besar dari mereka menunjukkan sikap yang merendahkan
orang daerah. Ditambah dengan sikap para awak media yang selalu menyoroti
beragam fenomena di daerah dari sudut pandang orang Jakarta. Bagaimana kawan ku
ini tidak jengkel, terkadang dengan emosi dia berujar “Aku adalah seorang
Chauvinist…!”
Begitulah petikan kisah ku
dengan seorang kawan di malam Minggu. Pembicaraan kami terus berlanjut dan melebar
ke mana-mana. Membahas segala permasalahan: politik, sosial, budaya, agama,
pemerintahan, dan lain sebagainya. Semoga kisah ku ini dapat menambah
pengalaman tuan, engku, dan sidang pembaca sekalian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar