Selasa, 10 April 2012

Kisah Bersama Antan_Bagian.2


Orang Minang & Merantau 

Sungguh senang jika melihat orang yang kita sayangi berada dalam keadaan sehat dan kuat selalu dalam menjalani segala pekerjaan ataupun kegiatan sehari-hari. Itupulalah kiranya yang saya rasakan pabila pulang kampung, melihat kedua orang tua dan keluarga lainnya berada dalam keadaan sehat tentunya menambah senang hati.
Antanku rupanya sudah hafal jadwal pulang kampung ku, walau kadang beliau terkicuh karena disangka aku pulang, rupanya dapat jadwal piket dari kantor. Setiap beliau pulang, kami selalu menghabiskan waktu dengan berbincang-bincang, terkadang ditemani oleh ibuku, terkadang hanya kami berdua. Menceritakan banyak hal, pengalaman, petuah beliau kepada ku, bertukar fikiran mengenai suatu perkara, dan lain sebagainya.


Seperti yang terjadi hari ini, kami bercerita perihal keadaan urang awak di perantauan. Cerita beliau bermula ketika aku menyuruh adik bungsu ku untuk berpitaruh[1] kepada antan kami sebab pekan depan dia dan beberapa orang kawannya akan pergi Praktek Lapangan (PL) ke Jambi. Adik bungsu ku sudah memasuki tahun ketiganya di Poltekes Kementrian Kesehatan Padang. Pada saat sekarang ditahun akhir perkuliahannya di Padang merupakan tahun yang sibuk. Bertandang ke berbagai negeri, tentunya bukan hanya sekedar bertandang.

Ketika antan kami bertanya kemana hendak pergi, dia menjawab “ Ke Jambi ntan,..”

“Wah hebat, rantau Jambi bertuah. Banyak urang awak yang mendapat di sana..” ujar antan kami.


Sebenarnya akupun sudah mendapat kabar sebelumnya perihal tuah yang didapat oleh Rantau Jambi. Berdasarkan cerita dan kabar yang ku dengar, dapat kuambil tiga kesimpulan kenapa Jambi merupakan salah satu rantau yang bertuah. Pertama daerah ini semenjak dahulu dikenal sebagai pusat penanaman karet, sehingga hal ini mendatangkan rezki yang teramat besar kepada Negeri Jambi. Kedua ialah, pada beberapa negeri di Jambi terdapat penamabangan emas, kata orang emas di Negeri Jambi turun seperti hujan. Ketiga ialah Negeri Jambi dengan Batang Harinya serta bagian Pesisir Timur yang berdekatan dengan Singapura telah menyebabkan berbagai macam bentuk perdagangan maju di negeri ini. Hal ini terus berlangsung hingga pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk menarik cukai terhadap segala barang yang masuk ke Indonesia.

Antan ku ini menjelaskan bahwa orang-orang Jambi yang di Pesisir itu masih banyak yang bodoh-bodoh.[2] Hal ini menyebabkan Si Padanglah yang muncul di sana, “urang awak pandirnya cuma delapan hari di rantau. Setelah itu dia sudah cerdik, lihat sajalah, kalau tidak cerdik bagaimana dia dapat hidup di rantau orang” begitulah penjelasan antan ku kira-kira.

Banyak memang orang yang benci kepada kami Orang Minang, sebab di negeri orang dia pula yang mendapat, beruang, bermobil, hidup senang, sedangkan yang punya negeri hidup bangsat.[3] “ Kenapa Si Padang ini datang ke negeri kami, begitu sengsaranya kah mereka di kampung mereka? Tidakkah mereka punya sawah, ladang, ataupun tanah untuk diolah? Kenapa pula mereka datang ke negeri kami?” begitulah kira-kira pertanyaan orang-orang atas keberadaan kami di Negeri Rantau.

Antan mencontohkan kepada ku mengenai Orang Batak sebagai pembanding dengan kami Orang Minang. Cara kami merantau sangatlah beda dengan cara orang Batak. Di negeri mereka, segala harta jatuh kepada anak lelaki yang tertua. Hal inilah yang mendorong mereka untuk merantau sebab yang lain tak mendapat warisan. Berbeda dengan orang Minang, para lelaki memang tidak mendapat warisan, namun bukan berarti kami tidak memiliki hak atas harta pusaka. Inilah gerangan salah satu tuah dari Minangkabau, kenapa para perantau selalu berniat untuk pulang kampung, hanya untuk sekedar melihar dunsanak, kamanakan, rumah, tanah, sawah, dan pandam pakuburan. Kepuasaan apa yang diperoleh?

Memanglah pada diri Orang Batak mereka jarang pulang, sebab harta sudah dimiliki si sulung yang lelaki. Terkadang hubungan persaudaraan tidak pula baik, menambah enggan hati untuk pulang sekedar menyilau pusara orang tua.

Itu pulalah hikmahnya adat Matrilineal ini, kalau seandainya orang Minang beradat Patrilineal tentulah lah banyak orang Minang yang “Merantau Cino”. Sedangkan sekarang saja sudah banyak yang pergi dari kampung dan lama tak pulang-pulang. Cobalah tuan tengok, banyak orang Minang sekarang yang lebih nyaman berada di rantau daripada di kampung, sebab dirinya tiada bersaudara perempuan, tiada berkamanakan kontan. Kamanakan sesuku tentunya banyak, dunsanak sesuku tentunya ada, akan tetapi dunsanak kontan[4] tak berpunya. Tak ada yang akan memanggil-manggil supaya pulang menyilau kampung. Apalagi jika diri beristerikan orang luar nagari ataupun bukan orang Minang pula, tentulah serupa “Kijang lepas ke rimba..”

Memanglah pada masa sekarang ini di Minangkabau kehidupan semakin menuju ke Patrilineal. Sudah banyak orang Minang tak tahu dengan suku, tak tahu dengan mamak apalgi datuknya, dan paling tak suka pabila ditanya gelar adatnya semacam sutansaidi, katik, malin ataupun bagindo. Entah apa yang berlaku pada Minangkabau masa sekarang dan entah apa pula yang akan terjadi di masa depan. Semoga saja Adat Tak Lekang dek Panas dan Tak Lapuk dek Hujan benar-benar hidup. Semoga saja, Insya Allah..



Sumber Gambar:
Internet, dari film "UP"

[1] Pamitan
[2] Cerita antan ku ini tentunya hanya berlaku untuk masa dahulu. Sebab di masa muda beliau telah merantau ke beberapa negeri. Pada masa sekarang keadaannya tentulah berbeda dengan masa dahulu. Sudah puluhan tahu berlalu semenjak beliau berhenti merantau.
[3] Bangsat atau bangsaik. Bagi masyarakat Minangkabau kata ini memiliki makna miskin, atau teramat miskin. Status dari bangsat sendiri berada di bawah miskin. Hal ini berbeda dengan pemahaman orang Jakarta terhadap kata ini, bagi mereka kata bangsat bermakna orang hina, teramat hina, keparat, ataupun makna negatif lainnya.
[4] Kata “kontan” mengacu kepada makna kandung. Dunsanak kontan maksudnya ialah saudara kandung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Selasa, 10 April 2012

Kisah Bersama Antan_Bagian.2


Orang Minang & Merantau 

Sungguh senang jika melihat orang yang kita sayangi berada dalam keadaan sehat dan kuat selalu dalam menjalani segala pekerjaan ataupun kegiatan sehari-hari. Itupulalah kiranya yang saya rasakan pabila pulang kampung, melihat kedua orang tua dan keluarga lainnya berada dalam keadaan sehat tentunya menambah senang hati.
Antanku rupanya sudah hafal jadwal pulang kampung ku, walau kadang beliau terkicuh karena disangka aku pulang, rupanya dapat jadwal piket dari kantor. Setiap beliau pulang, kami selalu menghabiskan waktu dengan berbincang-bincang, terkadang ditemani oleh ibuku, terkadang hanya kami berdua. Menceritakan banyak hal, pengalaman, petuah beliau kepada ku, bertukar fikiran mengenai suatu perkara, dan lain sebagainya.


Seperti yang terjadi hari ini, kami bercerita perihal keadaan urang awak di perantauan. Cerita beliau bermula ketika aku menyuruh adik bungsu ku untuk berpitaruh[1] kepada antan kami sebab pekan depan dia dan beberapa orang kawannya akan pergi Praktek Lapangan (PL) ke Jambi. Adik bungsu ku sudah memasuki tahun ketiganya di Poltekes Kementrian Kesehatan Padang. Pada saat sekarang ditahun akhir perkuliahannya di Padang merupakan tahun yang sibuk. Bertandang ke berbagai negeri, tentunya bukan hanya sekedar bertandang.

Ketika antan kami bertanya kemana hendak pergi, dia menjawab “ Ke Jambi ntan,..”

“Wah hebat, rantau Jambi bertuah. Banyak urang awak yang mendapat di sana..” ujar antan kami.


Sebenarnya akupun sudah mendapat kabar sebelumnya perihal tuah yang didapat oleh Rantau Jambi. Berdasarkan cerita dan kabar yang ku dengar, dapat kuambil tiga kesimpulan kenapa Jambi merupakan salah satu rantau yang bertuah. Pertama daerah ini semenjak dahulu dikenal sebagai pusat penanaman karet, sehingga hal ini mendatangkan rezki yang teramat besar kepada Negeri Jambi. Kedua ialah, pada beberapa negeri di Jambi terdapat penamabangan emas, kata orang emas di Negeri Jambi turun seperti hujan. Ketiga ialah Negeri Jambi dengan Batang Harinya serta bagian Pesisir Timur yang berdekatan dengan Singapura telah menyebabkan berbagai macam bentuk perdagangan maju di negeri ini. Hal ini terus berlangsung hingga pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk menarik cukai terhadap segala barang yang masuk ke Indonesia.

Antan ku ini menjelaskan bahwa orang-orang Jambi yang di Pesisir itu masih banyak yang bodoh-bodoh.[2] Hal ini menyebabkan Si Padanglah yang muncul di sana, “urang awak pandirnya cuma delapan hari di rantau. Setelah itu dia sudah cerdik, lihat sajalah, kalau tidak cerdik bagaimana dia dapat hidup di rantau orang” begitulah penjelasan antan ku kira-kira.

Banyak memang orang yang benci kepada kami Orang Minang, sebab di negeri orang dia pula yang mendapat, beruang, bermobil, hidup senang, sedangkan yang punya negeri hidup bangsat.[3] “ Kenapa Si Padang ini datang ke negeri kami, begitu sengsaranya kah mereka di kampung mereka? Tidakkah mereka punya sawah, ladang, ataupun tanah untuk diolah? Kenapa pula mereka datang ke negeri kami?” begitulah kira-kira pertanyaan orang-orang atas keberadaan kami di Negeri Rantau.

Antan mencontohkan kepada ku mengenai Orang Batak sebagai pembanding dengan kami Orang Minang. Cara kami merantau sangatlah beda dengan cara orang Batak. Di negeri mereka, segala harta jatuh kepada anak lelaki yang tertua. Hal inilah yang mendorong mereka untuk merantau sebab yang lain tak mendapat warisan. Berbeda dengan orang Minang, para lelaki memang tidak mendapat warisan, namun bukan berarti kami tidak memiliki hak atas harta pusaka. Inilah gerangan salah satu tuah dari Minangkabau, kenapa para perantau selalu berniat untuk pulang kampung, hanya untuk sekedar melihar dunsanak, kamanakan, rumah, tanah, sawah, dan pandam pakuburan. Kepuasaan apa yang diperoleh?

Memanglah pada diri Orang Batak mereka jarang pulang, sebab harta sudah dimiliki si sulung yang lelaki. Terkadang hubungan persaudaraan tidak pula baik, menambah enggan hati untuk pulang sekedar menyilau pusara orang tua.

Itu pulalah hikmahnya adat Matrilineal ini, kalau seandainya orang Minang beradat Patrilineal tentulah lah banyak orang Minang yang “Merantau Cino”. Sedangkan sekarang saja sudah banyak yang pergi dari kampung dan lama tak pulang-pulang. Cobalah tuan tengok, banyak orang Minang sekarang yang lebih nyaman berada di rantau daripada di kampung, sebab dirinya tiada bersaudara perempuan, tiada berkamanakan kontan. Kamanakan sesuku tentunya banyak, dunsanak sesuku tentunya ada, akan tetapi dunsanak kontan[4] tak berpunya. Tak ada yang akan memanggil-manggil supaya pulang menyilau kampung. Apalagi jika diri beristerikan orang luar nagari ataupun bukan orang Minang pula, tentulah serupa “Kijang lepas ke rimba..”

Memanglah pada masa sekarang ini di Minangkabau kehidupan semakin menuju ke Patrilineal. Sudah banyak orang Minang tak tahu dengan suku, tak tahu dengan mamak apalgi datuknya, dan paling tak suka pabila ditanya gelar adatnya semacam sutansaidi, katik, malin ataupun bagindo. Entah apa yang berlaku pada Minangkabau masa sekarang dan entah apa pula yang akan terjadi di masa depan. Semoga saja Adat Tak Lekang dek Panas dan Tak Lapuk dek Hujan benar-benar hidup. Semoga saja, Insya Allah..



Sumber Gambar:
Internet, dari film "UP"

[1] Pamitan
[2] Cerita antan ku ini tentunya hanya berlaku untuk masa dahulu. Sebab di masa muda beliau telah merantau ke beberapa negeri. Pada masa sekarang keadaannya tentulah berbeda dengan masa dahulu. Sudah puluhan tahu berlalu semenjak beliau berhenti merantau.
[3] Bangsat atau bangsaik. Bagi masyarakat Minangkabau kata ini memiliki makna miskin, atau teramat miskin. Status dari bangsat sendiri berada di bawah miskin. Hal ini berbeda dengan pemahaman orang Jakarta terhadap kata ini, bagi mereka kata bangsat bermakna orang hina, teramat hina, keparat, ataupun makna negatif lainnya.
[4] Kata “kontan” mengacu kepada makna kandung. Dunsanak kontan maksudnya ialah saudara kandung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar