Sabtu, 21 April 2012

Musik Keroncong_1


Perbauran Beragam Budaya


Biola
Seni Musik merupakan salah satu bentuk kesenian yang hampir dimiliki oleh setiap kebudayaan di dunia. Dengan beragam bentuk dan kekhasannya menjadikan musik sebagai identitas bagi suatu kebudayaan. Corak musik yang dimiliki oleh suatu kebudayaan tentunya berbeda dengan musik yang dimiliki kebudayaan lain. Apakah itu dari segi alat musik ataupun irama langgam lagu yang dimainkan. Pada masa sekarang musik telah menjadi bahasa yang mendunia (universal). Beberapa orang sangat menikmati alunan musik dan lagu dari suatu daerah tertentu, walaupun mereka tidak dapat memahami bahasa yang digunakan oleh si penyanyi.
Indonesia memiliki kekayaan dalam segi suku dan budaya. Dari keragaman budaya ini, patut kiranya kita ambil contoh musik sebagai salah satu bentuk dari keragaman budaya. Tentunya yang kami maksudkan disini ialah musik etnik bukan musik pop. Dalam hal ini kami akan mengambil contoh yang lebih kecil yaitu musik keroncong. Musik ini sangatlah unik karena tidak mencerminkan budaya dari salah satu daerah di Indonesia. Melainkan sebagai bukti dari percampuran dari beberapa budaya yang kemudian melahirkan musik yang khas Indonesia.
Lazimnya di Indonesia, sejarah selalu menuai perdebatan, begitu pulalah kiranya dengan Sejarah Musik Keroncong di Indonesia. Dalam tulisan ini akan dikemukakan salah satu versi dari sejarah kelahiran musik Keroncong. Di akhir tulisan akan coba kami bahas perihal Musik Keroncong di Kota Sawahlunto Sumatera Barat.

Musik Tuan & Para Budak
Portugis merupakan salah satu dari negara-negara Eropa yang merintis perjalanan ke Timur. Pada tahun 1512 di bawah pimpinan Alfonso de Albuquerque Bangsa Portugis mulai menginjakkan kakinya di nusantara. Tujuannya ialah Sumber Daya Alam yang sangat dibutuhkan oleh orang-orang di Eropa ketika itu, yakni rempah-rempah. Alfonso mengomandani beberapa orang pelaut dan para budak. Para budak di dapat dari daerah kekuasaan Portugis di India yakni Gowa, Malabar, dan Benggali.[1]
Guitara
Setelah kejatuhan Malaka ke tangan Portugis maka berdiamlah di sana Bangsa Portugis beserta para budaknya tersebut. Para budak tersebut tidak hanya berasal dari India saja, karena semenjak kedatangan Portugis ke Ambon mereka juga membawa budak dari sana. Di Ambo-Maluku, Portugis sempat mengobarkan perang dengan Kerajaan Ternate dan Tidore. Hasil dari peperangan tersebut ialah Portugis terusir dari Maluku.
Malaka yang dikuasai Portugis menjadi benteng utama dalam menghadapi Kaum Moor[2] yang juga terdapat di kepulauan ini. Selain untuk menguasai jalur perdagangan rempah-rempah tentunya. Bandar terbesar di Nusantara ini jatuh ke tangan  Portugis pada tahun 1511, setahun lebih awal dari kedatangan mereka ke Indonesia. Di Malaka Portugis sempat membina kehidupan, beberapa peninggalan Bangsa Portugis masih dapat kita saksikan di kota itu hingga kini. Kemungkinan di Malaka inilah seni tradisional rakyat Portugis yang bernama fado tersebar kepada para budak.
Fado merupakan seni tradisional rakyat Portugis. Akar dari kata Fado merujuk ke bahasa Latin: fatum, dapat kita padankan dengan kata fate dalam Bahasa Inggris yang artinya ialah nasib. Karakteristik musik ini ialah irama dan syairnya yang sentimental-melankolis. Menceritakan mengenai lautan, kehidupan masyarakat miskin, ataupun persahabatan. Sebagian ahli berpendapat bahwa musik ini memiliki akar pada peradaban Bangsa Moor di Semenanjung Iberia[3] pada masa silam.
Keadaan yang jauh dari kampung halaman bagi pelaut Portugis dan nasib sebagai budak yang ditahan oleh bangsa asing di negeri asing oleh para budak, telah membuka dan berkembangnya masuknya musik fado yang sentimental-melankolis. Pada perkembangannya musik ini tidak hanya dimainkan oleh Bangsa Portugis akan tetapi juga oleh para budak mereka dari Benggali, Malabar, Goa dan Maluku.
Pada tahun 1648 Belanda merebut Malaka dari Portugis. Banyak tawanan perang yang ditawan beserta para budak mereka dibawa ke Batavia yang pada masa itu merupakan pusat kekuasaan Belanda di Asia Tenggara. Para tawanan ini kemudian ditempatkan oleh Belanda pada suatu kawasan yang bernama Tanah Serani yang kelak bernama Kampung Tugu. Daerah ini berada di tepi laut, udaranya panas, dan sangat jarang ditemukan air asin. Kalaupun ada sumur, kebanyakan airnya asin pula.

Pada tahun 1661 para budak di Tanah Serani dibebaskan oleh Belanda dengan syarat mereka harus berpindah keyakinan dari Katholik yang merupakan agama resmi Bangsa Portugis ke Protestan yang menjadi agama resmi Bangsa Belanda. [4] Di kampung baru mereka, para mantan tawanan perang dan budak Portugis ini menggeluti usaha di bidang pertanian, berburu, dan mencari ikan. Dalam waktu senggang, mereka sering teringat lagi akan nasib dan kampung halaman nun jauh di mata. Lantunan musik fado nan melankolis yang pernah mereka nyanyikan sewaktu di Malaka belumlah hilang dari ingatan. Mereka masih memiliki kepandaian bermusik, karena musik merupakan curahan jiwa, bentuk ekspresi diri akan kehidupan yang mereka jalani. Banyak penyair-nyair zaman lampau maupun zaman sekarang menciptakan musik dengan mengambil insipirasi dari realitas kehidupan yang mereka jalani.
Maka mulailah kembali mereka melantunkan musik fado yang telah menjadi identitas mereka kaum peranakan. Dengan menggunakan alat sederhana seperti rajao,[5] biola, gitar, rebana, cello, dua jenis ukulele yakni cak dan cuk, dan seruling. Musik ini rupanya disenangi oleh banyak orang dan akhirnya berkembang.
Fado, Moresco, & Cafrinho
Fado
Terdapat suatu keanehan yang kami temui dalam mempelajari sejarah musik Keroncong, yakni ditemukannya dua jenis seni musik yang sama-sama berasal dari Portugis yang pertama iala fado, seperti yang kita jelaskan di atas dimana musik fado merupakan suatu seni musik yang berasal dari Bangsa Portugis yang memiliki karakteristik sentimental-melangkolis. Dimana syair-syair dari lagu ini menceritakan mengenai lautan, kehidupan masyarakat miskin, dan persahabatan. Atau pendek kata menceritakan mengenai parasaian hidup.
Sedangkan moresco merupakan suatu seni musik yang diiringi tarian, berasal dari Kejayaan Peradaban Islam di Andalusia.[6] Seni ini juga terdapat di Portugis, karena beberapa Bangsa Moro berkulit hitam yang berasal dari Pantai Utara Afrika masih menetap di negara tersebut. Selain moresco juga dikenal morisca yakni salah satu jenis gitar yang biasa digunakan oleh Bangsa Moor. Yang mana gitar ini berbentuk oval dan memiliki banyak lubang. Hal ini dikarenakan gitar yang mereka pakai merupakan perkembangan dari alat musik sittar yang biasa dipakai oleh Bangsa Arab.
Moresco sendiri merupakan seni musik yang mengiri tarian anggar antara hulubalang Muslim dan Kristen. Pada permulaannya, moresco merupakan seni musik dan tari yang mengisahkan kisah-kisah Perang Salib antara umat Muslim dan Kristen dalam kebudayaan Bangsa Moor. Moresco adaah seni yang bernafaskan Islam sedangkan seni non-Islamik disebut dengan Cafrinho yang berasal dari kata kafir yakni non-Islam. Istilah Cafrinho digunakan untuk menamakan kaum heathen atau kaum creolist Portugis di Goa-India.
Sedangkan dalam perkembangan musik keroncong disebutkan bahwa moresco merupakan bentuk awal dari perkembangan musik ini. Hal ini mungkin saja karena pada rentang waktu 1891-1903 di Surabaya yang merupakan kota pelabuhan terbesar di Hindia Belanda masa itu berdiri sebuah grup keroncong yang bernama KOMEDI STAMBOEL. Grup ini merupakan grup pertunjukan bergaya Istanbul, mereka mengadakan pertunjukan dengan cara berkeliling Hindia Belanda, Singapura, dan Malaysia. Pada umumnya pertunjukan mereka mengisahkan Hikayat 1001 Malam, Opera Eropa maupun cerita rakyat, serta hikayat-hikayat dari Timur Tengah, Persia, atapun India. Pada masa inilah dikenal musik keroncong dengan Stambul I, II, dan III.
Eloklah kiranya kami sertakan petikan dari tulisan Victor Genap yang merupakan Staf Pengajar pada Jurusan Musik Fakultas Pertunjukan ISI Yogyakarta yang dimuat pada situs http://pensa-sb.info/portugis-dan-musik-keroncong/:
Moresco yang bernafaskan keislaman lazimnya dinyanyikan vokalis perempuan dengan nasal voice, karena diharamkan bagi mereka menyanyi dengan membuka mulut di hadapan publik. Nasal voice tidak lazim bagi vokalis Portugis, sehingga mereka menggantikannya dengan suara falsetto yang hanya cocok untuk suara laki-laki namun tidak untuk suara perempuan. Akibatnya vokalis perempuan terdengar berteriak bukan lagi bernyanyi, seperti halnya suara para vokalis perempuan dalam menyanyikan lagu keroncong pada tahun 1920-an di Indonesia. Ternyata kasus yang sama terjadi juga pada fado Portugis yang berasal dari Moresco, seperti lagu Folgadinho berikut ini dengan nada tertinggi pada f#2. Namun yang menarik adalah imitasi nasal voice dari vokalis perempuan Portugis sebagai tuntutan dalam menyanyikan sebuah Moresco menghasilkan warna yang berbeda dengan para sindhen Jawa, karena lebih merupakan sebuah jeritan falsetto dibandingkan dengan vokalis laki-laki yang bebas membuka mulut.
Folgadinho menjadi julukan bagi seseorang yang suka bermalas-malasan. Khususnya bagi orang Moor di Portugal yang gemar bekerja, istilah Folgadinho menjadi sebuah sindiran. Syair lagu Folgadinho bersifat parodial dan responsorial yang selalu diakhiri dengan refrain. Sebagai fado pengiring tarian refrain dinyanyikan tutti chorus sambil bertepuk tangan, sebagai pengganti waditra adufe atau rebana Arab, yang asalnya adalah bunyi kerincing gelang kaki si penari Moor di istana Portugal pada abad ke-12, seperti halnya penari Katakali dari India, atau penari Ngremo gaya Jawa Timuran.

sumber gambar: internet

bersambung ke bagian.2


[1] Dalam setiap literatur mengenai musik keroncong selalu menyebutkan bahwa pada tahun 1512 ini musik keroncong telah masuk ke Indonesia melalui pelaut-pelaut Portugis.
[2] Moor, merupakan sebutan yang disandangkan kepada Umat Islam oleh orang Sepanyol, Portugis & Eropa di Abad Pertengahan. Sebutan ini tidak mengenal bangsa, setiap muslim dari berbagai bangsa di panggil dengan sebutan ini. Adalah orang-orang Melayu di Pulau Mindanao yang pada masa sekarang ini berada di bawah Pemerintahan Filipina. Oleh orang Sepanyol mereka dipanggil dengan panggilan “Bangsa Moor” karena beragama Islam. padahal sebenarnya mereka ini ialah Bangsa Melayu. Sebutan Moor di Filipina kemudian mulai berubah menjadi Moro, dan dengan nama itulah mereka dikenali hingga kini.
[3] Semenanjung Iberia merupakan sebutan untuk daerah yang melingkupi negara Sepanyol dan Portugis sekarang yang dalam Peradaban Islam dikenal dengan nama Andalusia. Kekuasaan Umat Muslim (Bangsa Moor) dimulai dengan penaklukan yang dilakukan oleh Panglima Tarikh bin Ziyad. Kekuasaan umat muslim bertahan semenjak 711 sampai kepada tahun 1492. Orang-orang Kristen menyebut ini dengan sebutan penjajahan sedangkan umat muslim menyebutnya dengan penyelamatan. Hal ini karena kedatangan umat Muslim yang dikomandani Panglima Tarikh bin Ziyad ke Andalusia ketika itu karena di sana sedang berdiri Kerajaan Kartago yang terkenal kejam terhadap rakyatnya. Maka dari itu kedatangan umat Muslim ke sana disambut baik oleh rakyat Andalusia. Selama di Andalusia umat muslim sama sekali tidak pernah melakukan eksploitasi, diskriminasi, atau beragam bentuk penindasan lainnya. Bahkan mereka membangun peradaban yang terbilang sangat maju di sana. Sangat berbeda dengan penjajahan yang dilakukan oleh Bangsa Barat di Timur dimana kekayaan dari negeri yang ditaklukan dibawa sepenuhnya ke Negara Induk sedangkan rakyat di negeri jajahan dibiarkan hidup sengsara.
[4] Disebut juga dengan Kaum Mardijkers.
[5] Rajao merupakan alat musik petik mirip gitar, memiliki lima dawai.
[6] Moresco menjadi hiburan bagi kalangan elit di Portugal. Dipertunjukkan diistana-istana dan dihadapan para pembesar kerajaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sabtu, 21 April 2012

Musik Keroncong_1


Perbauran Beragam Budaya


Biola
Seni Musik merupakan salah satu bentuk kesenian yang hampir dimiliki oleh setiap kebudayaan di dunia. Dengan beragam bentuk dan kekhasannya menjadikan musik sebagai identitas bagi suatu kebudayaan. Corak musik yang dimiliki oleh suatu kebudayaan tentunya berbeda dengan musik yang dimiliki kebudayaan lain. Apakah itu dari segi alat musik ataupun irama langgam lagu yang dimainkan. Pada masa sekarang musik telah menjadi bahasa yang mendunia (universal). Beberapa orang sangat menikmati alunan musik dan lagu dari suatu daerah tertentu, walaupun mereka tidak dapat memahami bahasa yang digunakan oleh si penyanyi.
Indonesia memiliki kekayaan dalam segi suku dan budaya. Dari keragaman budaya ini, patut kiranya kita ambil contoh musik sebagai salah satu bentuk dari keragaman budaya. Tentunya yang kami maksudkan disini ialah musik etnik bukan musik pop. Dalam hal ini kami akan mengambil contoh yang lebih kecil yaitu musik keroncong. Musik ini sangatlah unik karena tidak mencerminkan budaya dari salah satu daerah di Indonesia. Melainkan sebagai bukti dari percampuran dari beberapa budaya yang kemudian melahirkan musik yang khas Indonesia.
Lazimnya di Indonesia, sejarah selalu menuai perdebatan, begitu pulalah kiranya dengan Sejarah Musik Keroncong di Indonesia. Dalam tulisan ini akan dikemukakan salah satu versi dari sejarah kelahiran musik Keroncong. Di akhir tulisan akan coba kami bahas perihal Musik Keroncong di Kota Sawahlunto Sumatera Barat.

Musik Tuan & Para Budak
Portugis merupakan salah satu dari negara-negara Eropa yang merintis perjalanan ke Timur. Pada tahun 1512 di bawah pimpinan Alfonso de Albuquerque Bangsa Portugis mulai menginjakkan kakinya di nusantara. Tujuannya ialah Sumber Daya Alam yang sangat dibutuhkan oleh orang-orang di Eropa ketika itu, yakni rempah-rempah. Alfonso mengomandani beberapa orang pelaut dan para budak. Para budak di dapat dari daerah kekuasaan Portugis di India yakni Gowa, Malabar, dan Benggali.[1]
Guitara
Setelah kejatuhan Malaka ke tangan Portugis maka berdiamlah di sana Bangsa Portugis beserta para budaknya tersebut. Para budak tersebut tidak hanya berasal dari India saja, karena semenjak kedatangan Portugis ke Ambon mereka juga membawa budak dari sana. Di Ambo-Maluku, Portugis sempat mengobarkan perang dengan Kerajaan Ternate dan Tidore. Hasil dari peperangan tersebut ialah Portugis terusir dari Maluku.
Malaka yang dikuasai Portugis menjadi benteng utama dalam menghadapi Kaum Moor[2] yang juga terdapat di kepulauan ini. Selain untuk menguasai jalur perdagangan rempah-rempah tentunya. Bandar terbesar di Nusantara ini jatuh ke tangan  Portugis pada tahun 1511, setahun lebih awal dari kedatangan mereka ke Indonesia. Di Malaka Portugis sempat membina kehidupan, beberapa peninggalan Bangsa Portugis masih dapat kita saksikan di kota itu hingga kini. Kemungkinan di Malaka inilah seni tradisional rakyat Portugis yang bernama fado tersebar kepada para budak.
Fado merupakan seni tradisional rakyat Portugis. Akar dari kata Fado merujuk ke bahasa Latin: fatum, dapat kita padankan dengan kata fate dalam Bahasa Inggris yang artinya ialah nasib. Karakteristik musik ini ialah irama dan syairnya yang sentimental-melankolis. Menceritakan mengenai lautan, kehidupan masyarakat miskin, ataupun persahabatan. Sebagian ahli berpendapat bahwa musik ini memiliki akar pada peradaban Bangsa Moor di Semenanjung Iberia[3] pada masa silam.
Keadaan yang jauh dari kampung halaman bagi pelaut Portugis dan nasib sebagai budak yang ditahan oleh bangsa asing di negeri asing oleh para budak, telah membuka dan berkembangnya masuknya musik fado yang sentimental-melankolis. Pada perkembangannya musik ini tidak hanya dimainkan oleh Bangsa Portugis akan tetapi juga oleh para budak mereka dari Benggali, Malabar, Goa dan Maluku.
Pada tahun 1648 Belanda merebut Malaka dari Portugis. Banyak tawanan perang yang ditawan beserta para budak mereka dibawa ke Batavia yang pada masa itu merupakan pusat kekuasaan Belanda di Asia Tenggara. Para tawanan ini kemudian ditempatkan oleh Belanda pada suatu kawasan yang bernama Tanah Serani yang kelak bernama Kampung Tugu. Daerah ini berada di tepi laut, udaranya panas, dan sangat jarang ditemukan air asin. Kalaupun ada sumur, kebanyakan airnya asin pula.

Pada tahun 1661 para budak di Tanah Serani dibebaskan oleh Belanda dengan syarat mereka harus berpindah keyakinan dari Katholik yang merupakan agama resmi Bangsa Portugis ke Protestan yang menjadi agama resmi Bangsa Belanda. [4] Di kampung baru mereka, para mantan tawanan perang dan budak Portugis ini menggeluti usaha di bidang pertanian, berburu, dan mencari ikan. Dalam waktu senggang, mereka sering teringat lagi akan nasib dan kampung halaman nun jauh di mata. Lantunan musik fado nan melankolis yang pernah mereka nyanyikan sewaktu di Malaka belumlah hilang dari ingatan. Mereka masih memiliki kepandaian bermusik, karena musik merupakan curahan jiwa, bentuk ekspresi diri akan kehidupan yang mereka jalani. Banyak penyair-nyair zaman lampau maupun zaman sekarang menciptakan musik dengan mengambil insipirasi dari realitas kehidupan yang mereka jalani.
Maka mulailah kembali mereka melantunkan musik fado yang telah menjadi identitas mereka kaum peranakan. Dengan menggunakan alat sederhana seperti rajao,[5] biola, gitar, rebana, cello, dua jenis ukulele yakni cak dan cuk, dan seruling. Musik ini rupanya disenangi oleh banyak orang dan akhirnya berkembang.
Fado, Moresco, & Cafrinho
Fado
Terdapat suatu keanehan yang kami temui dalam mempelajari sejarah musik Keroncong, yakni ditemukannya dua jenis seni musik yang sama-sama berasal dari Portugis yang pertama iala fado, seperti yang kita jelaskan di atas dimana musik fado merupakan suatu seni musik yang berasal dari Bangsa Portugis yang memiliki karakteristik sentimental-melangkolis. Dimana syair-syair dari lagu ini menceritakan mengenai lautan, kehidupan masyarakat miskin, dan persahabatan. Atau pendek kata menceritakan mengenai parasaian hidup.
Sedangkan moresco merupakan suatu seni musik yang diiringi tarian, berasal dari Kejayaan Peradaban Islam di Andalusia.[6] Seni ini juga terdapat di Portugis, karena beberapa Bangsa Moro berkulit hitam yang berasal dari Pantai Utara Afrika masih menetap di negara tersebut. Selain moresco juga dikenal morisca yakni salah satu jenis gitar yang biasa digunakan oleh Bangsa Moor. Yang mana gitar ini berbentuk oval dan memiliki banyak lubang. Hal ini dikarenakan gitar yang mereka pakai merupakan perkembangan dari alat musik sittar yang biasa dipakai oleh Bangsa Arab.
Moresco sendiri merupakan seni musik yang mengiri tarian anggar antara hulubalang Muslim dan Kristen. Pada permulaannya, moresco merupakan seni musik dan tari yang mengisahkan kisah-kisah Perang Salib antara umat Muslim dan Kristen dalam kebudayaan Bangsa Moor. Moresco adaah seni yang bernafaskan Islam sedangkan seni non-Islamik disebut dengan Cafrinho yang berasal dari kata kafir yakni non-Islam. Istilah Cafrinho digunakan untuk menamakan kaum heathen atau kaum creolist Portugis di Goa-India.
Sedangkan dalam perkembangan musik keroncong disebutkan bahwa moresco merupakan bentuk awal dari perkembangan musik ini. Hal ini mungkin saja karena pada rentang waktu 1891-1903 di Surabaya yang merupakan kota pelabuhan terbesar di Hindia Belanda masa itu berdiri sebuah grup keroncong yang bernama KOMEDI STAMBOEL. Grup ini merupakan grup pertunjukan bergaya Istanbul, mereka mengadakan pertunjukan dengan cara berkeliling Hindia Belanda, Singapura, dan Malaysia. Pada umumnya pertunjukan mereka mengisahkan Hikayat 1001 Malam, Opera Eropa maupun cerita rakyat, serta hikayat-hikayat dari Timur Tengah, Persia, atapun India. Pada masa inilah dikenal musik keroncong dengan Stambul I, II, dan III.
Eloklah kiranya kami sertakan petikan dari tulisan Victor Genap yang merupakan Staf Pengajar pada Jurusan Musik Fakultas Pertunjukan ISI Yogyakarta yang dimuat pada situs http://pensa-sb.info/portugis-dan-musik-keroncong/:
Moresco yang bernafaskan keislaman lazimnya dinyanyikan vokalis perempuan dengan nasal voice, karena diharamkan bagi mereka menyanyi dengan membuka mulut di hadapan publik. Nasal voice tidak lazim bagi vokalis Portugis, sehingga mereka menggantikannya dengan suara falsetto yang hanya cocok untuk suara laki-laki namun tidak untuk suara perempuan. Akibatnya vokalis perempuan terdengar berteriak bukan lagi bernyanyi, seperti halnya suara para vokalis perempuan dalam menyanyikan lagu keroncong pada tahun 1920-an di Indonesia. Ternyata kasus yang sama terjadi juga pada fado Portugis yang berasal dari Moresco, seperti lagu Folgadinho berikut ini dengan nada tertinggi pada f#2. Namun yang menarik adalah imitasi nasal voice dari vokalis perempuan Portugis sebagai tuntutan dalam menyanyikan sebuah Moresco menghasilkan warna yang berbeda dengan para sindhen Jawa, karena lebih merupakan sebuah jeritan falsetto dibandingkan dengan vokalis laki-laki yang bebas membuka mulut.
Folgadinho menjadi julukan bagi seseorang yang suka bermalas-malasan. Khususnya bagi orang Moor di Portugal yang gemar bekerja, istilah Folgadinho menjadi sebuah sindiran. Syair lagu Folgadinho bersifat parodial dan responsorial yang selalu diakhiri dengan refrain. Sebagai fado pengiring tarian refrain dinyanyikan tutti chorus sambil bertepuk tangan, sebagai pengganti waditra adufe atau rebana Arab, yang asalnya adalah bunyi kerincing gelang kaki si penari Moor di istana Portugal pada abad ke-12, seperti halnya penari Katakali dari India, atau penari Ngremo gaya Jawa Timuran.

sumber gambar: internet

bersambung ke bagian.2


[1] Dalam setiap literatur mengenai musik keroncong selalu menyebutkan bahwa pada tahun 1512 ini musik keroncong telah masuk ke Indonesia melalui pelaut-pelaut Portugis.
[2] Moor, merupakan sebutan yang disandangkan kepada Umat Islam oleh orang Sepanyol, Portugis & Eropa di Abad Pertengahan. Sebutan ini tidak mengenal bangsa, setiap muslim dari berbagai bangsa di panggil dengan sebutan ini. Adalah orang-orang Melayu di Pulau Mindanao yang pada masa sekarang ini berada di bawah Pemerintahan Filipina. Oleh orang Sepanyol mereka dipanggil dengan panggilan “Bangsa Moor” karena beragama Islam. padahal sebenarnya mereka ini ialah Bangsa Melayu. Sebutan Moor di Filipina kemudian mulai berubah menjadi Moro, dan dengan nama itulah mereka dikenali hingga kini.
[3] Semenanjung Iberia merupakan sebutan untuk daerah yang melingkupi negara Sepanyol dan Portugis sekarang yang dalam Peradaban Islam dikenal dengan nama Andalusia. Kekuasaan Umat Muslim (Bangsa Moor) dimulai dengan penaklukan yang dilakukan oleh Panglima Tarikh bin Ziyad. Kekuasaan umat muslim bertahan semenjak 711 sampai kepada tahun 1492. Orang-orang Kristen menyebut ini dengan sebutan penjajahan sedangkan umat muslim menyebutnya dengan penyelamatan. Hal ini karena kedatangan umat Muslim yang dikomandani Panglima Tarikh bin Ziyad ke Andalusia ketika itu karena di sana sedang berdiri Kerajaan Kartago yang terkenal kejam terhadap rakyatnya. Maka dari itu kedatangan umat Muslim ke sana disambut baik oleh rakyat Andalusia. Selama di Andalusia umat muslim sama sekali tidak pernah melakukan eksploitasi, diskriminasi, atau beragam bentuk penindasan lainnya. Bahkan mereka membangun peradaban yang terbilang sangat maju di sana. Sangat berbeda dengan penjajahan yang dilakukan oleh Bangsa Barat di Timur dimana kekayaan dari negeri yang ditaklukan dibawa sepenuhnya ke Negara Induk sedangkan rakyat di negeri jajahan dibiarkan hidup sengsara.
[4] Disebut juga dengan Kaum Mardijkers.
[5] Rajao merupakan alat musik petik mirip gitar, memiliki lima dawai.
[6] Moresco menjadi hiburan bagi kalangan elit di Portugal. Dipertunjukkan diistana-istana dan dihadapan para pembesar kerajaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar