Rabu, 18 April 2012

Budayakan Antri


Sebungkus Pangsit untuk Dinda

Senja hari ketika baru sampai di rumahnya Sutan Sati kena marah oleh isterinya “Kenapa begitu lambatnya tuan pulang, sudah selesai pula orang Shalat Magrib..!” seru isterinya.
“Ah.. dinda janganlah langsung marah macam tu, dengarkan dahulu penjelasan tuan..” jawab Sutan Sati sambil meletakkan bingkisan yang dibawanya pulang di atas meja makan.
Sang isteri hanya diam, merajuk sambil memangku anaknya yang masih 14 bulan umurnya. Sang anak yang tak paham apa yang tengah terjadi merentangkan tangannya minta dipangku oleh sang ayah. Sambl tersenyum manis dia berucap pada Sang Buah Hati “Sabar dahulu upiak, ayah  hendak mengambil wudhu…”
Kesalnya hati Siti Syarifah mendengar jawab suaminya “Ya.. Allah tuan.. Dinda sangka tuan Shalat Magrib di jalan tadi..” ujar sang isteri gemas.
Sutan Sati telah berlalu ke kamar mandi. Dia diam saja mendengar seruan isterinya, sebab dia pernah mendengar seorang buya memberikan pengajian di surau yang mengatakan bahwa di Sunnahkan bagi seorang muslim untuk diam tak berbicara selama mengambil wudhu. Sebab sudah selayaknya bagi seorang muslim ketika berwudhu dia khusyuk serupa mengerjakan shalat. Merenungkan setiap langkah-langkah dalam wudhu. Seperti membasuk kedua tangan, renungkanlah sudah berapa kesalahan yang telah dilakukan sang tangan semenjak Ashar tadi. Membasuh hidung, sudah berapa penciuman tak berguna yang dilakukan si hidung. Membasuh wajah, sudah berapa kali wajah ini dihadapkan ke selain Allah dan melakukan kemungkaran, begitu juga dengan anggota wudhu yang lain.
Sang isteri yang juga memahami perkara tersebut diam, bersabar menunggu kemunculan suaminya dari kamar mandi. Ketika keluar dari kamar mandi, Sutan Sati tersenyum manis kepada kedua orang yang teramat dicintai dalam hidupnya ini. Berdo’a semoga senyumannya ini dapat melunakkan hati sang Isteri.
“Sabar ya dinda, tuan selesaikanlah dahulu menunaikan kewajiban yang telah tuan lalaikan ini. Amat berat pertanggung-jawabannya nanti..” kata Sutan Sati kepada isterinya.
Isterinya diam, beranjak ke meja makan hendak membuka bungkusan yang dibawa suaminya. Dalam bungkusan tersebut terdapat satu bungkus Mie Ayam atau biasa juga disebut dengan Pangsit. Dia teringat kala tadi pagi dia berpesan kepada suaminya supaya dibelikan Pangsit pabila pulang kantor nanti. Siti Syarifah hanya tersenyum dalam hati, tak patut memang dia langsung marah kepada suaminya. Dia juga tahu kalau suaminya bukanlah orang yang suka malala[1] sepulang kerja.

Sutan Sati hanya tersenyum ketika mendapati Pangsit yang dibawanya pulang telah tersaji dengan manis di dalam sebuah mangkok. Sambil mengambil Si Upiak dari pangkuan isterinya dia berujar “Dinda kan sudah tuan telfon kalau tadi sepulang kantor hari hujan lebat. Dan lagipula ada beberapa pekerjaan yang kebetulan belum terselesaikan. Jadi tuan kerjakan saja daripada menghabiskan waktu tak berguna menunggu hujan teduh. Sayangnya tuan lupa waktu, jadi baru pukul enam lewat seperempat tuan berangkat dari kantor, ketika itu hujan masih rinai. Ketika tuan lewat pasar, tuan ingat kalau tadi pagi dinda minta dibelikan pangsit. Maka singgahlah dahulu tuan di pasar.”
Siti Syarifah hanya diam, Sutan Sati tahu kalau isterinya sedang sibuk di dapur menyiapkan makan malam untuk dirinya. Si Upik, sudah tak sabar hendak mengambil makanan yang ada dalam mangkok ibunya. Mencoba meraih sendok dan garpu, namun dengan halus ditepis oleh Sutan Sati.
“Di tempat orang menjual pangsit, rupanya sudah ada dua orang yang menunggu pesanan. Ketika tuan sampai, rupanya si tukang pangsit yang saat itu hanya bertugas satu orang sedang menyiapkan pesanan untuk dua orang pemesan tersebut. Bersama tuan sudah ada satu orang yang datang lebih dahulu, dia memesan tiga bungkus, dinda. Kemudian bersamaan dengan tuan datang pula satu orang bersama kawannya. Dia memesan satu bungkus. Jadilah lima bungkus pesanan disiapkan oleh Si Tukang Pangsit”
“Lama juga tuan berdiri menanti pesanan untuk dinda. Setelah selesai, tukang pangsit memasukkan masing-masing pesanan ke dalam asoy.[2] Tiga diberikannya ke pemesan sebelum tuan, satu diberikannya ke pemesan yang beriringan dengan tuan, dan ketika dia hendak memberikan pesanan untuk tuan, orang yang beriringan datangnya dengan tuan meminta lado untuk pangsitnya. Kemudian dia urung memberikan kepada tuan, mengambilkan lado dulu untuk lima bungkus pesanan yang dibuatnya. Nah ketika dia sedang sibuk mengambilkan lado, orang yang seiring dengan tuan tadi mengambil bungkusan yang untuk tuan, bungkusan itu masih terletak di atas gerobak pembuat pangsit. Tuan terkejut dan hanya dapat diam. Sebab pabila orang semacam ini kita lawan dia pasti marah, tak ada guna melawan orang yang tak bersekolah macam ini kan dinda..?” tanya Sutan Sati kepada isterinya.
Syarifah sudah selesai rupanya menyiapkan makanan untuk suaminya. Sekarang sedang duduk didekat suaminya, mengambilkan nasi ke pinggan buat sang suami. Si Upik pun sibuk mencoba meraih-raih pinggan dalam genggaman ibunya. Sutan Sati kembali menepis dengan halus, Si Upik cemberut dan menatap ke ayahnya sambil bercakap tak jelas. Sutan Sati hanya tersenyum dan menciumi Si Buah Hati.
Sutan Satipun melanjutkan penjelasannya “Ketika Si Tukang Pangsit selesai mengambil lado, lalu dia memberikan kepada tuan lado tersebut. Tuan hanya diam dan tersenyum menatap dirinya. Orang yang memesan tiga bungkus pangsit tadi mengatakan kalau pesanan untuk tuan sudah diambil oleh orang yang satunya untuk kawannya. Si Tukang Pangsitpun protes kepada pembelinya tersebut. Lalu tuan katakan padanya “Tak apa kok mas..” lalu dengan agak kesal kepada orang tadi diapun menerima pembayaran.”
“Nah bersamaan dengan diambilkannya pesanan tuan ini ada pula ibu-ibu yang memesan lima bungkus pangsit. Terbayangkan oleh dinda sudah berapa lama tuan tegak berdiri menunggu pesanan. Sudah semenjak tadi orang abang[3] di surau terdengar oleh tuan. Galau juga hati ini dibuatnya, tapi apa hendak dikata dinda. Dinda tentu paham keadaan tuan..?” jelas Sutan Sati kepada isterinya.
Sambil meraih Si Upik dari pangkuan suaminya, Syarifahpun berujar kepada suaminya “Makanlah tuan, nanti dingin pula nasi tuan. Tak lamak nanti makan tuan dibuatnya’
Sutan Satipun tersenyum “Dinda makan pulalah pangsit itu, nanti kalau dingin tak lamak pula makan dinda dibuatnya” balas Sutan Sati kepada isterinya.
Sambil tersenyum isterinya menjawab manja “Walaupun dingin, pangsit inipun akan tetap nikmat terasa dilidah dinda tuan. Sebab tuan membelinya dengan kasih untuk dinda..”
Berdua mereka tersenyum dimeja makan, tertawa riang dan bersyukur bahwa mereka telah memiliki orang yang sangat mencintai dan dicintai. Sangat banyak orang-orang zaman sekarang yang masih belum beruntung, hingga kini belum menemukan belahan jiwa mereka.
Hikmah:
  1. Selidiki dahulu sebelum memberi penilaian.
  2. Sabar dan mengalah lebih baik karena bukti kehalusan jiwa.
  3. Sikap mementingkan diri sendiri merupakan kelaziman pada masa sekarang. Jadi marilah kita hindari perkara tersebut.
  4. Bersikap teraturlah, pabila ramai orang berbelanja maka antrilah. Kebanyakan orang sekarang lebih suka mementingkan diri sendiri.
  5. Berusahalah menghadapi segala sesuatu dengan hati lapang dan tutur kata yang halus. Usahakan diri kita tetap terkendali.


sumber gambar: internet

juga telah dimuat di: www.soeloehmelajoe.wordpress.com


[1] Main-main atau jalan-jalan sambil kumpul-kumpul dengan kawan-kawan.
[2]Kantong Plastik
[3] Adzan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rabu, 18 April 2012

Budayakan Antri


Sebungkus Pangsit untuk Dinda

Senja hari ketika baru sampai di rumahnya Sutan Sati kena marah oleh isterinya “Kenapa begitu lambatnya tuan pulang, sudah selesai pula orang Shalat Magrib..!” seru isterinya.
“Ah.. dinda janganlah langsung marah macam tu, dengarkan dahulu penjelasan tuan..” jawab Sutan Sati sambil meletakkan bingkisan yang dibawanya pulang di atas meja makan.
Sang isteri hanya diam, merajuk sambil memangku anaknya yang masih 14 bulan umurnya. Sang anak yang tak paham apa yang tengah terjadi merentangkan tangannya minta dipangku oleh sang ayah. Sambl tersenyum manis dia berucap pada Sang Buah Hati “Sabar dahulu upiak, ayah  hendak mengambil wudhu…”
Kesalnya hati Siti Syarifah mendengar jawab suaminya “Ya.. Allah tuan.. Dinda sangka tuan Shalat Magrib di jalan tadi..” ujar sang isteri gemas.
Sutan Sati telah berlalu ke kamar mandi. Dia diam saja mendengar seruan isterinya, sebab dia pernah mendengar seorang buya memberikan pengajian di surau yang mengatakan bahwa di Sunnahkan bagi seorang muslim untuk diam tak berbicara selama mengambil wudhu. Sebab sudah selayaknya bagi seorang muslim ketika berwudhu dia khusyuk serupa mengerjakan shalat. Merenungkan setiap langkah-langkah dalam wudhu. Seperti membasuk kedua tangan, renungkanlah sudah berapa kesalahan yang telah dilakukan sang tangan semenjak Ashar tadi. Membasuh hidung, sudah berapa penciuman tak berguna yang dilakukan si hidung. Membasuh wajah, sudah berapa kali wajah ini dihadapkan ke selain Allah dan melakukan kemungkaran, begitu juga dengan anggota wudhu yang lain.
Sang isteri yang juga memahami perkara tersebut diam, bersabar menunggu kemunculan suaminya dari kamar mandi. Ketika keluar dari kamar mandi, Sutan Sati tersenyum manis kepada kedua orang yang teramat dicintai dalam hidupnya ini. Berdo’a semoga senyumannya ini dapat melunakkan hati sang Isteri.
“Sabar ya dinda, tuan selesaikanlah dahulu menunaikan kewajiban yang telah tuan lalaikan ini. Amat berat pertanggung-jawabannya nanti..” kata Sutan Sati kepada isterinya.
Isterinya diam, beranjak ke meja makan hendak membuka bungkusan yang dibawa suaminya. Dalam bungkusan tersebut terdapat satu bungkus Mie Ayam atau biasa juga disebut dengan Pangsit. Dia teringat kala tadi pagi dia berpesan kepada suaminya supaya dibelikan Pangsit pabila pulang kantor nanti. Siti Syarifah hanya tersenyum dalam hati, tak patut memang dia langsung marah kepada suaminya. Dia juga tahu kalau suaminya bukanlah orang yang suka malala[1] sepulang kerja.

Sutan Sati hanya tersenyum ketika mendapati Pangsit yang dibawanya pulang telah tersaji dengan manis di dalam sebuah mangkok. Sambil mengambil Si Upiak dari pangkuan isterinya dia berujar “Dinda kan sudah tuan telfon kalau tadi sepulang kantor hari hujan lebat. Dan lagipula ada beberapa pekerjaan yang kebetulan belum terselesaikan. Jadi tuan kerjakan saja daripada menghabiskan waktu tak berguna menunggu hujan teduh. Sayangnya tuan lupa waktu, jadi baru pukul enam lewat seperempat tuan berangkat dari kantor, ketika itu hujan masih rinai. Ketika tuan lewat pasar, tuan ingat kalau tadi pagi dinda minta dibelikan pangsit. Maka singgahlah dahulu tuan di pasar.”
Siti Syarifah hanya diam, Sutan Sati tahu kalau isterinya sedang sibuk di dapur menyiapkan makan malam untuk dirinya. Si Upik, sudah tak sabar hendak mengambil makanan yang ada dalam mangkok ibunya. Mencoba meraih sendok dan garpu, namun dengan halus ditepis oleh Sutan Sati.
“Di tempat orang menjual pangsit, rupanya sudah ada dua orang yang menunggu pesanan. Ketika tuan sampai, rupanya si tukang pangsit yang saat itu hanya bertugas satu orang sedang menyiapkan pesanan untuk dua orang pemesan tersebut. Bersama tuan sudah ada satu orang yang datang lebih dahulu, dia memesan tiga bungkus, dinda. Kemudian bersamaan dengan tuan datang pula satu orang bersama kawannya. Dia memesan satu bungkus. Jadilah lima bungkus pesanan disiapkan oleh Si Tukang Pangsit”
“Lama juga tuan berdiri menanti pesanan untuk dinda. Setelah selesai, tukang pangsit memasukkan masing-masing pesanan ke dalam asoy.[2] Tiga diberikannya ke pemesan sebelum tuan, satu diberikannya ke pemesan yang beriringan dengan tuan, dan ketika dia hendak memberikan pesanan untuk tuan, orang yang beriringan datangnya dengan tuan meminta lado untuk pangsitnya. Kemudian dia urung memberikan kepada tuan, mengambilkan lado dulu untuk lima bungkus pesanan yang dibuatnya. Nah ketika dia sedang sibuk mengambilkan lado, orang yang seiring dengan tuan tadi mengambil bungkusan yang untuk tuan, bungkusan itu masih terletak di atas gerobak pembuat pangsit. Tuan terkejut dan hanya dapat diam. Sebab pabila orang semacam ini kita lawan dia pasti marah, tak ada guna melawan orang yang tak bersekolah macam ini kan dinda..?” tanya Sutan Sati kepada isterinya.
Syarifah sudah selesai rupanya menyiapkan makanan untuk suaminya. Sekarang sedang duduk didekat suaminya, mengambilkan nasi ke pinggan buat sang suami. Si Upik pun sibuk mencoba meraih-raih pinggan dalam genggaman ibunya. Sutan Sati kembali menepis dengan halus, Si Upik cemberut dan menatap ke ayahnya sambil bercakap tak jelas. Sutan Sati hanya tersenyum dan menciumi Si Buah Hati.
Sutan Satipun melanjutkan penjelasannya “Ketika Si Tukang Pangsit selesai mengambil lado, lalu dia memberikan kepada tuan lado tersebut. Tuan hanya diam dan tersenyum menatap dirinya. Orang yang memesan tiga bungkus pangsit tadi mengatakan kalau pesanan untuk tuan sudah diambil oleh orang yang satunya untuk kawannya. Si Tukang Pangsitpun protes kepada pembelinya tersebut. Lalu tuan katakan padanya “Tak apa kok mas..” lalu dengan agak kesal kepada orang tadi diapun menerima pembayaran.”
“Nah bersamaan dengan diambilkannya pesanan tuan ini ada pula ibu-ibu yang memesan lima bungkus pangsit. Terbayangkan oleh dinda sudah berapa lama tuan tegak berdiri menunggu pesanan. Sudah semenjak tadi orang abang[3] di surau terdengar oleh tuan. Galau juga hati ini dibuatnya, tapi apa hendak dikata dinda. Dinda tentu paham keadaan tuan..?” jelas Sutan Sati kepada isterinya.
Sambil meraih Si Upik dari pangkuan suaminya, Syarifahpun berujar kepada suaminya “Makanlah tuan, nanti dingin pula nasi tuan. Tak lamak nanti makan tuan dibuatnya’
Sutan Satipun tersenyum “Dinda makan pulalah pangsit itu, nanti kalau dingin tak lamak pula makan dinda dibuatnya” balas Sutan Sati kepada isterinya.
Sambil tersenyum isterinya menjawab manja “Walaupun dingin, pangsit inipun akan tetap nikmat terasa dilidah dinda tuan. Sebab tuan membelinya dengan kasih untuk dinda..”
Berdua mereka tersenyum dimeja makan, tertawa riang dan bersyukur bahwa mereka telah memiliki orang yang sangat mencintai dan dicintai. Sangat banyak orang-orang zaman sekarang yang masih belum beruntung, hingga kini belum menemukan belahan jiwa mereka.
Hikmah:
  1. Selidiki dahulu sebelum memberi penilaian.
  2. Sabar dan mengalah lebih baik karena bukti kehalusan jiwa.
  3. Sikap mementingkan diri sendiri merupakan kelaziman pada masa sekarang. Jadi marilah kita hindari perkara tersebut.
  4. Bersikap teraturlah, pabila ramai orang berbelanja maka antrilah. Kebanyakan orang sekarang lebih suka mementingkan diri sendiri.
  5. Berusahalah menghadapi segala sesuatu dengan hati lapang dan tutur kata yang halus. Usahakan diri kita tetap terkendali.


sumber gambar: internet

juga telah dimuat di: www.soeloehmelajoe.wordpress.com


[1] Main-main atau jalan-jalan sambil kumpul-kumpul dengan kawan-kawan.
[2]Kantong Plastik
[3] Adzan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar