Sebungkus Pangsit
untuk Dinda
Senja hari ketika baru
sampai di rumahnya Sutan Sati kena marah oleh isterinya “Kenapa begitu
lambatnya tuan pulang, sudah selesai pula orang Shalat Magrib..!” seru
isterinya.
“Ah.. dinda janganlah
langsung marah macam tu, dengarkan dahulu penjelasan tuan..” jawab Sutan Sati
sambil meletakkan bingkisan yang dibawanya pulang di atas meja makan.
Sang isteri hanya diam,
merajuk sambil memangku anaknya yang masih 14 bulan umurnya. Sang anak yang tak
paham apa yang tengah terjadi merentangkan tangannya minta dipangku oleh sang
ayah. Sambl tersenyum manis dia berucap pada Sang Buah Hati “Sabar dahulu upiak, ayah hendak mengambil wudhu…”
Kesalnya hati Siti
Syarifah mendengar jawab suaminya “Ya.. Allah tuan.. Dinda sangka tuan Shalat Magrib
di jalan tadi..” ujar sang isteri gemas.
Sutan Sati telah berlalu
ke kamar mandi. Dia diam saja mendengar seruan isterinya, sebab dia pernah
mendengar seorang buya memberikan
pengajian di surau yang mengatakan bahwa di Sunnahkan bagi seorang muslim untuk
diam tak berbicara selama mengambil wudhu. Sebab sudah selayaknya bagi seorang
muslim ketika berwudhu dia khusyuk serupa mengerjakan shalat. Merenungkan
setiap langkah-langkah dalam wudhu. Seperti membasuk kedua tangan, renungkanlah
sudah berapa kesalahan yang telah dilakukan sang tangan semenjak Ashar tadi.
Membasuh hidung, sudah berapa penciuman tak berguna yang dilakukan si hidung.
Membasuh wajah, sudah berapa kali wajah ini dihadapkan ke selain Allah dan
melakukan kemungkaran, begitu juga dengan anggota wudhu yang lain.
Sang isteri yang juga
memahami perkara tersebut diam, bersabar menunggu kemunculan suaminya dari
kamar mandi. Ketika keluar dari kamar mandi, Sutan Sati tersenyum manis kepada
kedua orang yang teramat dicintai dalam hidupnya ini. Berdo’a semoga
senyumannya ini dapat melunakkan hati sang Isteri.
“Sabar ya dinda, tuan
selesaikanlah dahulu menunaikan kewajiban yang telah tuan lalaikan ini. Amat
berat pertanggung-jawabannya nanti..” kata Sutan Sati kepada isterinya.
Isterinya diam, beranjak
ke meja makan hendak membuka bungkusan yang dibawa suaminya. Dalam bungkusan
tersebut terdapat satu bungkus Mie Ayam atau biasa juga disebut dengan Pangsit.
Dia teringat kala tadi pagi dia berpesan kepada suaminya supaya dibelikan
Pangsit pabila pulang kantor nanti. Siti Syarifah hanya tersenyum dalam hati,
tak patut memang dia langsung marah kepada suaminya. Dia juga tahu kalau
suaminya bukanlah orang yang suka malala[1]
sepulang kerja.
Sutan Sati hanya tersenyum
ketika mendapati Pangsit yang dibawanya pulang telah tersaji dengan manis di
dalam sebuah mangkok. Sambil mengambil Si Upiak dari pangkuan isterinya dia
berujar “Dinda kan sudah tuan telfon kalau tadi sepulang kantor hari hujan
lebat. Dan lagipula ada beberapa pekerjaan yang kebetulan belum terselesaikan.
Jadi tuan kerjakan saja daripada menghabiskan waktu tak berguna menunggu hujan
teduh. Sayangnya tuan lupa waktu, jadi baru pukul enam lewat seperempat tuan
berangkat dari kantor, ketika itu hujan masih rinai. Ketika tuan lewat pasar,
tuan ingat kalau tadi pagi dinda minta dibelikan pangsit. Maka singgahlah
dahulu tuan di pasar.”
Siti Syarifah hanya diam,
Sutan Sati tahu kalau isterinya sedang sibuk di dapur menyiapkan makan malam
untuk dirinya. Si Upik, sudah tak sabar hendak mengambil makanan yang ada dalam
mangkok ibunya. Mencoba meraih sendok dan garpu, namun dengan halus ditepis
oleh Sutan Sati.
“Di tempat orang menjual
pangsit, rupanya sudah ada dua orang yang menunggu pesanan. Ketika tuan sampai,
rupanya si tukang pangsit yang saat itu hanya bertugas satu orang sedang
menyiapkan pesanan untuk dua orang pemesan tersebut. Bersama tuan sudah ada
satu orang yang datang lebih dahulu, dia memesan tiga bungkus, dinda. Kemudian
bersamaan dengan tuan datang pula satu orang bersama kawannya. Dia memesan satu
bungkus. Jadilah lima bungkus pesanan disiapkan oleh Si Tukang Pangsit”
“Lama juga tuan berdiri
menanti pesanan untuk dinda. Setelah selesai, tukang pangsit memasukkan
masing-masing pesanan ke dalam asoy.[2]
Tiga diberikannya ke pemesan sebelum tuan, satu diberikannya ke pemesan
yang beriringan dengan tuan, dan ketika dia hendak memberikan pesanan untuk
tuan, orang yang beriringan datangnya dengan tuan meminta lado untuk pangsitnya. Kemudian dia urung memberikan kepada tuan,
mengambilkan lado dulu untuk lima bungkus pesanan yang dibuatnya. Nah ketika
dia sedang sibuk mengambilkan lado, orang yang seiring dengan tuan tadi
mengambil bungkusan yang untuk tuan, bungkusan itu masih terletak di atas
gerobak pembuat pangsit. Tuan terkejut dan hanya dapat diam. Sebab pabila orang
semacam ini kita lawan dia pasti marah, tak ada guna melawan orang yang tak
bersekolah macam ini kan dinda..?” tanya Sutan Sati kepada isterinya.
Syarifah sudah selesai
rupanya menyiapkan makanan untuk suaminya. Sekarang sedang duduk didekat
suaminya, mengambilkan nasi ke pinggan buat
sang suami. Si Upik pun sibuk mencoba meraih-raih pinggan dalam genggaman ibunya. Sutan Sati kembali menepis dengan
halus, Si Upik cemberut dan menatap ke ayahnya sambil bercakap tak jelas. Sutan
Sati hanya tersenyum dan menciumi Si Buah Hati.
Sutan Satipun melanjutkan
penjelasannya “Ketika Si Tukang Pangsit selesai mengambil lado, lalu dia
memberikan kepada tuan lado tersebut. Tuan hanya diam dan tersenyum menatap
dirinya. Orang yang memesan tiga bungkus pangsit tadi mengatakan kalau pesanan
untuk tuan sudah diambil oleh orang yang satunya untuk kawannya. Si Tukang
Pangsitpun protes kepada pembelinya tersebut. Lalu tuan katakan padanya “Tak
apa kok mas..” lalu dengan agak kesal kepada orang tadi diapun menerima
pembayaran.”
“Nah bersamaan dengan
diambilkannya pesanan tuan ini ada pula ibu-ibu yang memesan lima bungkus
pangsit. Terbayangkan oleh dinda sudah berapa lama tuan tegak berdiri menunggu
pesanan. Sudah semenjak tadi orang abang[3]
di surau terdengar oleh tuan. Galau juga hati ini dibuatnya, tapi apa hendak
dikata dinda. Dinda tentu paham keadaan tuan..?” jelas Sutan Sati kepada
isterinya.
Sambil meraih Si Upik dari
pangkuan suaminya, Syarifahpun berujar kepada suaminya “Makanlah tuan, nanti
dingin pula nasi tuan. Tak lamak
nanti makan tuan dibuatnya’
Sutan Satipun tersenyum
“Dinda makan pulalah pangsit itu, nanti kalau dingin tak lamak pula makan dinda dibuatnya” balas Sutan Sati kepada
isterinya.
Sambil tersenyum isterinya
menjawab manja “Walaupun dingin, pangsit inipun akan tetap nikmat terasa
dilidah dinda tuan. Sebab tuan membelinya dengan kasih untuk dinda..”
Berdua mereka tersenyum
dimeja makan, tertawa riang dan bersyukur bahwa mereka telah memiliki orang
yang sangat mencintai dan dicintai. Sangat banyak orang-orang zaman sekarang yang
masih belum beruntung, hingga kini belum menemukan belahan jiwa mereka.
Hikmah:
- Selidiki dahulu sebelum memberi penilaian.
- Sabar dan mengalah lebih baik karena bukti kehalusan jiwa.
- Sikap mementingkan diri sendiri merupakan kelaziman pada masa sekarang. Jadi marilah kita hindari perkara tersebut.
- Bersikap teraturlah, pabila ramai orang berbelanja maka antrilah. Kebanyakan orang sekarang lebih suka mementingkan diri sendiri.
- Berusahalah menghadapi segala sesuatu dengan hati lapang dan tutur kata yang halus. Usahakan diri kita tetap terkendali.
sumber gambar: internet
juga telah dimuat di: www.soeloehmelajoe.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar