Pabila Harta & Tahta Bicara
Entah kami yang tak punya pekerjaan atau memang semua
orang yang larut dalam pemberitaan oleh media. Ketika pertama kali menyaksikan khabar perihal pemilihan
kepala daerah di Jakarta kami merasakan ada yang janggal. Perasaan yang
menganjal itu ialah perasaan yang timbul akibat keanehan yang dirasa pada
Pilkada kali ini di Jakarta. Dari beberapa pasang calon kepala daerah beberapa
diantaranya masih menjabat sebagai
kepala daerah di daerah lain, apakah itu gubernur ataupun walikota.
Apa gerangan yang tengah berlaku duhai tuan? Ada apa
ini? Semua media yang mengabarkan berita ini terkesan mewajarkan keadaan yang
tengah terjadi. Tidak ada yang memandang aneh, wajarkah menurut tuan perkara
yang tengah berlaku ini?
Kenapa perkara ini dapat terjadi duhai tuan? Lama aku
tercenung berfikir akan jawaban dari pertanyaan ku tersebut. Akupun mulai
mengurutkan satu-persatu, walaupun hanya sekedar kira-kira sesuai pengetahuan
ku yang terbatas akan dunia politik yang katanya kotor.
Pertama karena Jakarta Kota Terbesar di Indonesia,
perputaran uang (potensi ekonominya) merupakan yang terbesar di negara ini.
Permasalahan yang dihadapinyapun sangatlah rumit (kompleks), serta kekuasaan
yang mengiringinyapun sangatlah besar. Maka sering muncul semacam pameo dikalangan khalayak bahwa Gubernur
Jakarta sama kiranya dengan “RI 3”.
Kedua ialah keadaan masyarakat Kota Jakarta yang
beragam, dari latar belakang budaya dan agama sehingga memungkinkan orang-orang
dari kalangan mana saja untuk menjadi pemimpin di kota ini. Syarat wajib yang
harus dimiliki tentunya dukungan Partai Politik. Itulah tampaknya akibat dari
negara demokrasi yang dikuasai oleh Partai Politik.
Ketiga ialah Jakarta dengan segala permasalahannya
merupakan pusat dari beragam aktivitas seperti aktivitas politik dimana di kota
inilah kepala negara, para menteri, lembaga dan badan tinggi negara berkantor.
Di kota ini pulalah bertempat kantor pusat dari partai politik dan organisasi
massa lainnya. Kota ini juga bertempat kantor-kantor dari perusahaan besar yang
melakukan bisnis (atau eksploitasinya) di Indonesia. Kota ini juga menjadi
pusat kriminal dan beragam tindak kejahatan lainnya. Pendek kata, Jakarta
merupakan kota gado-gado dimana segala rasa berpadu, hidup berdampingan,
terlepas apakah mereka suka atau tidak. Kota ini memiliki hukum sendiri, hukum
yang tidak dipahami oleh masyarakat lainnya.
Sebenarnya masih banya penyebab lainnya, namun tak
elok jika semuanya dipaparkan pada khalayak. Tuan tentu menertawakan ku,
kenapa? Karena saya terkesan oleh tuan membuat-buat alasan, begitukan tuan?
Saya hanya mengamalkan petuah orang tua-tua di kampung “Fikirkan apa yang hendak kamu katakan, tetapi jangan kamu katakan apa
yang sedang terfikirkan” begitulah tuan adat di Negeri Minang, adat yang
telah banyak ditinggalkan oleh orang Minang zaman sekarang.
Melihat keadaan yang berlaku di Jakarta pada saat
sekarang, ingatan saya kembali ke masa-masa kuliah di Jurusan Sejarah dahulu.
Ketika sedang mengikuti salah satu kuliah-entah matakuliah Sejarah Politik,
entah Etnografi Minangkabau- dosen saya berujar “Yang paling hebat itu dalam mengatur daerah jajahannya ialah Inggris,
tuan-tuan tau kenapa?” tanya dosen saya.
“Karena orang
Inggris punya salah satu kebijakan yakni menyaratkan kepada calon Gubernur di daerah
jajahan untuk tinggal minimal 10 tahun di daerah yang akan dipimpinnya.
Sedangkan orang Belanda hanya menyaratkan 5 tahun saja.” Beliaupun
melanjutkan “Tahukah tuan-tuan apa
gerangan penyebabnya? Taklain, tak bukan ialah supaya para gubernur tersebut
memahami terlebih dahulu daerah beserta rakyat yang akan dipimpinnya. Supaya
dia tidak salah membuat kebijakan, yang berakibat muncul kerusuhan dalam negeri
melakukan penentangan terhadap dirinya..”
Bagaimana menurut pendapat tuan? Gawat bukan jikalau uang dan kekuasaan yang berperan dalam kehidupan. Hilanglah raso jo pareso, dikarenakan dua perkara tersebut. Belum
terlambat tuan, kata Saidina Ali, “kita
belajar dari pengalaman orang lain dan pengalaman diri kita”. Kalau
pendapat Nabi kita “Barang siapa sama
hari ini dengan hari kemarin, maka sesungguhnya dia merupakan orang yang merugi”
atau seperti kata orang bijka “Hanya
keledai dungu yang terperosok ke lubang yang sama untuk kali kedua”
Alam takambang
jadi guru duhai Tuan...
Janganlah kejadian serupa ini sampai pula ke Negeri
Minang yang Bertuah ini, jangan sampai hendaknya Sumatera Barat menjadi
propinsi kaya. jangan sampai duhai Tuan yang Mulia, marilah kita sama-sama
menjaganya..
sumber gambar: internet
Tidak ada komentar:
Posting Komentar