Senin, 26 Maret 2012


Pabila Harta & Tahta Bicara

Entah kami yang tak punya pekerjaan atau memang semua orang yang larut dalam pemberitaan oleh media. Ketika pertama  kali menyaksikan khabar perihal pemilihan kepala daerah di Jakarta kami merasakan ada yang janggal. Perasaan yang menganjal itu ialah perasaan yang timbul akibat keanehan yang dirasa pada Pilkada kali ini di Jakarta. Dari beberapa pasang calon kepala daerah beberapa diantaranya  masih menjabat sebagai kepala daerah di daerah lain, apakah itu gubernur ataupun walikota.
Apa gerangan yang tengah berlaku duhai tuan? Ada apa ini? Semua media yang mengabarkan berita ini terkesan mewajarkan keadaan yang tengah terjadi. Tidak ada yang memandang aneh, wajarkah menurut tuan perkara yang tengah berlaku ini?
Kenapa perkara ini dapat terjadi duhai tuan? Lama aku tercenung berfikir akan jawaban dari pertanyaan ku tersebut. Akupun mulai mengurutkan satu-persatu, walaupun hanya sekedar kira-kira sesuai pengetahuan ku yang terbatas akan dunia politik yang katanya kotor.
Pertama karena Jakarta Kota Terbesar di Indonesia, perputaran uang (potensi ekonominya) merupakan yang terbesar di negara ini. Permasalahan yang dihadapinyapun sangatlah rumit (kompleks), serta kekuasaan yang mengiringinyapun sangatlah besar. Maka sering muncul semacam pameo dikalangan khalayak bahwa Gubernur Jakarta sama kiranya dengan “RI 3”.
Kedua ialah keadaan masyarakat Kota Jakarta yang beragam, dari latar belakang budaya dan agama sehingga memungkinkan orang-orang dari kalangan mana saja untuk menjadi pemimpin di kota ini. Syarat wajib yang harus dimiliki tentunya dukungan Partai Politik. Itulah tampaknya akibat dari negara demokrasi yang dikuasai oleh Partai Politik.
Ketiga ialah Jakarta dengan segala permasalahannya merupakan pusat dari beragam aktivitas seperti aktivitas politik dimana di kota inilah kepala negara, para menteri, lembaga dan badan tinggi negara berkantor. Di kota ini pulalah bertempat kantor pusat dari partai politik dan organisasi massa lainnya. Kota ini juga bertempat kantor-kantor dari perusahaan besar yang melakukan bisnis (atau eksploitasinya) di Indonesia. Kota ini juga menjadi pusat kriminal dan beragam tindak kejahatan lainnya. Pendek kata, Jakarta merupakan kota gado-gado dimana segala rasa berpadu, hidup berdampingan, terlepas apakah mereka suka atau tidak. Kota ini memiliki hukum sendiri, hukum yang tidak dipahami oleh masyarakat lainnya.

Sebenarnya masih banya penyebab lainnya, namun tak elok jika semuanya dipaparkan pada khalayak. Tuan tentu menertawakan ku, kenapa? Karena saya terkesan oleh tuan membuat-buat alasan, begitukan tuan? Saya hanya mengamalkan petuah orang tua-tua di kampung “Fikirkan apa yang hendak kamu katakan, tetapi jangan kamu katakan apa yang sedang terfikirkan” begitulah tuan adat di Negeri Minang, adat yang telah banyak ditinggalkan oleh orang Minang zaman sekarang.
Melihat keadaan yang berlaku di Jakarta pada saat sekarang, ingatan saya kembali ke masa-masa kuliah di Jurusan Sejarah dahulu. Ketika sedang mengikuti salah satu kuliah-entah matakuliah Sejarah Politik, entah Etnografi Minangkabau- dosen saya berujar “Yang paling hebat itu dalam mengatur daerah jajahannya ialah Inggris, tuan-tuan tau kenapa?” tanya dosen saya.
Karena orang Inggris punya salah satu kebijakan yakni menyaratkan kepada calon Gubernur di daerah jajahan untuk tinggal minimal 10 tahun di daerah yang akan dipimpinnya. Sedangkan orang Belanda hanya menyaratkan 5 tahun saja.” Beliaupun melanjutkan “Tahukah tuan-tuan apa gerangan penyebabnya? Taklain, tak bukan ialah supaya para gubernur tersebut memahami terlebih dahulu daerah beserta rakyat yang akan dipimpinnya. Supaya dia tidak salah membuat kebijakan, yang berakibat muncul kerusuhan dalam negeri melakukan penentangan terhadap dirinya..
Bagaimana menurut pendapat tuan? Gawat bukan jikalau uang dan kekuasaan yang berperan dalam kehidupan. Hilanglah raso jo pareso, dikarenakan dua perkara tersebut. Belum terlambat tuan, kata Saidina Ali, “kita belajar dari pengalaman orang lain dan pengalaman diri kita”. Kalau pendapat Nabi kita “Barang siapa sama hari ini dengan hari kemarin, maka sesungguhnya dia merupakan orang yang merugi” atau seperti kata orang bijka “Hanya keledai dungu yang terperosok ke lubang yang sama untuk kali kedua
Alam takambang jadi guru duhai Tuan...
Janganlah kejadian serupa ini sampai pula ke Negeri Minang yang Bertuah ini, jangan sampai hendaknya Sumatera Barat menjadi propinsi kaya. jangan sampai duhai Tuan yang Mulia, marilah kita sama-sama menjaganya..

sumber gambar: internet


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Senin, 26 Maret 2012


Pabila Harta & Tahta Bicara

Entah kami yang tak punya pekerjaan atau memang semua orang yang larut dalam pemberitaan oleh media. Ketika pertama  kali menyaksikan khabar perihal pemilihan kepala daerah di Jakarta kami merasakan ada yang janggal. Perasaan yang menganjal itu ialah perasaan yang timbul akibat keanehan yang dirasa pada Pilkada kali ini di Jakarta. Dari beberapa pasang calon kepala daerah beberapa diantaranya  masih menjabat sebagai kepala daerah di daerah lain, apakah itu gubernur ataupun walikota.
Apa gerangan yang tengah berlaku duhai tuan? Ada apa ini? Semua media yang mengabarkan berita ini terkesan mewajarkan keadaan yang tengah terjadi. Tidak ada yang memandang aneh, wajarkah menurut tuan perkara yang tengah berlaku ini?
Kenapa perkara ini dapat terjadi duhai tuan? Lama aku tercenung berfikir akan jawaban dari pertanyaan ku tersebut. Akupun mulai mengurutkan satu-persatu, walaupun hanya sekedar kira-kira sesuai pengetahuan ku yang terbatas akan dunia politik yang katanya kotor.
Pertama karena Jakarta Kota Terbesar di Indonesia, perputaran uang (potensi ekonominya) merupakan yang terbesar di negara ini. Permasalahan yang dihadapinyapun sangatlah rumit (kompleks), serta kekuasaan yang mengiringinyapun sangatlah besar. Maka sering muncul semacam pameo dikalangan khalayak bahwa Gubernur Jakarta sama kiranya dengan “RI 3”.
Kedua ialah keadaan masyarakat Kota Jakarta yang beragam, dari latar belakang budaya dan agama sehingga memungkinkan orang-orang dari kalangan mana saja untuk menjadi pemimpin di kota ini. Syarat wajib yang harus dimiliki tentunya dukungan Partai Politik. Itulah tampaknya akibat dari negara demokrasi yang dikuasai oleh Partai Politik.
Ketiga ialah Jakarta dengan segala permasalahannya merupakan pusat dari beragam aktivitas seperti aktivitas politik dimana di kota inilah kepala negara, para menteri, lembaga dan badan tinggi negara berkantor. Di kota ini pulalah bertempat kantor pusat dari partai politik dan organisasi massa lainnya. Kota ini juga bertempat kantor-kantor dari perusahaan besar yang melakukan bisnis (atau eksploitasinya) di Indonesia. Kota ini juga menjadi pusat kriminal dan beragam tindak kejahatan lainnya. Pendek kata, Jakarta merupakan kota gado-gado dimana segala rasa berpadu, hidup berdampingan, terlepas apakah mereka suka atau tidak. Kota ini memiliki hukum sendiri, hukum yang tidak dipahami oleh masyarakat lainnya.

Sebenarnya masih banya penyebab lainnya, namun tak elok jika semuanya dipaparkan pada khalayak. Tuan tentu menertawakan ku, kenapa? Karena saya terkesan oleh tuan membuat-buat alasan, begitukan tuan? Saya hanya mengamalkan petuah orang tua-tua di kampung “Fikirkan apa yang hendak kamu katakan, tetapi jangan kamu katakan apa yang sedang terfikirkan” begitulah tuan adat di Negeri Minang, adat yang telah banyak ditinggalkan oleh orang Minang zaman sekarang.
Melihat keadaan yang berlaku di Jakarta pada saat sekarang, ingatan saya kembali ke masa-masa kuliah di Jurusan Sejarah dahulu. Ketika sedang mengikuti salah satu kuliah-entah matakuliah Sejarah Politik, entah Etnografi Minangkabau- dosen saya berujar “Yang paling hebat itu dalam mengatur daerah jajahannya ialah Inggris, tuan-tuan tau kenapa?” tanya dosen saya.
Karena orang Inggris punya salah satu kebijakan yakni menyaratkan kepada calon Gubernur di daerah jajahan untuk tinggal minimal 10 tahun di daerah yang akan dipimpinnya. Sedangkan orang Belanda hanya menyaratkan 5 tahun saja.” Beliaupun melanjutkan “Tahukah tuan-tuan apa gerangan penyebabnya? Taklain, tak bukan ialah supaya para gubernur tersebut memahami terlebih dahulu daerah beserta rakyat yang akan dipimpinnya. Supaya dia tidak salah membuat kebijakan, yang berakibat muncul kerusuhan dalam negeri melakukan penentangan terhadap dirinya..
Bagaimana menurut pendapat tuan? Gawat bukan jikalau uang dan kekuasaan yang berperan dalam kehidupan. Hilanglah raso jo pareso, dikarenakan dua perkara tersebut. Belum terlambat tuan, kata Saidina Ali, “kita belajar dari pengalaman orang lain dan pengalaman diri kita”. Kalau pendapat Nabi kita “Barang siapa sama hari ini dengan hari kemarin, maka sesungguhnya dia merupakan orang yang merugi” atau seperti kata orang bijka “Hanya keledai dungu yang terperosok ke lubang yang sama untuk kali kedua
Alam takambang jadi guru duhai Tuan...
Janganlah kejadian serupa ini sampai pula ke Negeri Minang yang Bertuah ini, jangan sampai hendaknya Sumatera Barat menjadi propinsi kaya. jangan sampai duhai Tuan yang Mulia, marilah kita sama-sama menjaganya..

sumber gambar: internet


Tidak ada komentar:

Posting Komentar