Selasa, 27 Maret 2012

Dunsanak dari Negeri Aceh


Saudara dari Aceh

Rumah Adat Aceh
Sungguh senang hati ini bila bersua dengan saudara jauh yang datang bertandang. Walaupun tidak ada hubungan keluarga namun rasa persaudaraan antara sesama anak Melayu dan sesama umat Muhammad sudah cukup sebagai perakat rasa persaudaraan kami. Namanya Adnan usianya kira-kira akhir tigapuluhan dan awal empatpuluhan. Pekerjaannya ialah sopir, berkesempatan datang ke kota tempat ku mencari hidup ini dikarenakan dia membawa rombongan para bikers.
Berbeda dengan para sopir yang ku kenal, beliau ini orangnya ramah, murah senyum dan suka bercakap-cakap. Tingginya sekitar 156 cm, badannya tegap berisi, kulit sawo matang, dengan kumis menghiasi wajahnya. Tidak ada tato yang dirajah ke badannya. Penampilannya sederhana, pakai sandal jepit (swallow biru) yang sudah usang, baju kaos berkrah, dan celana katun. Baju dan celana yang dipakainya sudah lusuh.
Sungguh penampilan yang sederhana, kalau beliau tidak tersenyum niscaya angkerlah tampangnya. Namun tidak demikian, lelaki ini sungguh murah senyum. Adnan, demikianlah namanya, berasal dari Banda Aceh tepatnya kampungnya berada 10 Km dari kota tersebut. Beliau memiliki minat yang besar terhadap sejarah. Lama beliau berpelancongan di Museum Goedang Ransoem. Bertanya pada ku perihal sejarah museum dan sedikit-sedikit perihal sejarah Kota Sawahlunto.

Gambaran Salah Satu Sudut dari Pusat Kota Banda Aceh
Rupanya tidak hanya di Sawahlunto, ketika ke Jakarta beliaupun sempat mengunjungi Museum G 30 S / PKI. Tersentuh hati ku mendengar penuturannya yang santun, yang menurutku jarang dimiliki oleh para sopir. Bahasa yang digunakannya ialah bahasa Indonesia yang masih memakai banyak kosa kata bahasa Melayu, sungguh bahasa yang masih asli. Sayang aku terlupa untuk mengambil gambarnya.
Beliau bertanya kepada ku “Adakah keturunan orang Belanda di Sawahunto?”
Cukup terkejut juga mendapat pertanyaan semacam ini, karena terus terang aku belum tahu banyak perihal ini. Aku menjawab dengan ragu “Sepertinya tidak engku..”
“Hebat ya, Belanda cukup lama di Sawahlunto tetapi tidak ada keturunannya di sini. Kalau di Aceh banyak terdapat keturunan orang Belanda. Pada masa dahulu mereka menikah dengan perempuan Aceh. Sekarang keturunan mereka banyak terdapat di daerah Lamno yang sekarang termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Aceh Jaya, sekitar 80 Km utara Banda Aceh. Pada saat Tsunami dahulu banyak diantara mereka yang meninggal..” jelas engku Adnan.
Beliaupun melanjutkan penuturannya “Orangnya panjang-panjang (tinggi maksudnya) kulitnya putih kemereah-merahan, benar-benar mirip orang Kulit Putih. Bagi yang perempuan cantik-cantik, sedari SD sudah ditandai hendak dinikahi karena memang mereka cantik.”
Gadis Belia dari Lamno
“Aduhai.. kasihan juga nasib perempuan Lamno, syukur kalau mereka suka sama laki-laki yang hendak menikahi, jikalau tidak...?!” ucap ku dalam hati.
Percakapan kamipun diselingi oleh pertanyaan-pertanyaan beliau perihal Sawahlunto. Mengenai batubara, penjajahan Belanda, dan tentu saja bangunan-bangunan tua. Kebetulan beliau dan kawannya menginap di Hotel Ombilin. Ada satu keanehan yang didapatinya di Sawahlunto yakni bangunan Koperasi Ombilin yang masih terdapat ornamen salibnya, beliau bertanya “Tidak apakah bagi orang sini bangunan yang masih dihiasi salib macam tu..?”
Saya terdiam mendapat pertanyaan samacam itu, memang sebenarnya menurut keyakinan umat Muslim lambang-lambang semacam itu hanya diperbolehkan untuk menghiasi rumah ibadat ataupun rumah tempat tinggal mereka. Namun karena bangunan tersebut sudah diambil oleh Pemerintah Kota dan dipakai oleh kebanyakan orang Islam maka sememangnya sudah dihilangkan jauh-jauh hari. Diganti dengan ornamen yang bernafaskan Islam.
Sayapun bertanya “Tidak adakah Batubara di Aceh engku..?”
Beliaupun menjawab “Ada, hanya saja masih muda, belum boleh ditambang. Ketika orang sedang  mengerjakan jalan banyak didapat batubara yang masih muda. Yang banyak ialah tambang emas. Terdapat tambang emas di suatu daerah di Aceh, kemudian datanglan orang dari perusahaan Barat hendak menambang (investasi). Oleh Bupati disana di tolaknya, alasannya ialah “Nanti rakyat saya tidak punya pekerjaan..!” sebab memang kebanyakan orang disana pekerjaannya ialah menambang emas”
“Wah hebat bupati di sana ya engku. Kalau disini tentulah sudah diundang investor untuk menanamkan modalnya. Lihat saja sekarang, Gubernur kami sedang giat-giatnya dalam usaha mendatangkan investor agar mau menanamkan modal di Sumatera Barat.” Ujar ku.
Gadis Remaja Lamno
Beliau hanya tersenyum lalu melanjutkan ceritanya “Pernah ada seorang anak yatim di daerah sana, miskin dan selalu dihina orang. Kalau dia datang selalu diusir. Pada suatu ketika dia pergi ke pokok sebuah pohon lalu dia mencoba mencukil-cukil tanah di sekitar sana maka bersualah sebongkahan besar emas. Sungguh tak dinyana, emas itu dibawa pulang olehnya untuk digiling. Hingga kini berkat emas penemuannya dia hidup berkecukupan.”
“Itulah kiranya hikmah orang teraniaya ya engku..?” sela ku.
“Benar, kasian dia, diusir-usir orang pabila dia mendekat..” balasnya.
“Rezeki anak yatim, lagipula do’a orang teraniaya kan dimakbulkan oleh Allah..” jawab ku.
“ Ya betul sangat, padahal banyak orang kampung telah menghabiskan modal puluhan juta untuk menambang emas malah hasil yang didapat tak sebanding dengan yang dikeluarkan. Bahkan ada yang tidak dapat sama sekali..” terangnya.
Memang begitulah dunia saat ini, semua mengejar harta dan tahta sehingga lupa akan hakikat diri. Bercakap-cakap dengan engku Adnan telah membuka mata batin ku. Serta menimbulkan hasrat dalam diri ini untuk dapat mengunjungi bumi Serambi Mekah. Sebagai anak Melayu belum semua negeri melayu aku kunjungi, jangankan Alam Melayu, Alam Minangkabau saja masih banyak yang belum aku lihat. Sesungguhnya aku masih kecil sekali, pengalaman hidup ku masih sedikit dan terbatas.
Terimakasih engku Adnan semoga Allah melapangkan jalan engku dan tidak menghapus senyuman dari wajah engku. Teruslah tersenyum, karena senyuman itu ibadah, karena senyuman itu pada masa sekarang sangatlah mahal. Saya sendiri kalau orang tak tersenyum pada ku, maka akupun takkan tersenyum pula. Maka bermasam rialah kita semua..
Melihat beliau mengingatkan ku pada orangtua ku, masih belum dapat diri ini mebalas segala jasa yang telah mereka berikan sepanjang hidup ini. Semoga Allah membalas jasa-jasa mereka atas ku. Amin..


*setelah ku tanyakan kepada seorang kawan. menurutnya terdapat beberapa orang keturunan Orang Belanda di Sawahlunto. hanya saja kurang terekspose.

Sawahlunto, Sabtu 24 Maret 2012

Sumber gambar:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Selasa, 27 Maret 2012

Dunsanak dari Negeri Aceh


Saudara dari Aceh

Rumah Adat Aceh
Sungguh senang hati ini bila bersua dengan saudara jauh yang datang bertandang. Walaupun tidak ada hubungan keluarga namun rasa persaudaraan antara sesama anak Melayu dan sesama umat Muhammad sudah cukup sebagai perakat rasa persaudaraan kami. Namanya Adnan usianya kira-kira akhir tigapuluhan dan awal empatpuluhan. Pekerjaannya ialah sopir, berkesempatan datang ke kota tempat ku mencari hidup ini dikarenakan dia membawa rombongan para bikers.
Berbeda dengan para sopir yang ku kenal, beliau ini orangnya ramah, murah senyum dan suka bercakap-cakap. Tingginya sekitar 156 cm, badannya tegap berisi, kulit sawo matang, dengan kumis menghiasi wajahnya. Tidak ada tato yang dirajah ke badannya. Penampilannya sederhana, pakai sandal jepit (swallow biru) yang sudah usang, baju kaos berkrah, dan celana katun. Baju dan celana yang dipakainya sudah lusuh.
Sungguh penampilan yang sederhana, kalau beliau tidak tersenyum niscaya angkerlah tampangnya. Namun tidak demikian, lelaki ini sungguh murah senyum. Adnan, demikianlah namanya, berasal dari Banda Aceh tepatnya kampungnya berada 10 Km dari kota tersebut. Beliau memiliki minat yang besar terhadap sejarah. Lama beliau berpelancongan di Museum Goedang Ransoem. Bertanya pada ku perihal sejarah museum dan sedikit-sedikit perihal sejarah Kota Sawahlunto.

Gambaran Salah Satu Sudut dari Pusat Kota Banda Aceh
Rupanya tidak hanya di Sawahlunto, ketika ke Jakarta beliaupun sempat mengunjungi Museum G 30 S / PKI. Tersentuh hati ku mendengar penuturannya yang santun, yang menurutku jarang dimiliki oleh para sopir. Bahasa yang digunakannya ialah bahasa Indonesia yang masih memakai banyak kosa kata bahasa Melayu, sungguh bahasa yang masih asli. Sayang aku terlupa untuk mengambil gambarnya.
Beliau bertanya kepada ku “Adakah keturunan orang Belanda di Sawahunto?”
Cukup terkejut juga mendapat pertanyaan semacam ini, karena terus terang aku belum tahu banyak perihal ini. Aku menjawab dengan ragu “Sepertinya tidak engku..”
“Hebat ya, Belanda cukup lama di Sawahlunto tetapi tidak ada keturunannya di sini. Kalau di Aceh banyak terdapat keturunan orang Belanda. Pada masa dahulu mereka menikah dengan perempuan Aceh. Sekarang keturunan mereka banyak terdapat di daerah Lamno yang sekarang termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Aceh Jaya, sekitar 80 Km utara Banda Aceh. Pada saat Tsunami dahulu banyak diantara mereka yang meninggal..” jelas engku Adnan.
Beliaupun melanjutkan penuturannya “Orangnya panjang-panjang (tinggi maksudnya) kulitnya putih kemereah-merahan, benar-benar mirip orang Kulit Putih. Bagi yang perempuan cantik-cantik, sedari SD sudah ditandai hendak dinikahi karena memang mereka cantik.”
Gadis Belia dari Lamno
“Aduhai.. kasihan juga nasib perempuan Lamno, syukur kalau mereka suka sama laki-laki yang hendak menikahi, jikalau tidak...?!” ucap ku dalam hati.
Percakapan kamipun diselingi oleh pertanyaan-pertanyaan beliau perihal Sawahlunto. Mengenai batubara, penjajahan Belanda, dan tentu saja bangunan-bangunan tua. Kebetulan beliau dan kawannya menginap di Hotel Ombilin. Ada satu keanehan yang didapatinya di Sawahlunto yakni bangunan Koperasi Ombilin yang masih terdapat ornamen salibnya, beliau bertanya “Tidak apakah bagi orang sini bangunan yang masih dihiasi salib macam tu..?”
Saya terdiam mendapat pertanyaan samacam itu, memang sebenarnya menurut keyakinan umat Muslim lambang-lambang semacam itu hanya diperbolehkan untuk menghiasi rumah ibadat ataupun rumah tempat tinggal mereka. Namun karena bangunan tersebut sudah diambil oleh Pemerintah Kota dan dipakai oleh kebanyakan orang Islam maka sememangnya sudah dihilangkan jauh-jauh hari. Diganti dengan ornamen yang bernafaskan Islam.
Sayapun bertanya “Tidak adakah Batubara di Aceh engku..?”
Beliaupun menjawab “Ada, hanya saja masih muda, belum boleh ditambang. Ketika orang sedang  mengerjakan jalan banyak didapat batubara yang masih muda. Yang banyak ialah tambang emas. Terdapat tambang emas di suatu daerah di Aceh, kemudian datanglan orang dari perusahaan Barat hendak menambang (investasi). Oleh Bupati disana di tolaknya, alasannya ialah “Nanti rakyat saya tidak punya pekerjaan..!” sebab memang kebanyakan orang disana pekerjaannya ialah menambang emas”
“Wah hebat bupati di sana ya engku. Kalau disini tentulah sudah diundang investor untuk menanamkan modalnya. Lihat saja sekarang, Gubernur kami sedang giat-giatnya dalam usaha mendatangkan investor agar mau menanamkan modal di Sumatera Barat.” Ujar ku.
Gadis Remaja Lamno
Beliau hanya tersenyum lalu melanjutkan ceritanya “Pernah ada seorang anak yatim di daerah sana, miskin dan selalu dihina orang. Kalau dia datang selalu diusir. Pada suatu ketika dia pergi ke pokok sebuah pohon lalu dia mencoba mencukil-cukil tanah di sekitar sana maka bersualah sebongkahan besar emas. Sungguh tak dinyana, emas itu dibawa pulang olehnya untuk digiling. Hingga kini berkat emas penemuannya dia hidup berkecukupan.”
“Itulah kiranya hikmah orang teraniaya ya engku..?” sela ku.
“Benar, kasian dia, diusir-usir orang pabila dia mendekat..” balasnya.
“Rezeki anak yatim, lagipula do’a orang teraniaya kan dimakbulkan oleh Allah..” jawab ku.
“ Ya betul sangat, padahal banyak orang kampung telah menghabiskan modal puluhan juta untuk menambang emas malah hasil yang didapat tak sebanding dengan yang dikeluarkan. Bahkan ada yang tidak dapat sama sekali..” terangnya.
Memang begitulah dunia saat ini, semua mengejar harta dan tahta sehingga lupa akan hakikat diri. Bercakap-cakap dengan engku Adnan telah membuka mata batin ku. Serta menimbulkan hasrat dalam diri ini untuk dapat mengunjungi bumi Serambi Mekah. Sebagai anak Melayu belum semua negeri melayu aku kunjungi, jangankan Alam Melayu, Alam Minangkabau saja masih banyak yang belum aku lihat. Sesungguhnya aku masih kecil sekali, pengalaman hidup ku masih sedikit dan terbatas.
Terimakasih engku Adnan semoga Allah melapangkan jalan engku dan tidak menghapus senyuman dari wajah engku. Teruslah tersenyum, karena senyuman itu ibadah, karena senyuman itu pada masa sekarang sangatlah mahal. Saya sendiri kalau orang tak tersenyum pada ku, maka akupun takkan tersenyum pula. Maka bermasam rialah kita semua..
Melihat beliau mengingatkan ku pada orangtua ku, masih belum dapat diri ini mebalas segala jasa yang telah mereka berikan sepanjang hidup ini. Semoga Allah membalas jasa-jasa mereka atas ku. Amin..


*setelah ku tanyakan kepada seorang kawan. menurutnya terdapat beberapa orang keturunan Orang Belanda di Sawahlunto. hanya saja kurang terekspose.

Sawahlunto, Sabtu 24 Maret 2012

Sumber gambar:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar