Sabtu, 25 Februari 2012

Surek untuak Inyiak GUbernur II


Harta: Ujian Dunia yang Melenakan

Entah telah berapa lama berlalu, aku tidak begitu ingat. Namun masih terngiang-ngiang di benakku sepenggal isi ceramah yang ku dengar dari mulut si penceramah. Begini katanya “Kebanyakan dari kita beranggapan bahwa Allah Ta’ala menguji kita dengan kesengsaraan dan beragam kesulitan dalam hidup. Namun, tidakkah kita tahu bahwa harta, benda, serta segala kesenangan hidup juga merupakan ujian bagi kita. Dikala susah kita ingat Allah, itu wajar. Sebab kebanyakan dari kita lupa dengan Allah pabila sedang berada di puncak kesenangan. Dikala sempit kita memohon kelapangan, dikala susah kita miminta kesenangan, dikala miskin kita berharap kekayaan. Namun pabila roda telah berputar, kita lupa dengan diri kita, lupa darimana berasal, bahkan lupa dengan Sang Pemberi Rahmat..
Itulah yang kebanyakan berlaku sekarang, kita berharap akan kekayaan dan jabatan. Segalanya diukur dengan uang dan kekuasaan, bukan dari kepribadian diri. Uang menjadi takaran untuk mengukur keberhasilan seseorang, menjadi acuan dalam menentukan arah kebijakan dalam hidup. Dalam lingkup yang lebih luas uang menjadi patokan dalam merumuskan suatu kebijakan. Karena keberhasilan suatu badan atau organisasi akan dilihat dengan besarnya uang yang dapat mereka kumpulkan.
Saya terkenang kembali akan suatu peristiwa yang sempat menghebokan masyarakat Sumatera Barat  ketika musibah gempa yang diiringi Tsunami menimpa Kepulauan Mentawai. Ketika itu Tuan Gubernur sehari setelah bencana melanda, beliau langsung memutuskan untuk berangkat ke Jerman. Kabar yang beredar ialah, untuk menghadiri undangan yang telah jauh hari disiapkan, gunanya ialah sebagai reaksi cepat dalam meraih investor Jerman agar dapat menanamkan modalnya di Sumatera Barat. Sebelumnya beliau telah terjun ke lapangan, menangani secara langsung keadaan pasca gempa. Beliau juga telah mendatangi Mentawai, melihat keadaan, dan melakukan berbagai koordinasi dengan unsur-unsur terkait.
Menanggapi perilaku Tuan Gubernur yang bertandang ke Jerman, disaat orang-orang yang dipimpinnya sedang ditimpa bencana, beribulah mulut orang. Kebanyakan mencela, mereka tak habis fikir, entah apa yang ada di benak Tuan Gubernur. Ibarat kata orang Minang “lamak di awak katuju di urang, itu nan indak ado. Lah ilang raso jo pareso” namun walau bagaimanapun beliau punya dalil, yaitu itu demi keuntungan Sumbar juga. Ada yang suka dan ada yang tak suka, sudah perkara wajar dalam kehidupan. Begitulah kira-kira, hingga kini Tuan Gubernur masih giat mencari investor supaya dapat mengangkat perekonomian Sumbar. Agar Sumbar menjadi negeri kaya, maju perekonomiannya.

Rupanya Allah masih sayang kepada orang Minang, pada petang hari Arba’a tanggal 22 Februari 2011, Kabupaten Pasaman (maksudnya: Pasaman dan Pasaman Barat) yang selama ini dikenal sebagai salah satu daerah yang dipenuhi oleh investor perkebunan di Sumatera Barat telah mendapat teguran berupa banjir bandang. Dua Kecamatan yang terkena musibah ini ialah Kecamatan Tigo Nagari dan Kecamatan Simpati, belum diketahui apakah terdapat korban jiwa. Menurut analisis sementara, penyebab banjir bandang ialah minimnya daerah resapan air yang kemungkinan besar disebabkan oleh pemalakan liar.
Tentunya pertanda semacam ini hanya dapat dibaca oleh orang-orang yang masih membuka hatinya, masih mementingkan orang lain, dan memegang prinsip hidup raso jo pareso. Namun sayangnya kebanyakan orang sekarang tidaklah demikian, bak kata pepatah orang tua-tua: “ Daulu rabab nan batangkai\Kini kucapi nan babungo\Daulu adat nan bapakai\Kini rodi nan paguno\Daulu samak nan manyeso\Kini tali nan tajelo\Daulu mamak nan kuaso\Kini pitih dan bajaso\
 Mungkin petikan berita berikut cocok kiranya menggambarkan kandungan isi pepatah orang tua-tua yang saya sebutkan di atas. Walaupun kejadiannya bukanlah di Ranah Minang, saya berharap semoga kita terjauhkan dari hal-hal tersebut. Amin, Insya Allah..
Kisah ini terjadi di Banyuwangi Propinsi Jawa Timur, tepatnya di daerah yang bernama Bukit Tanjung Pitu. Alkisah sekitar enam tahun lalu, masyarakat di daerah ini hidup harmonis, rukun hubungan jiran tetangga, erat hubungan perkawanan, dan baik hubungan berkampung. Rasa kekeluargaan begitu tinggi, saling membantu pabila ada kenduri, saling menjenguk pabila sakit, saling meluangkan waktu untuk bertukar kabar. Begitu juga hubungan antara suami-isteri, mesra dan saling mengasihi.
Semua ini usai ketika terbetik kabar bahwa ditemukannya sumber bahan tambang berupa emas. Semua orang di negeri itu berlomba-lomba melakukan penambangan, ada yang menjual motor untuk dijadikan modal penambangan. Hubungan perkawanan mulai rusak, saling curiga mulai timbul. Hubungan suami-isteripun mulai koyak, keharmonisan dalam keluarga sudah hilang. Bahkan ada isteri yang berani menggugat cerai suaminya dikarenakan masalah keuangan. Uang yang telah habis untuk modal usaha penambangan namun hasil yang diharap tak kunjung dapat.
Tidak hanya itu, lingkunganpun mulai rusak akibat penambangan ini. Masyarakat yang biasanya dapat keluar masuk hutan sesuka hatinya, sekarang mulai dibatasi karena beberapa kawasan hutan sudah mendapat hak eksploitasi dari Pemerintah Daerah. Gesekan kecil dapat memicu amarah, puncaknya ialah pada Juni 2011 tatkala ribuan penambang membakar salah satu pos milik PT Indo Multi Niaga yang mendapat hak untuk menambang.
Bagaimana menurut tuan kisah tersebut? Bukankah orang bijak pernah berkata “Belajarlah dari pengalaman orang lain, hanya keledai dungu yang terperosok ke dalam lubang yang sama untuk kedua kalinya.” Tidakkah itu merupakan suatu pertanda, duhai Tuan Yang Mulia? Allah Ta’ala tengah memberi pesan kepada kita orang Minang. Tergantung kita, apakah pandai dan dapat menangkap pesan tersebut. Atau sebaliknya menganggap hanya sekedar angin lalu.
Duhai Tuan Gubernur.. janganlah Tuan rusak negeri ini dengan limpahan uang. Yang dibutuhkan Ranah Minang saat ini ialah limpahan ilmu, limpahan raso. Kita kaya bukan dengan harta akan tetapi dengan ilmu. Orang Minang dikenal bukan karena kekayaannya, melainkan karena kecerdikannya. Kekayaan yang abadi ialah kekayaan hati, bukan kekayaan benda. Jikalau tuan hendak memajukan negeri, maka kembalikanlah raso yang telah mulai hilang ditengah-tengah rakyat tuan.
Demikianlah tuan pandangan saya, disusun jari nan sepuluh jikalau ada kata-kata sayang yang tidak berkenan oleh Tuan...

 sumber foto:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sabtu, 25 Februari 2012

Surek untuak Inyiak GUbernur II


Harta: Ujian Dunia yang Melenakan

Entah telah berapa lama berlalu, aku tidak begitu ingat. Namun masih terngiang-ngiang di benakku sepenggal isi ceramah yang ku dengar dari mulut si penceramah. Begini katanya “Kebanyakan dari kita beranggapan bahwa Allah Ta’ala menguji kita dengan kesengsaraan dan beragam kesulitan dalam hidup. Namun, tidakkah kita tahu bahwa harta, benda, serta segala kesenangan hidup juga merupakan ujian bagi kita. Dikala susah kita ingat Allah, itu wajar. Sebab kebanyakan dari kita lupa dengan Allah pabila sedang berada di puncak kesenangan. Dikala sempit kita memohon kelapangan, dikala susah kita miminta kesenangan, dikala miskin kita berharap kekayaan. Namun pabila roda telah berputar, kita lupa dengan diri kita, lupa darimana berasal, bahkan lupa dengan Sang Pemberi Rahmat..
Itulah yang kebanyakan berlaku sekarang, kita berharap akan kekayaan dan jabatan. Segalanya diukur dengan uang dan kekuasaan, bukan dari kepribadian diri. Uang menjadi takaran untuk mengukur keberhasilan seseorang, menjadi acuan dalam menentukan arah kebijakan dalam hidup. Dalam lingkup yang lebih luas uang menjadi patokan dalam merumuskan suatu kebijakan. Karena keberhasilan suatu badan atau organisasi akan dilihat dengan besarnya uang yang dapat mereka kumpulkan.
Saya terkenang kembali akan suatu peristiwa yang sempat menghebokan masyarakat Sumatera Barat  ketika musibah gempa yang diiringi Tsunami menimpa Kepulauan Mentawai. Ketika itu Tuan Gubernur sehari setelah bencana melanda, beliau langsung memutuskan untuk berangkat ke Jerman. Kabar yang beredar ialah, untuk menghadiri undangan yang telah jauh hari disiapkan, gunanya ialah sebagai reaksi cepat dalam meraih investor Jerman agar dapat menanamkan modalnya di Sumatera Barat. Sebelumnya beliau telah terjun ke lapangan, menangani secara langsung keadaan pasca gempa. Beliau juga telah mendatangi Mentawai, melihat keadaan, dan melakukan berbagai koordinasi dengan unsur-unsur terkait.
Menanggapi perilaku Tuan Gubernur yang bertandang ke Jerman, disaat orang-orang yang dipimpinnya sedang ditimpa bencana, beribulah mulut orang. Kebanyakan mencela, mereka tak habis fikir, entah apa yang ada di benak Tuan Gubernur. Ibarat kata orang Minang “lamak di awak katuju di urang, itu nan indak ado. Lah ilang raso jo pareso” namun walau bagaimanapun beliau punya dalil, yaitu itu demi keuntungan Sumbar juga. Ada yang suka dan ada yang tak suka, sudah perkara wajar dalam kehidupan. Begitulah kira-kira, hingga kini Tuan Gubernur masih giat mencari investor supaya dapat mengangkat perekonomian Sumbar. Agar Sumbar menjadi negeri kaya, maju perekonomiannya.

Rupanya Allah masih sayang kepada orang Minang, pada petang hari Arba’a tanggal 22 Februari 2011, Kabupaten Pasaman (maksudnya: Pasaman dan Pasaman Barat) yang selama ini dikenal sebagai salah satu daerah yang dipenuhi oleh investor perkebunan di Sumatera Barat telah mendapat teguran berupa banjir bandang. Dua Kecamatan yang terkena musibah ini ialah Kecamatan Tigo Nagari dan Kecamatan Simpati, belum diketahui apakah terdapat korban jiwa. Menurut analisis sementara, penyebab banjir bandang ialah minimnya daerah resapan air yang kemungkinan besar disebabkan oleh pemalakan liar.
Tentunya pertanda semacam ini hanya dapat dibaca oleh orang-orang yang masih membuka hatinya, masih mementingkan orang lain, dan memegang prinsip hidup raso jo pareso. Namun sayangnya kebanyakan orang sekarang tidaklah demikian, bak kata pepatah orang tua-tua: “ Daulu rabab nan batangkai\Kini kucapi nan babungo\Daulu adat nan bapakai\Kini rodi nan paguno\Daulu samak nan manyeso\Kini tali nan tajelo\Daulu mamak nan kuaso\Kini pitih dan bajaso\
 Mungkin petikan berita berikut cocok kiranya menggambarkan kandungan isi pepatah orang tua-tua yang saya sebutkan di atas. Walaupun kejadiannya bukanlah di Ranah Minang, saya berharap semoga kita terjauhkan dari hal-hal tersebut. Amin, Insya Allah..
Kisah ini terjadi di Banyuwangi Propinsi Jawa Timur, tepatnya di daerah yang bernama Bukit Tanjung Pitu. Alkisah sekitar enam tahun lalu, masyarakat di daerah ini hidup harmonis, rukun hubungan jiran tetangga, erat hubungan perkawanan, dan baik hubungan berkampung. Rasa kekeluargaan begitu tinggi, saling membantu pabila ada kenduri, saling menjenguk pabila sakit, saling meluangkan waktu untuk bertukar kabar. Begitu juga hubungan antara suami-isteri, mesra dan saling mengasihi.
Semua ini usai ketika terbetik kabar bahwa ditemukannya sumber bahan tambang berupa emas. Semua orang di negeri itu berlomba-lomba melakukan penambangan, ada yang menjual motor untuk dijadikan modal penambangan. Hubungan perkawanan mulai rusak, saling curiga mulai timbul. Hubungan suami-isteripun mulai koyak, keharmonisan dalam keluarga sudah hilang. Bahkan ada isteri yang berani menggugat cerai suaminya dikarenakan masalah keuangan. Uang yang telah habis untuk modal usaha penambangan namun hasil yang diharap tak kunjung dapat.
Tidak hanya itu, lingkunganpun mulai rusak akibat penambangan ini. Masyarakat yang biasanya dapat keluar masuk hutan sesuka hatinya, sekarang mulai dibatasi karena beberapa kawasan hutan sudah mendapat hak eksploitasi dari Pemerintah Daerah. Gesekan kecil dapat memicu amarah, puncaknya ialah pada Juni 2011 tatkala ribuan penambang membakar salah satu pos milik PT Indo Multi Niaga yang mendapat hak untuk menambang.
Bagaimana menurut tuan kisah tersebut? Bukankah orang bijak pernah berkata “Belajarlah dari pengalaman orang lain, hanya keledai dungu yang terperosok ke dalam lubang yang sama untuk kedua kalinya.” Tidakkah itu merupakan suatu pertanda, duhai Tuan Yang Mulia? Allah Ta’ala tengah memberi pesan kepada kita orang Minang. Tergantung kita, apakah pandai dan dapat menangkap pesan tersebut. Atau sebaliknya menganggap hanya sekedar angin lalu.
Duhai Tuan Gubernur.. janganlah Tuan rusak negeri ini dengan limpahan uang. Yang dibutuhkan Ranah Minang saat ini ialah limpahan ilmu, limpahan raso. Kita kaya bukan dengan harta akan tetapi dengan ilmu. Orang Minang dikenal bukan karena kekayaannya, melainkan karena kecerdikannya. Kekayaan yang abadi ialah kekayaan hati, bukan kekayaan benda. Jikalau tuan hendak memajukan negeri, maka kembalikanlah raso yang telah mulai hilang ditengah-tengah rakyat tuan.
Demikianlah tuan pandangan saya, disusun jari nan sepuluh jikalau ada kata-kata sayang yang tidak berkenan oleh Tuan...

 sumber foto:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar