Persengketaan yang Tak Hendak Surut
Bulan Februari merupakan bulan penuh gejolak, setidaknya itulah yang terekam dalam Sejarah Negeri Minangkabau. Pada bulan ini terjadi peristiwa besar yang pengaruhnya masih terasa hingga sekarang di Minangkabau atau setidaknya Sumatera Barat. Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia atau biasa disingkat dengan PRRI merupakan puncak dari segala ketidak puasan, kecemasan, dan kejengkelan terhadap Pemerintahan Jakarta pada masa tahun 1958.
Awal mulanya hanyalah bentuk ketidak puasan dari beberapa perwira militer di Sumatera Tengah atas perlakuan yang mereka dapat dari pemerintah pusat. Jerih payah mereka dalam berjuang dan mempertahankan negara ini sangat tidak dihargai. Setelah penyerahan kedaulatan pada 27 Desember 1949 oleh Belanda, Komando Divisi IX Banteng di Sumatera Tengah diacak-acak oleh pusat. Beberapa pasukannya dikirim keluar Sumatera Tengah, dikirim ke berbagai daerah konflik. Namun setelah penugasan tersebut, para prajurit dari Divisi IX Banteng tidak dikembalikan ke induk pasukannya di Sumatera Tengah, melainkan dipindahkan ke Divisi lainnya. Seperti Batalyon Pagaruyung yang digabungkan ke dalam Divisi Siliwangi.
Makin lama Divisi IX Banteng semakin menciut sehingga tinggal satu brigade yang bernama sama dengan nama divisinya yakni Brigade Banteng pimpinan Ahmad Hussein. Pada bulan April 1952 brigade inipun diciutkan pula menjadi satu resimen di bawah komando Tentara Teritorium I Bukit Barisan (TT I BB) yang dipimpin oleh Kolonel Maluddin Simbolon.
Kebijakan pusat tersebut menimbulkan kekecewaan, ditambah dengan keadaan prajurit bekas Divisi IX Banteng yang menyedihkan. Hidup mereka memprihatinkan, keadaan kesehatan keluarga mereka sangatlah buruk, bahkan ada yang sampai meninggal.
Gagasan pertama untuk membentuk Dewan Banteng muncul pada pertemuan para perwira aktif maupun pensiunan bekas Divisi IX Banteng di Jakarta pada tanggal 21 September 1956. Kemudian reuni ini dilanjutkan di Padang pada tanggal 20-24 November 1956. Reuni ini dihadiri oleh 612 orang perwira aktif maupun pensiunan. Pada tanggal 20 Desember 1956 Dewan Banteng dibentuk dengan susunan kepengurusan ialah:
1. Ketua: Kol. Ahmad Hussein
2. Sekjen: Jendral Mayor (Purn) Suleman yang menjabat sebagai Kepala Biro Rekonstruksi Nasional Sumteng.
3. Anggota:
1) Kaharuddin Dt. Rangkayo Basa (Kepala Polisi Sumteng)
2) Sutan Suis (Kepala Polisi Kota Padang)
3) Mayor Anwar Umar (Komandan Batalion 142 Resimen 4)
4) Kapten Nurmatias (Komandan Batalyon 140, Resimen Infantri 4)
5) Darwis Taram Dt. Tumangguang (Bupati 50 Kota)
6) Ali Luis (Bupati d/p Kantor Gubernur Sumatera Tengah)
7) Syech Ibrahim Musa Parabek (Ulama)
8) Datuak Simarajo (MTKAAM)
9) Kolonel (Purn) Ismael Lengah
10) Letkol (Purn) Hasan Basri (Riau)
11) Letnan Sebastian (Perwira Distrik Militer 20 Indragiri, Riau)
12) A. Abdul Manaf (Bupati Kab. Merangin, Jambi)
13) Kapten Yusuf Nur (Akademi Militer Jakarta)
14) Mayor Suib (Wakil Asisten II Staf Umum Angkatan Darat di Jakarta)
Selain itu Dewan Banteng juga didukung oleh segenap partai politik di Indonesia masa itu kecuali Partai Komunis Indonesia (PKI). Juga didukung oleh segenap lapisan masyarakat seperti para pemuda, ulama, cerdik pandai, dan kaum adat. Sehingga masa itu lahirlah semboyan “Timbul Tenggelam Bersama Dewan Banteng”
Dewan ini juga mengluarkan beberapa tuntutan kepada pemerintah pusat, yang isinya ialah:
1. Menutut pemberian dan pengisian otonimi luas bagi daerah-daerah dalam rangka pelaksanaan Sistem Pemerintahan Desentralisasi serta pemberian perimbangan keuangan antara pusat dan daerah yang wajar, layak, dan adil.
2. Menuntu dihapuskannya segera Sistem Sentralisme yang dalam kenyataannya mengakibatkan birokrasi yang tidak sehat dan menjadi pokok pangkal dari korupsi, stagnasi pembangunan daerah, hilangnya inisiatif dan kegiatan daerah serta kontrol.
3. Menuntut Komando Pertahanan Daerah dalam artian Teritorial, Operatif, dan Administratif yang sesuai dengan pembagian administratif dari Negara Republik Indonesia dewasa ini dan merupakan Komandi Utama dalam Angkatan Darat. Juga menuntut ditetapkannya eks Divisi Banteng Sumatera Tengah sebagai Kesatuan Militer yang menjadi satu korps dalam Angkatan Darat.
4. Menuntut pengembalian daerah Irian Barat ke dalam wilayah NKRI
5. Menuntut ikut memperjuangkan pemulihan keutuhan Dwi Tunggal Soekarno Hatta.
6. Mempercepat realisasi Pemerintahan Otonom Tingkat I Riau, Jambi, dan Sumatera Barat.
Dua hari setelah deklarasi yang dikeluarkan Dewan Banteng di Padang, Kolonel Maluddin Simbolon di Sumatera Utara mengeluarkan deklarasi serupa namun lebih radikal dari Deklarasi Dewan Banteng. Simbolon langsung menyatakan tidak mengakui pemerintahan PM. Djuanda dan menyatakan daerahnya berada daam Darurat Perang (SOB). Akibatanya Simbolon digantikan dengan Djamin Ginting, akibatnya Simbolon beserta pasukannya melarikan diri ke Padang.
Sangat aneh sekali, kenapa Kol. Maluddin Simbolon memutuskan membangkang terhadap pusat? Sebab kondisi pasukan dan daerahnya tidak serupa dengan di Sumatera Tengah. Selain itu, deklarasi Simbolonpu lebih radikal, tidak seperti Dewan Banteng. Salah satu penyebab kenapa Simbolon tidak berhasil di Sumatera Utara ialah karena keragaman etnis dan agama. Sehingga tempat berpijaknya kurang kokoh. Kondisi ini berlainan dengan yang berlaku du Sumteng. Lalu kenapa Simbolon yang seorang Nasrani memutuskan melarikan diri ke Padang? Kenapa bukan ke Singapura ataupun Sulawesi Utara? Kenapa Ahmad Hussein menerimanya di sana, padahal Simbolon sedang bermasalah dengan pusat? Bukankah hal tersebut dapat mempersulit posisi Ahmad Husein di hadapan pemerintahan pusat?
Kemudian tanggal 15 Januari 1957, Kolonel Barlian di Sumatera Selatan mendeklarasikan berdirinya Dewan Garuda. Tidak hanya itu, Kolonel Vence Samual di Indonesia Timur mendeklarasikan Perjuangan Semesta Alam (Permesta). Tuntutan dari Permesta ialah otonomi, kontrol atas pendapatan daerah, dan kembalinya Dwi Tunggal. Dapat kita lihat bahwa tuntutan dari daerah-daerah bergolka ini hampir sama yakni seputar otonomi, hubungan pusat-daerah terutama soal ekonomi, dan pemulihan Dwi Tunggal.
Baru pada pertemuan Palembang yang diadakan pada tanggal 8 September 1957, para pemimpin daerah yang bergolak ini dengan berani menuntut pembubaran Partai Komunis Indonesia. Dalam pertemuan ini diambil kesepakatan untuk membantuk suatu “Dewan Perjuangan” yang akan mengakomodir segala dewan-dewan yang ada. Adapun dalam pertemuan ini dihasilkan beberapa keputusan yang dikenal dengan nama Piagam Palembang. Isinya antara lain:
1. Memulihkan Dwi-Tunggal Soekarno-Hatta
2. Penggantian pimpinan Angkatan Darat
3. Pembentukan senat di samping DPR yang akan mewakili daerah-daerah.
4. Melaksanakan otonomi daerah.
5. Melarang Komunisme di Indonesia.
Pertemuan ini diadakan dua hari sebelum Munas yang telah direncanakan di Jakarta. Diharapkan Munas ini dapat meredekan ketegengan antara pusat dan daerah. Munas diadakan selama lima hari yakni dari tanggal 10-15 September 1957, tuntutan Dewan Perjuangan yang termaktup dalam Piagam Palembang disetujui, kecuali point nomor lima.
Dari tuntutan-tuntutan yang dilontarkan oleh pimpinan di daerah dapat kita tarik kesimpulan, gerangan apa yang menyebabkan mereka memberontak? Tak lain dan tak bukan ialah: Komunisme, dimana Soekarno lebih dekat dengan PKI. hubungan pusat dan daerah dimana pola pemerintahan lebih mengarah kepada Sentralistis. Dan pecahnya Dwi Tunggal, dimana terpetik kabar bahwa Hatta hendak mengundurkan diri dari jabatan Wapres.
Kita juga tidak memungkiri akan keterlibatan kekuatan asing dalam pergolakan ini. Karena walau bagaimanapun juga, dalam tatanan yang lebih besar sedang terjadi ketegangan antara Blok Timur (Komunis) dan Blok Barat (Kapitalis). Dan masing-masing kekuatan berkeinginan untuk menananmkan pengaruh di sebanyak mungkin negara yang berhasil dikuasai oleh ideologi mereka.
Akhirnya yang dicemaskan para pemimpin di daerah terjadi juga, Bung Hatta mengundurkan diri pada bulan Desember 1957. Akibatnya segenap pemimpin di daerah semakin khawatir dengan perkembangan politik di Jakarta. Pada bulan Januari 1958, atas usul dari Kol. Barlian maka diadakanlah pertemuan di Sungai Dareh. Pertemuan ini berlangsung dari 8-9 Januari 1958. Dihadiri oleh segenap pimpinan sipil daerah dan beberapa pimpinan politik pusat (Masyumi).
Dalam pertemuan ini para pemimpin Masyumi terperangkap dalam persekongkolan dengan AS yang sudah digarap oleh Sumitro, Simbolon, dan Sumual. Menurut Syafruddin, mereka tidak tahu sebelumnya tentang kontak-kontak Kolonel Hussein dengan CIA. Namun mereka terdesak oleh para pemimpin militer yang hadir pada saat itu.
Pada 16 Januari 1958 Bung Hatta & Bung Syahrir mengirim seorang utusan ke daerah-derah bergolak seperti Dewan Garudan di Palembang dan Dewan Banteng di Sumteng. Utusan itu ialah Djoeir Moehammad salah seorang anggota dari DPP Partai Sosialis Indonesia (PSI).
Kok bakisa duduak jan di lapiak nan sahalai
Kok bakisa tagak jan di tanah nan sabingkah
Pesan Bung Hatta dan Syarir itu adalah: ”Pergolakan-pergolakan daerah di Indonesia dewasa ini (maksudnya: waktu itu) terjadi pada saat-saat sedang hangatnya berlangsung Perang Dingin antara Blok Komunis dan Blok Barat ( termasuk Eropa Barat). Tidak tertutup kemungkinan, bahwa pergolakan daerah itu merupakan peluang bagi Blok Amerika untuk menungganginya, karena khawatir akan sikap Presiden Soekarno yang akrab dengan Blok Uni Soviet”.
Djoeir Moehamad juga menyampaikan pesan kepada Letkol Barlian, Ketua Dewan Garuda di Palembang dan Ahmad Husein, Ketua Dewan Banteng di Padang, bahwa suatu pemberontakan untuk membentuk Pemerintahan yang lain akan menimbulkan korban yang tidak sedikit, setidak-tidaknya akan mengakibatkan perkembangan daerah yang bersangkutan tertinggal selama satu generasi. Pesan ini kemudian menjadi kenyataan. Letkol Barlian di Palembang mematuhi nasihat Bung Hatta dan Syahrir ini, akan tetapi Ahmad Husein semula akan bersedia melaksanakan nasihat Bung Hatta dan Syahrir itu, tapi tampaknya waktu itu dia telah dikepung oleh teman-teman militernya, sehingga ia mengingkari nasihat Bung Hatta dan Syahrir itu.
Pada tanggal 9 Februari 1958, Badan Aksi Rakyat Sumatera Tengah (BARST) mengadakan rapat akbar di Padang untuk mendorong Ahmad Husein mengambil langkah-langkah yang bijaksana dan kuat terhadap Pemerintah Jakarta. Dalam rapat akbar itu berpidato Kol. Dahlan Jambek dan Kol. Simbolon yang kemudian rapat akbar itu mengeluarkan sebuah resolusi yang ditujukan kepada Ahmad Husein.
Sebagian besar dari isi resolusi itu yang diadopsi ke dalam ultimatum Dewan Perjuangan yang diumumkan lewat radio tanggal 10 Pebruari 1958:
* Agar Ahmad Husein mengirim tuntutan kepada Perdana Menteri Juanda dan Kabinetnya di Jakarta supaya mengembalikan mandatnya dan menunjuk Hatta dan Hamengkubowono IX sebagai formatur pembentukan Kabinet baru.
* Agar Pemerintah Pusat mencabut larangan terhadap barter.
* Agar Presiden Soekarno kembali ke UUD 1950 dalam membentuk kabinet. Jika tuntutan itu tidak dipenuhi, Ahmad Husein harus mengambil langkah-langkah bijaksana dan kuat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar