Minggu, 27 November 2011

Sejarah 1 Muharam


Satu Muharam
Sisi lain Sejarah Satu Muharam



Seiring dengan masuknya waktu magrib pada hari Sabtu tanggal 30 Zulhijjah 1432 H yang bertepatan dengan 26 November 2011 maka resmilah umat muslim memasuki bulan Muharram 1433 H. Tentunya ada yang heran kenapa bukan pada pukul 12 tengah malam seperti layaknya tahun baru masehi. Memang, dalam metode penghitungan penanggalan Muslim, berakhirnya suatu bulan akan ditandai dengan nampaknya hilal di langit senja. Metode yang mana dilakukan oleh MUI ketika hendak menentukan awal dan akhir Ramadhan. Sebenarnya hal tersebut tidak berlaku hanya pada penentuan bulan Ramadhan saja, melainkan pada setiap bulan pada kalender Islam.

Sumber foto: Internet 

Entah telah berapa Muharram yang kita lewati. Kita selalu merayakannya, ceramah-ceramah di masjid-masjid ataupun pidato dari pejabat resmi pemerintah selalu menyinggung tentang Hijrahnya nabi kita dari kampungnya Mekkah ke Madinah al Mukarramah. Penyebabnya ialah kekejaman kaum kafir Quraisy, berbagai tekanan yang dihadapi oleh umat muslim ketika itu, dan lain sebagainya. Atau tentang makna hijrah itu sendiri, yang tidak selalu makna hijrah secara fisik akan tetapi juga bathin. Dari pribadi yang kurang religius menjadi pribadi yang religius, begitulah kira-kira.

Namun pernahkah kita diberitahu, kenapa tanggal satu Muharram dijadikan sebagai awal tahun Islam, kenapa kiranya hingga Hijrahnya nabi dijadikan patokan sebagai permulaan abad Islam, dan sejak kapan penanggalan hijriyah ini mulai dikenal, apakah semenjak zaman nabi atau sudah ada semenjak sebelum kenabian beliau?

Rabu, 23 November 2011

Dewasalah, grow up..


Sebuah Renungan
Atas Kekalahan Timnas Indonesia

Kekalahan yang diderita Timnas U-23 dari Malaysia pada pertandingan Final SEA Games pada Senin malam tanggal 21 November 2011 menyisakan duka yang menyakitkan bagi sebagian besar penyuka olahraga sepakbola tanah air. Bagaimana tidak, Timnas Malaysia merupakan musuh bebuyutan yang amat dibenci oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Kenapa demikian? untuk menjawab pertanyaan ini akan menghabiskan banyak huruf dan rangkaian kata. Sebut saja perseteruan mengenai masalah perbatasan kedua negara yang tak ada ujungnya. Belum lagi klaim dari Malaysia atas beberapa budaya daerah di Indonesia. Ada pula masalah TKI yang selalu membawa duka yang menyayat hati, dan lain sebagainya.

Pendek kata, ini merupakan masalah nasional yang menyangkut harga diri bangsa. Bagaimanapun juga kekalahan ini tidak dapat diterima. Terlalu menyakitkan untuk diderita, terlalu pahit untuk dijalani, dan terlalu memalukan untuk diakui. Begitu kira-kira anggapan sebagian besar penyuka sepakbola di negeri ini.

Namun lebih daripada itu, ada banyak aspek yang ikut terlibat di dalam permainan ini, apabila sudah menyangkut rival antar dua negara bertetangga ini. Yakni aspek politik, sosial, dan budaya. Akibatnya permainan ini tidak lagi murni permainan antar dua tim melainkan peperangan antar ego dua negara. Permainan yang mana masing-masing pendukung membawa dalam setiap dirinya, bara yang siap membakar kapan saja.

Kenapa tim Indonesia bisa kalah? Siapa pula yang patut dipersalahkan atas kekalahan ini? Cukupkah dukungan sporter fanatik[1] sebagai bahan bakar bagi pemain untuk melaju kencang menuju puncak kemenangan?

Kamis, 17 November 2011

Nyanyian dalam Islam


Nyanyian dalam Islam

Baru-baru ini salah seorang kawan bertanya, “bagaimana gerangan pandangan nyanyian terutama nyanyian Islami dalam agama kita. Bukankah hal tersebut sama namanya dengan menyerupai orang-orang kafir?”

 Lebih lanjut dia bercerita kalau semasa kuliah dulu pernah dia bertanya kepada salah seorang kawannya yang Kristiani, “apa gerangan isi nyanyian di gereja?” Si kawan menjelaskan “yang kami nyanyikan ialah puji-pujian kepada Tuhan”.

Beralaskan jawaban dari kawannya tersebut, maka kawan ku yang satu ini beranggapan nyanyian Islami dianggap menyerupai umat Kristiani dalam beribadah. Berdasarkan jawaban dari kawannya tersebut maka dia sendiri yakin nyanyian dalam Islam merusak akidah, dia sendiri lebih menyukai musik-musik non Islami semacam pop, jazz, ataupun musik klasik.

Mungkin banyak diantara kita yang berpandangan demikian, alangkah baiknya jika kita menengok sejenak Sejarah Perkembangan Peradaban Islam. Hampir setiap suku bangsa di dunia (termasuk kita di Ranah Melayu ini) memiliki tradisi sastra tertulis maupun lisan, sudah menjadi kebiasaan masyarakat pada masa dahulu untuk mengubah sebuah sya’ir sebagai bentuk penghargaan tertinggi apakah itu kepada Tuhan, manusia yang dikagumi (seperti penguasa atau tokoh masyarakat), kekasih ataupun orang-orang yang dicintai, alam dan lingkungan tempat tinggal. Terkadang pula di sebagian masyarakat, para ahli sastra terutama penyair menduduki posisi terhormat dikalangan masyarakatnya.

Sebuah Pandangan terhadap Realitas Masa Kini


Tipu Daya Manusia


Sungguh aneh dunia zaman sekarang, saking anehnya aku tak tahu harus memulai tulisan ini dari mana. Bagaimana kalau ku awali saja dari salah satu percakapan ku dengan seorang kawan perihal salah satu grup “penghujat” di Facebook. Walau para pendukung dan pendiri dari grup ini menolak dengan keras kalau dikatakan bahwa mereka merupakan sekumpulan orang kurang kerjaan yang kerjanya mencari masalah dengan memperbincangkan hal-hal yang sensitif dalam kehidupan masyarakat. Namun tetap saja bagi ku mereka terlihat seperti sekelompok anak sekolah yang masih bau kencur yang belum tahu apa-apa mengenai kehidupan di dunia ini. Mencoba dengan idealisme sempit mereka berusaha melawan arus dengan mengangkat topik-topik yang sebenarnya tidak mereka pahami dengan baik.

Layaknya anak muda, mereka kasar, tak beretika, cepat marah, dan tidak ada sopan santun dalam berbicara dengan orang lain. Menganggap lawan bicara mereka bodoh dan patut diberi pencerahan. Padahal sebenarnya merekalah yang seharusnya diberi pencerahan. Namun pabila itu dilakukan kepada mereka maka akan menjadi senjata makan tuan bagi yang melakukannya. Mata mereka buta dan telinga mereka telah pekak, hati mereka telah lama mati. Mereka terlalu sombong dengan kehebatan cara berfikir mereka yang-menurut mereka-hasil dari pendidikan tinggi yang mereka peroleh.

Berpendapat tentunya boleh-boleh saja, di  zaman sekarang semua orang boleh mengeluarkan pendapat mereka. Sesuka mereka. Berbicara blak-blakan telah menjadi budaya di negeri ini. Hal itu dianggap baik karena merupakan tradisi keilmuan. Dosen saya dulu ketika masih kuliah pernah berkata “Bicara saja saudara, disini anda diperbolehkan berbicara sesuka anda, beda dengan dunia di luar sana.!” Tentunya kami menyambut dengan meriah ajakan tersebut, maka banyaklah kawan-kawan yang pada dasarnya masih belum tahu apa-apa berbicara mengenai ini dan itu. Kami diperkenalkan kepada ide-ide baru, pikiran-pikiran cemerlang, dan tradisi baru dalam usaha membenahi masyarakat di luar sana yang menurut para akademisi masih “jahiliyah”. Termasuk saya yang juga menjadi korban, berfikir sinis terhadap pemikiran yang selama ini telah mendominasi. Pada dasarnya ini baik, karena bagaimanapun juga sistim yang berlaku dan berkembang dalam masyarakat pada saat sekarang ini merupakan buah pikir manusia juga, jadi wajar jika terdapat kelemahan disana-sini. Mungkin hal inilah yang mendorong para mahasiswa idealis untuk pergi berdemo, membela kepentingan rakyat, mengkritisi pemerintah, dan berusaha mendobrak kemapaman. Tidak ada yang salah, baik, sangat baik.

Tapi sayang, beribu sayang. Yang kita hadapi ialah manusia bukan benda tak bernyawa. Tiap manusia memiliki fikiran, pendapat yang berlainan. Seperti kata pepatah; rambut boleh sama hitam, namun fikiran tentunya berlainan. Yang tidak difahami oleh para idealis ini ialah menghadapi manusia tidaklah mudah. Kita tidak dapat berteriak-teriak di depan hidung mereka, lalu mereka mendengarkan, dan setelah itu mereka berubah seperti yang kita inginkan. Tidak, sekali lagi tidak. Bangunlah duhai orang-orang dungu, keluar dari cangkang kalian, keluar dari planet kalian yang bernama “idealis”. Ini dunia nyata, hidup tidak berjalan sesuai dengan apa yang ada di benak kalian.

Selasa, 15 November 2011

Kritislah terhadap berita


Rancangan untuk Indonesia yang Sekuler

Dewasa ini “orang-orang hebat” di Jakarta sering menyebut-nyebut perihal pluralisme dan multikulturalisme. Semua ini biasanya berujung pada kebebasan beragama. Isu ini muncul melihat gejolak ketidak nyamanan dikalangan anak bangsa yang cenderung/mudah terjerumus pada konflik yang berlatar belakang ras ataupun agama. Kita sendiri tidak pernah tahu bagaimana konflik ini bermula di masa moderen ini, hanya saja kita sudah mendengar dari media perihal konflik ini. Sungguh aneh dan menyedihkan karena seiring dengan konflik antar agama muncul, maka muncul pula isu pluralisme, liberalisme, sekularisme, dan multikulturalisme. Salah seorang aktivis Kontras ketika dimintai pendapatnya oleh media menyikapi kasus pengusiran jemaat gereja di Bogor beberapa minggu yang lalu mengungkapkan bahwa ada kepentingan politik yang terlibat di dalam konflik ini.

Hal inilah rupanya selama ini terasa namun begitu sukar untuk diungkapkan. Ya.. kepentingan politik, karena seperti yang kita ketahui, gerakan politik di Indonesia saat ini mengarah pada satu titik, yakni berusaha merubah ideologi negara ini menjadi berazas pada sekularisme. Dengan menjadikan Islam sebagai sasaran tembak. Namun mereka selalu berusaha menutupi gerak-gerik mereka dengan mengemukakan alasan gombal yakni “Pancasila” yang selama ini menjadi dasar negara. Lupa mereka tampaknya pada sila pertama.

Selasa, 08 November 2011

Beribadahlah dengan sungguh-sungguh


Beretikalah di dalam Masjid..

Suatu peristiwa yang aneh, kalau tidak boleh jika disebut mengesalkan terjadi suatu ketika pada saat menunaikan Shalat Zuhur di surau. Ketika sedang asyiknya menunaikan ibadah shalat tiba-tiba terdengar bunyi telpon genggam. Walau imam tak bosan-bosannya memberi himbauan kepada para jamaah untuk mematikan (off) seluruh alat komunikasi milik mereka ketika berada dalam masjid, namun terkadang masih tetap ada saja yang lupa mematikannya.
Rupanya tidak untuk saat ini, karena jamaah yang bersangkutan sepertinya sengaja membiarkan telpon genggamnya tetap menyala selama dia berada di dalam masjid. Awalnya para jamaah mengira, dia akan mematikan atau setidaknya membiarkan sampai telponnya tersebut berhenti berdering. Rupanya tidak, dia berhenti shalat dan menjawab panggilan tersebut.
Alangkah herannya karena yang bersangkutan tidak pergi ke luar untuk menjawab panggilan telponnya melainkan tetap berada di dalam masjid hanya saja dia pergi agak ke belakang arah yang lebih dekat ke jamaah perempuan. Tentunya suaranya masih terdengar oleh jamaah lain yang sedang menunaikan ibadah Shalat Zuhur. Ketika shalat, biasanya surau atau masjid berada dalam keadaan sunyi, tentunya suara yang dibuat sekecil apapun akan terdengar oleh para jamaah. Setelah menyelesaikan percakapannya, orang yang bersangkutan tanpa ada rasa bersalah atau segan, kembali shalat. Sebelumnya dia sudah masbuq, dan sekarang tentunya dia sudah tertinggal lebih banyak raka’at shalat.

Sabtu, 05 November 2011

Lambaian dari masa dahulu II


Tulisan ini merupakan lanjutand dari tulisan edisi sebelumnya. Masih dimuat di surat kabar Soeara Boemi Poetera. 

7 Februoeari 1926

Sebagai verslag[1] dari kita punya dienstreis[2], di bawah ini dilukiskan pendengaran-pendengaran yang kira-kira boleh juga menyenangkan telinga.
1
Tuan
:
Kenapa kwee[3] datang telaat?
Engku
:
Kalau kwee datang telat, barangkali tuan sudah lapar, saya boleh tolong liat-liat dipintu, dan kalau kwee sudah datang saja boleh panggil buat tuan.[4]
Tuan
:
Nee...!! Saya tidak mau makan tetapi kwee (dengan menunjuk kepada engku) kenapa datang telat kerja?
Engku
:
O.. tuan mau bilang diri saya!? Tentu saya salah mengerti, kerna itu perkataan kwee bukan perkataan Melayu, tetapi itu cara tangsi. Lain kali tuan boleh panggil “engku” atau saya punya pangkat.
Tuan
:
Ya, saya tidak begitu bisa cara Melayu.
Engku
:
Tuan mesti ajar sedikit-sedikit, sebab tuan tinggal di Negeri Melayu.
Tuan
:
Nou!............!!!

2
Tuan
:
Kenapa waang tidak bikin kelar itu kerja?
Engku
:
Tuan! Saya sudah berpangkat penghulu dan sudah bergelar Datuk. Kurang baik kalau Tuan panggil waang di muka orang banyak.
Tuan
:
Ya, banyak susah sama orang Melayu.[5] Lihat adat orang Belanda, sedang satu anak boleh panggil jij[6] kepada Bapaknya. Gampang Bukan?
Engku
:
Kalau orang Melayu, satu anak panggil jij kepada Bapaknya, tentu anak itu masuk neraka hidup-hidup.
Tuan
:
Jadi apa saya musti panggil waang?
Engku
:
Jangan tuan ulang juga. Kalau tuan mau panggil saya, boleh sebut saya punya gelar, atau pangkat. Tuan lihat di hoofdbereau[7] S.S Padang, di sana tuan-tuan sampai mengerti Adat Melayu, kalau gelar orang Datuk dipanggil Datuk, kalau Sutan dipanggil Sutan, atau sekurang-kurangnya perkataan “engku”. Manis bukan?
Tuan
:
Jooahh!!

3
Tuan
:
Hei! Hei! (sekali lagi) Hei!
Engku
:
............ (diam saja)
Tuan
:
Hei! Hei! Apa tidak dengar?
Engku
:
Ya, saya dengar, tetapi itu “hei” bukan saya punya nama.
Tuan
:
Ach.. banyak cincong, toch dalam dienst (layanan).
Engku
:
Betul dalam dienst, tetapi pakai adat juga.





[1] Laporan
[2] Misi
[3] Bahasa Cina, artinya kamu
[4] Si Engku mengira, kalau yang dimaksudkan oleh si Tuan ialah kue.
[5] Dimasa kolonial, selain disebut dengan sebutan Orang Minangkabau secara resmi, suku bangsa Minang lebih dikenal dengan sebutan Orang Melayu.
[6] Kamu
[7] Markas Besar

Minggu, 27 November 2011

Sejarah 1 Muharam


Satu Muharam
Sisi lain Sejarah Satu Muharam



Seiring dengan masuknya waktu magrib pada hari Sabtu tanggal 30 Zulhijjah 1432 H yang bertepatan dengan 26 November 2011 maka resmilah umat muslim memasuki bulan Muharram 1433 H. Tentunya ada yang heran kenapa bukan pada pukul 12 tengah malam seperti layaknya tahun baru masehi. Memang, dalam metode penghitungan penanggalan Muslim, berakhirnya suatu bulan akan ditandai dengan nampaknya hilal di langit senja. Metode yang mana dilakukan oleh MUI ketika hendak menentukan awal dan akhir Ramadhan. Sebenarnya hal tersebut tidak berlaku hanya pada penentuan bulan Ramadhan saja, melainkan pada setiap bulan pada kalender Islam.

Sumber foto: Internet 

Entah telah berapa Muharram yang kita lewati. Kita selalu merayakannya, ceramah-ceramah di masjid-masjid ataupun pidato dari pejabat resmi pemerintah selalu menyinggung tentang Hijrahnya nabi kita dari kampungnya Mekkah ke Madinah al Mukarramah. Penyebabnya ialah kekejaman kaum kafir Quraisy, berbagai tekanan yang dihadapi oleh umat muslim ketika itu, dan lain sebagainya. Atau tentang makna hijrah itu sendiri, yang tidak selalu makna hijrah secara fisik akan tetapi juga bathin. Dari pribadi yang kurang religius menjadi pribadi yang religius, begitulah kira-kira.

Namun pernahkah kita diberitahu, kenapa tanggal satu Muharram dijadikan sebagai awal tahun Islam, kenapa kiranya hingga Hijrahnya nabi dijadikan patokan sebagai permulaan abad Islam, dan sejak kapan penanggalan hijriyah ini mulai dikenal, apakah semenjak zaman nabi atau sudah ada semenjak sebelum kenabian beliau?

Rabu, 23 November 2011

Dewasalah, grow up..


Sebuah Renungan
Atas Kekalahan Timnas Indonesia

Kekalahan yang diderita Timnas U-23 dari Malaysia pada pertandingan Final SEA Games pada Senin malam tanggal 21 November 2011 menyisakan duka yang menyakitkan bagi sebagian besar penyuka olahraga sepakbola tanah air. Bagaimana tidak, Timnas Malaysia merupakan musuh bebuyutan yang amat dibenci oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Kenapa demikian? untuk menjawab pertanyaan ini akan menghabiskan banyak huruf dan rangkaian kata. Sebut saja perseteruan mengenai masalah perbatasan kedua negara yang tak ada ujungnya. Belum lagi klaim dari Malaysia atas beberapa budaya daerah di Indonesia. Ada pula masalah TKI yang selalu membawa duka yang menyayat hati, dan lain sebagainya.

Pendek kata, ini merupakan masalah nasional yang menyangkut harga diri bangsa. Bagaimanapun juga kekalahan ini tidak dapat diterima. Terlalu menyakitkan untuk diderita, terlalu pahit untuk dijalani, dan terlalu memalukan untuk diakui. Begitu kira-kira anggapan sebagian besar penyuka sepakbola di negeri ini.

Namun lebih daripada itu, ada banyak aspek yang ikut terlibat di dalam permainan ini, apabila sudah menyangkut rival antar dua negara bertetangga ini. Yakni aspek politik, sosial, dan budaya. Akibatnya permainan ini tidak lagi murni permainan antar dua tim melainkan peperangan antar ego dua negara. Permainan yang mana masing-masing pendukung membawa dalam setiap dirinya, bara yang siap membakar kapan saja.

Kenapa tim Indonesia bisa kalah? Siapa pula yang patut dipersalahkan atas kekalahan ini? Cukupkah dukungan sporter fanatik[1] sebagai bahan bakar bagi pemain untuk melaju kencang menuju puncak kemenangan?

Kamis, 17 November 2011

Nyanyian dalam Islam


Nyanyian dalam Islam

Baru-baru ini salah seorang kawan bertanya, “bagaimana gerangan pandangan nyanyian terutama nyanyian Islami dalam agama kita. Bukankah hal tersebut sama namanya dengan menyerupai orang-orang kafir?”

 Lebih lanjut dia bercerita kalau semasa kuliah dulu pernah dia bertanya kepada salah seorang kawannya yang Kristiani, “apa gerangan isi nyanyian di gereja?” Si kawan menjelaskan “yang kami nyanyikan ialah puji-pujian kepada Tuhan”.

Beralaskan jawaban dari kawannya tersebut, maka kawan ku yang satu ini beranggapan nyanyian Islami dianggap menyerupai umat Kristiani dalam beribadah. Berdasarkan jawaban dari kawannya tersebut maka dia sendiri yakin nyanyian dalam Islam merusak akidah, dia sendiri lebih menyukai musik-musik non Islami semacam pop, jazz, ataupun musik klasik.

Mungkin banyak diantara kita yang berpandangan demikian, alangkah baiknya jika kita menengok sejenak Sejarah Perkembangan Peradaban Islam. Hampir setiap suku bangsa di dunia (termasuk kita di Ranah Melayu ini) memiliki tradisi sastra tertulis maupun lisan, sudah menjadi kebiasaan masyarakat pada masa dahulu untuk mengubah sebuah sya’ir sebagai bentuk penghargaan tertinggi apakah itu kepada Tuhan, manusia yang dikagumi (seperti penguasa atau tokoh masyarakat), kekasih ataupun orang-orang yang dicintai, alam dan lingkungan tempat tinggal. Terkadang pula di sebagian masyarakat, para ahli sastra terutama penyair menduduki posisi terhormat dikalangan masyarakatnya.

Sebuah Pandangan terhadap Realitas Masa Kini


Tipu Daya Manusia


Sungguh aneh dunia zaman sekarang, saking anehnya aku tak tahu harus memulai tulisan ini dari mana. Bagaimana kalau ku awali saja dari salah satu percakapan ku dengan seorang kawan perihal salah satu grup “penghujat” di Facebook. Walau para pendukung dan pendiri dari grup ini menolak dengan keras kalau dikatakan bahwa mereka merupakan sekumpulan orang kurang kerjaan yang kerjanya mencari masalah dengan memperbincangkan hal-hal yang sensitif dalam kehidupan masyarakat. Namun tetap saja bagi ku mereka terlihat seperti sekelompok anak sekolah yang masih bau kencur yang belum tahu apa-apa mengenai kehidupan di dunia ini. Mencoba dengan idealisme sempit mereka berusaha melawan arus dengan mengangkat topik-topik yang sebenarnya tidak mereka pahami dengan baik.

Layaknya anak muda, mereka kasar, tak beretika, cepat marah, dan tidak ada sopan santun dalam berbicara dengan orang lain. Menganggap lawan bicara mereka bodoh dan patut diberi pencerahan. Padahal sebenarnya merekalah yang seharusnya diberi pencerahan. Namun pabila itu dilakukan kepada mereka maka akan menjadi senjata makan tuan bagi yang melakukannya. Mata mereka buta dan telinga mereka telah pekak, hati mereka telah lama mati. Mereka terlalu sombong dengan kehebatan cara berfikir mereka yang-menurut mereka-hasil dari pendidikan tinggi yang mereka peroleh.

Berpendapat tentunya boleh-boleh saja, di  zaman sekarang semua orang boleh mengeluarkan pendapat mereka. Sesuka mereka. Berbicara blak-blakan telah menjadi budaya di negeri ini. Hal itu dianggap baik karena merupakan tradisi keilmuan. Dosen saya dulu ketika masih kuliah pernah berkata “Bicara saja saudara, disini anda diperbolehkan berbicara sesuka anda, beda dengan dunia di luar sana.!” Tentunya kami menyambut dengan meriah ajakan tersebut, maka banyaklah kawan-kawan yang pada dasarnya masih belum tahu apa-apa berbicara mengenai ini dan itu. Kami diperkenalkan kepada ide-ide baru, pikiran-pikiran cemerlang, dan tradisi baru dalam usaha membenahi masyarakat di luar sana yang menurut para akademisi masih “jahiliyah”. Termasuk saya yang juga menjadi korban, berfikir sinis terhadap pemikiran yang selama ini telah mendominasi. Pada dasarnya ini baik, karena bagaimanapun juga sistim yang berlaku dan berkembang dalam masyarakat pada saat sekarang ini merupakan buah pikir manusia juga, jadi wajar jika terdapat kelemahan disana-sini. Mungkin hal inilah yang mendorong para mahasiswa idealis untuk pergi berdemo, membela kepentingan rakyat, mengkritisi pemerintah, dan berusaha mendobrak kemapaman. Tidak ada yang salah, baik, sangat baik.

Tapi sayang, beribu sayang. Yang kita hadapi ialah manusia bukan benda tak bernyawa. Tiap manusia memiliki fikiran, pendapat yang berlainan. Seperti kata pepatah; rambut boleh sama hitam, namun fikiran tentunya berlainan. Yang tidak difahami oleh para idealis ini ialah menghadapi manusia tidaklah mudah. Kita tidak dapat berteriak-teriak di depan hidung mereka, lalu mereka mendengarkan, dan setelah itu mereka berubah seperti yang kita inginkan. Tidak, sekali lagi tidak. Bangunlah duhai orang-orang dungu, keluar dari cangkang kalian, keluar dari planet kalian yang bernama “idealis”. Ini dunia nyata, hidup tidak berjalan sesuai dengan apa yang ada di benak kalian.

Selasa, 15 November 2011

Kritislah terhadap berita


Rancangan untuk Indonesia yang Sekuler

Dewasa ini “orang-orang hebat” di Jakarta sering menyebut-nyebut perihal pluralisme dan multikulturalisme. Semua ini biasanya berujung pada kebebasan beragama. Isu ini muncul melihat gejolak ketidak nyamanan dikalangan anak bangsa yang cenderung/mudah terjerumus pada konflik yang berlatar belakang ras ataupun agama. Kita sendiri tidak pernah tahu bagaimana konflik ini bermula di masa moderen ini, hanya saja kita sudah mendengar dari media perihal konflik ini. Sungguh aneh dan menyedihkan karena seiring dengan konflik antar agama muncul, maka muncul pula isu pluralisme, liberalisme, sekularisme, dan multikulturalisme. Salah seorang aktivis Kontras ketika dimintai pendapatnya oleh media menyikapi kasus pengusiran jemaat gereja di Bogor beberapa minggu yang lalu mengungkapkan bahwa ada kepentingan politik yang terlibat di dalam konflik ini.

Hal inilah rupanya selama ini terasa namun begitu sukar untuk diungkapkan. Ya.. kepentingan politik, karena seperti yang kita ketahui, gerakan politik di Indonesia saat ini mengarah pada satu titik, yakni berusaha merubah ideologi negara ini menjadi berazas pada sekularisme. Dengan menjadikan Islam sebagai sasaran tembak. Namun mereka selalu berusaha menutupi gerak-gerik mereka dengan mengemukakan alasan gombal yakni “Pancasila” yang selama ini menjadi dasar negara. Lupa mereka tampaknya pada sila pertama.

Selasa, 08 November 2011

Beribadahlah dengan sungguh-sungguh


Beretikalah di dalam Masjid..

Suatu peristiwa yang aneh, kalau tidak boleh jika disebut mengesalkan terjadi suatu ketika pada saat menunaikan Shalat Zuhur di surau. Ketika sedang asyiknya menunaikan ibadah shalat tiba-tiba terdengar bunyi telpon genggam. Walau imam tak bosan-bosannya memberi himbauan kepada para jamaah untuk mematikan (off) seluruh alat komunikasi milik mereka ketika berada dalam masjid, namun terkadang masih tetap ada saja yang lupa mematikannya.
Rupanya tidak untuk saat ini, karena jamaah yang bersangkutan sepertinya sengaja membiarkan telpon genggamnya tetap menyala selama dia berada di dalam masjid. Awalnya para jamaah mengira, dia akan mematikan atau setidaknya membiarkan sampai telponnya tersebut berhenti berdering. Rupanya tidak, dia berhenti shalat dan menjawab panggilan tersebut.
Alangkah herannya karena yang bersangkutan tidak pergi ke luar untuk menjawab panggilan telponnya melainkan tetap berada di dalam masjid hanya saja dia pergi agak ke belakang arah yang lebih dekat ke jamaah perempuan. Tentunya suaranya masih terdengar oleh jamaah lain yang sedang menunaikan ibadah Shalat Zuhur. Ketika shalat, biasanya surau atau masjid berada dalam keadaan sunyi, tentunya suara yang dibuat sekecil apapun akan terdengar oleh para jamaah. Setelah menyelesaikan percakapannya, orang yang bersangkutan tanpa ada rasa bersalah atau segan, kembali shalat. Sebelumnya dia sudah masbuq, dan sekarang tentunya dia sudah tertinggal lebih banyak raka’at shalat.

Sabtu, 05 November 2011

Lambaian dari masa dahulu II


Tulisan ini merupakan lanjutand dari tulisan edisi sebelumnya. Masih dimuat di surat kabar Soeara Boemi Poetera. 

7 Februoeari 1926

Sebagai verslag[1] dari kita punya dienstreis[2], di bawah ini dilukiskan pendengaran-pendengaran yang kira-kira boleh juga menyenangkan telinga.
1
Tuan
:
Kenapa kwee[3] datang telaat?
Engku
:
Kalau kwee datang telat, barangkali tuan sudah lapar, saya boleh tolong liat-liat dipintu, dan kalau kwee sudah datang saja boleh panggil buat tuan.[4]
Tuan
:
Nee...!! Saya tidak mau makan tetapi kwee (dengan menunjuk kepada engku) kenapa datang telat kerja?
Engku
:
O.. tuan mau bilang diri saya!? Tentu saya salah mengerti, kerna itu perkataan kwee bukan perkataan Melayu, tetapi itu cara tangsi. Lain kali tuan boleh panggil “engku” atau saya punya pangkat.
Tuan
:
Ya, saya tidak begitu bisa cara Melayu.
Engku
:
Tuan mesti ajar sedikit-sedikit, sebab tuan tinggal di Negeri Melayu.
Tuan
:
Nou!............!!!

2
Tuan
:
Kenapa waang tidak bikin kelar itu kerja?
Engku
:
Tuan! Saya sudah berpangkat penghulu dan sudah bergelar Datuk. Kurang baik kalau Tuan panggil waang di muka orang banyak.
Tuan
:
Ya, banyak susah sama orang Melayu.[5] Lihat adat orang Belanda, sedang satu anak boleh panggil jij[6] kepada Bapaknya. Gampang Bukan?
Engku
:
Kalau orang Melayu, satu anak panggil jij kepada Bapaknya, tentu anak itu masuk neraka hidup-hidup.
Tuan
:
Jadi apa saya musti panggil waang?
Engku
:
Jangan tuan ulang juga. Kalau tuan mau panggil saya, boleh sebut saya punya gelar, atau pangkat. Tuan lihat di hoofdbereau[7] S.S Padang, di sana tuan-tuan sampai mengerti Adat Melayu, kalau gelar orang Datuk dipanggil Datuk, kalau Sutan dipanggil Sutan, atau sekurang-kurangnya perkataan “engku”. Manis bukan?
Tuan
:
Jooahh!!

3
Tuan
:
Hei! Hei! (sekali lagi) Hei!
Engku
:
............ (diam saja)
Tuan
:
Hei! Hei! Apa tidak dengar?
Engku
:
Ya, saya dengar, tetapi itu “hei” bukan saya punya nama.
Tuan
:
Ach.. banyak cincong, toch dalam dienst (layanan).
Engku
:
Betul dalam dienst, tetapi pakai adat juga.





[1] Laporan
[2] Misi
[3] Bahasa Cina, artinya kamu
[4] Si Engku mengira, kalau yang dimaksudkan oleh si Tuan ialah kue.
[5] Dimasa kolonial, selain disebut dengan sebutan Orang Minangkabau secara resmi, suku bangsa Minang lebih dikenal dengan sebutan Orang Melayu.
[6] Kamu
[7] Markas Besar