Selasa, 05 Juli 2011

hidup sederhana lebih baik


Hikmah Bagi Kota Kecil

Pada apel bulanan di halaman Balaikota kemarin, Walikota Sawahlunto Bapak Amran Nur memberikan kabar yang membahagiakan yakni Sawahlunto mendapat urutan nomor dua dari bawah untuk angka kemiskinan. Untuk seluruh pemerintah tingkat dua se Indonesia, Sawahlunto lebih baik dalam hal pemerataan ekonomi dengan tingkat kemiskinan hanya 2%. Padahal, menurut Pak Wali beberapa daerah tingkat dua lainnya di Sumatera Barat ada yang mencapai angka hingga 12%.

Banyak juga yang beranggapan bahwa hal ini wajar untuk kota kecil seperti Sawahlunto, tapi benarkah demikian? Secara administratif kota ini memiliki luas 27.344,7 H atau 273 Km2[1] membentang dari Talawi hingga Silungkang dan Muarokalaban. Mungkin yang dimaksud dengan kota kecil ialah pusat kota yang merupakan wilayah kota lama sebelum pemekaran yang hanya berluas 5,86 Km2[2]. Banyak yang telah salah paham terhadap Sawahlunto. Atau mungkin mencemooh, kok sebagian besar wilayah kota masih bernuasa pedesaan?


Anggapan umum yang dianut oleh sebagian besar masyarakat kita ialah kalau daerah tersebut kaya, banyak perkebunan dan barang tambang maka otomatis daerah tersebut makmur. Saya tidak ingin menyalahkan, akan tetapi cobalah kita lihat kenyataannya apakah demikian? Kemakmuran hanya dinikmati segelintir orang yang berada dalam lingkar teratas dalam kekuasaan. Sedangkan nasib rakyat bawah?

Dahulunya memang kota ini merupakan kota tambang, namun semenjak tahun 2003 aktivitas pertambangan sudah mulai berhenti, pemerintah kota mulai mengalihkan ke industri pariwisata yang hingga saat ini masih dalam tahap pembangunan.

Daerah yang memiliki PAD yang rendah atau rata-rata tidak perlu malu akan hal tersebut. Sejarah telah membuktikan kalau “uang” selain dapat mendatangkan kebahagiaan akan tetapi lebih banyak mendatangkan bencana. Karena uang tali persaudaraan atau silaturahmi dapat putus, karena uang orang dapat saling bunuh, karena uang orang menggadaikan harga dirinya, karena uang rasa malu menjadi hilang. Saya tidak ingin menjustifikasi karena semua itu kembali ke pribadi masing-masing, namun yang hendak saya sampaikan ialah kalau kebanyakan dari kita pada masa sekarang tidak tahan menghadapi godaan uang.

Kekayaan yang sebenarnya dapat digunakan untuk mensejahterakan rakyat hanya terdapat diaatas kertas, dalam undang-undang dan berbagai peraturan yang dikeluarkan oleh penguasa. Kenyataannya uang tersebut hanya dinikmati oleh segelintir elit yang berada di lingkar kekuasaan. Banyak uang, banyak yang dikorupsi akan tetapi sedikit uang tak ada yang akan dikorupsi begitulah tanggapan beberapa orang ketika saya kemukan pendapat yang demikian. Syukurilah apa yang ada, karena Allah memberikan yang terbaik untuk umatnya, hanya saja sebagian besar dari kita tidak mamahami dan mensyukuri serta selalu meminta lebih seperti yang terjadi pada Sya’labah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Selasa, 05 Juli 2011

hidup sederhana lebih baik


Hikmah Bagi Kota Kecil

Pada apel bulanan di halaman Balaikota kemarin, Walikota Sawahlunto Bapak Amran Nur memberikan kabar yang membahagiakan yakni Sawahlunto mendapat urutan nomor dua dari bawah untuk angka kemiskinan. Untuk seluruh pemerintah tingkat dua se Indonesia, Sawahlunto lebih baik dalam hal pemerataan ekonomi dengan tingkat kemiskinan hanya 2%. Padahal, menurut Pak Wali beberapa daerah tingkat dua lainnya di Sumatera Barat ada yang mencapai angka hingga 12%.

Banyak juga yang beranggapan bahwa hal ini wajar untuk kota kecil seperti Sawahlunto, tapi benarkah demikian? Secara administratif kota ini memiliki luas 27.344,7 H atau 273 Km2[1] membentang dari Talawi hingga Silungkang dan Muarokalaban. Mungkin yang dimaksud dengan kota kecil ialah pusat kota yang merupakan wilayah kota lama sebelum pemekaran yang hanya berluas 5,86 Km2[2]. Banyak yang telah salah paham terhadap Sawahlunto. Atau mungkin mencemooh, kok sebagian besar wilayah kota masih bernuasa pedesaan?


Anggapan umum yang dianut oleh sebagian besar masyarakat kita ialah kalau daerah tersebut kaya, banyak perkebunan dan barang tambang maka otomatis daerah tersebut makmur. Saya tidak ingin menyalahkan, akan tetapi cobalah kita lihat kenyataannya apakah demikian? Kemakmuran hanya dinikmati segelintir orang yang berada dalam lingkar teratas dalam kekuasaan. Sedangkan nasib rakyat bawah?

Dahulunya memang kota ini merupakan kota tambang, namun semenjak tahun 2003 aktivitas pertambangan sudah mulai berhenti, pemerintah kota mulai mengalihkan ke industri pariwisata yang hingga saat ini masih dalam tahap pembangunan.

Daerah yang memiliki PAD yang rendah atau rata-rata tidak perlu malu akan hal tersebut. Sejarah telah membuktikan kalau “uang” selain dapat mendatangkan kebahagiaan akan tetapi lebih banyak mendatangkan bencana. Karena uang tali persaudaraan atau silaturahmi dapat putus, karena uang orang dapat saling bunuh, karena uang orang menggadaikan harga dirinya, karena uang rasa malu menjadi hilang. Saya tidak ingin menjustifikasi karena semua itu kembali ke pribadi masing-masing, namun yang hendak saya sampaikan ialah kalau kebanyakan dari kita pada masa sekarang tidak tahan menghadapi godaan uang.

Kekayaan yang sebenarnya dapat digunakan untuk mensejahterakan rakyat hanya terdapat diaatas kertas, dalam undang-undang dan berbagai peraturan yang dikeluarkan oleh penguasa. Kenyataannya uang tersebut hanya dinikmati oleh segelintir elit yang berada di lingkar kekuasaan. Banyak uang, banyak yang dikorupsi akan tetapi sedikit uang tak ada yang akan dikorupsi begitulah tanggapan beberapa orang ketika saya kemukan pendapat yang demikian. Syukurilah apa yang ada, karena Allah memberikan yang terbaik untuk umatnya, hanya saja sebagian besar dari kita tidak mamahami dan mensyukuri serta selalu meminta lebih seperti yang terjadi pada Sya’labah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar