Kamis, 24 Mei 2012

Sedikit Mengenai Nagari Bonjol


Melancong Ke Nagari Bonjo[1]
(Negeri Bonjol)
Museum Tuanku Imam Bonjol
Apa yang terbayang dibenak tuan dan engku pabila kami menyebut nama Bonjo atau Bonjol? Tentunya Tuanku Imam Bonjol sang pahlawan Perang Paderi. Tidak banyak yang tahu, terutama orang-orang yang berasal dari luar Minangkabau bahwa nama Bonjol sesungguhnya ialah nama salah satu negeri di pedalaman Minangkabau. Nama negeri ini dinisbatkan pada Peto Syarif yang menjadi Imam atau pemuka agama yang pada saat itu merupakan pucuk tertinggi pimpinan politik di negeri tersebut. Peto Syarif ialah nama aslinya sedangkan Imam Bonjol merupakan nama gelar yang disematkan kepada dirinya.
Negeri ini dilalui oleh Jalan Lintas Sumatera, yakni jalan yang dilalui pabila tuan hendak menuju Sumatera Utara. Terletak 50 km sebelah utara Kota Bukittinggi. Dari Bukittinggi tuan akan melalui jalan berliku membelah Pegunungan Bukit Barisan. Hati-hati tuan, akan jarang tuan temui jalan yang lurus dan datar, namanya juga pegunungan. Namun pemandangan yang disajikan sepadan dengan kesulitan yang tuan hadapi. Berhentilah agak sejenak pada beberapa titik untuk menikmati keindahan pemandangan Alam Minangkabau. Tuan takkan menyesal,..
Di Nagari Bonjo atau Bonjol ini terdapat sebuah museum yang dibuat untuk mengenang perjuangan Tuanku Imam (begitu biasa beliau dipanggil) dalam menegakkan Hukum Syari’at di Tanah Minangkabau. terletak pada lapangan yang cukup luas. Pada kawasan ini juga terdapat sebuah tugu berbentuk bola dunia sebagai penanda batas garis khatulistiwa. Negeri Bonjol dilalui oleh garis khayal khatulistiwa atau equator bahasa Inggrisnya.
Di depan bangunan museum akan tuan temui patung Tuanku Imam sedang menunggang kuda. Pada tugu tersebut tertulis “MONUMEN TUANKU IMAM BONJOL (PETO SYARIF) 1772-1864. PEMIMPIN PERANG PADERI 1821-1837”
Tugu Tuanku Imam Bonjol
Cukup mengherankan juga bahwa di negeri ini terdapat patung Tuanku Imam sebab mengingat dalam ajaran Islam sama sekali tidak diperbolehkan membuat patung. Apakah ini suatu pertanda bahwa tingkat pemahaman Agama Islam pada orang Minangkabau semakin menipis pada masa sekarang? Mungkin juga tidak, sebab tujuan dibuat patung ini tentunya berbeda pula. Apakah benar untuk mengenang perjuangan Tuanku Imam semata? Atau ada alasan lain oleh Pemerintah Daerah? Wallahu’alam..
Keadaan taman dan museum Tuanku Imam boleh dikatakan tidak terawat disaat kami mengunjungi tempat ini. Tuan tengok sendiri pada tugu (monumen) Tuanku Imam, tak patut pula kami terangkan bukan? Museum sedang keadaan tertutup ketika kami sampai di sana, padahal saat itu hari Ahad, hari libur. Keadaan kebersihan juga kurang terjaga, terdapat beberapa kerusakan pada bangunan gedung museum.
Namun yang sangat memprihatinkan ialah kawasan ini juga dijadikan sebagai tempat memadu kasih bagi sebagian anak muda. Walaupun sejauh pemandangan kami tidak melihat adanya hukum syari’at (kalau boleh dikatakan berpacaran tidak bertentangan dengan Hukum Syari’at) yang dilanggar oleh pasangan kekasih yang sedang memadu cinta di kawasan ini. Namun hal tersebut tak urung membuat kami mencela dalam hati. Bukankah ini Negerinya Tuanku Imam Sang Pahlawan Syari’at Islam, terlebih kali ini kawasan museum beliau pula..!

Tugu Khatulistiwa
Mungkin inipulalah akibat (kosekuensi) yang harus ditanggung pabila kita telah membuat suatu kawasan tempat pelancongan (wisata). Walau bagaimana pun kawasan wisata tidak dapat dilepaskan dengan kegiatan berpacaran. Namun elokkah itu tuan?
Mungkin bagi tuan yang menganut paham hedonis dan tidak terlalu ambil pusing dengan berbagai aturan dalam adat maupun agama akan menjawab “Ah.. biasa itu..!” ya.. sudah banyak mulut yang mengeluarkan pernyataan semacam itu tuan. Akan tetapi yang biasa pada masa sekarang hendaknya kita pulangkan pada aturan dalam agama dan adat kita. Itu sebagai pertanda bahwa kita orang yang berfikir (terdidik).
Kalau tuan menjawab lagi “Bukankah orang disana sama sekali tidak mempermasalahkan, kenapa pula tuan yang nyinyir mengenai perkara ini..!?
Benar tuan, orang disana tampaknya tidak mempermasalahkan perkara ini. Namun sudahkah kita teliti dulu kenapa mereka terlihat membiarkan saja? Cobalah ditanya dulu? Sejauh pengatahuan kami dalam menghadapi perkara semacam ini, alasan orang sekarang sangatlah beragam, mulai dari “Tak hendak ikut campur urusan orang” lazimnya jawaban orang-orang kota (liberal) masa sekarang.
Ada juga yang menjawab “Takut saya tuan, nanti mereka marah kepada kami, anak muda sekarang banyak yang kurang ajar kepada orang tua
Remaja Belia Sedang Memadu Kasih
atau “Nanti marah keluarganya kepada kami, mereka saja yang telah memberi makan tidak pernah memarahi lalu kenapa kami pula yang berani-beraninya memarahi mereka?
ada lagi “Kami tak hendak disebut fanatik tuan, maklumlah zaman sekarang jika kita bercakap perihal Hukum Syari’at dikata teroris oleh orang. “Negara ini negara bebas bukan negara agama” kata mereka” dan banyak lagi duhai tuan alasannya..
Begitulah tuan pengalaman kami mengunjungi negeri Tuanku Imam. Sebuah negeri di pedalaman Minangkabau. Sayang kami tidak memiliki waktu yang cukup untuk melancong lebih lama. Besar sekali keinginan kami untuk mengunjungi sebuah bukit yang menjadi benteng pertahanan terakhir Tuanku Imam. Namun tak apalah, mungkin ini suatu pertanda bahwa negeri ini kembali mengundang kami untuk mengunjunginya dilain waktu, Insya Allah..
Mudah-mudahan kisah kami ini dapat memberi hikmah dan pelajaran bagi tuan, puan, engku, dan encik sidang pembaca sekalian. Kami tentunya paham bahwa ada juga yang tidak sependapat dengan kami, silahkan. Kami hanya sekadar menunaikan kewajiban kami sebagai seorang muslim. Mudah-mudahan berkenan ke hadapan tuan, pabila tidak kami do’akan semoga Allah Ta’ala membukakan Pintu Hidayahnya buat tuan sekalian...

[1] Penduduk Minangkabau lebih mengenal nagari ini dengan nama Bonjo. Sedangkan Bonjol merupakan pengindonesiaan dari nama negeri ini. Sama kiranya dangan Luhak Limo Puluah Koto menjadi Luhak Lima Puluh Kota, serta beberapa nama negeri lainnya di Minangkabau.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kamis, 24 Mei 2012

Sedikit Mengenai Nagari Bonjol


Melancong Ke Nagari Bonjo[1]
(Negeri Bonjol)
Museum Tuanku Imam Bonjol
Apa yang terbayang dibenak tuan dan engku pabila kami menyebut nama Bonjo atau Bonjol? Tentunya Tuanku Imam Bonjol sang pahlawan Perang Paderi. Tidak banyak yang tahu, terutama orang-orang yang berasal dari luar Minangkabau bahwa nama Bonjol sesungguhnya ialah nama salah satu negeri di pedalaman Minangkabau. Nama negeri ini dinisbatkan pada Peto Syarif yang menjadi Imam atau pemuka agama yang pada saat itu merupakan pucuk tertinggi pimpinan politik di negeri tersebut. Peto Syarif ialah nama aslinya sedangkan Imam Bonjol merupakan nama gelar yang disematkan kepada dirinya.
Negeri ini dilalui oleh Jalan Lintas Sumatera, yakni jalan yang dilalui pabila tuan hendak menuju Sumatera Utara. Terletak 50 km sebelah utara Kota Bukittinggi. Dari Bukittinggi tuan akan melalui jalan berliku membelah Pegunungan Bukit Barisan. Hati-hati tuan, akan jarang tuan temui jalan yang lurus dan datar, namanya juga pegunungan. Namun pemandangan yang disajikan sepadan dengan kesulitan yang tuan hadapi. Berhentilah agak sejenak pada beberapa titik untuk menikmati keindahan pemandangan Alam Minangkabau. Tuan takkan menyesal,..
Di Nagari Bonjo atau Bonjol ini terdapat sebuah museum yang dibuat untuk mengenang perjuangan Tuanku Imam (begitu biasa beliau dipanggil) dalam menegakkan Hukum Syari’at di Tanah Minangkabau. terletak pada lapangan yang cukup luas. Pada kawasan ini juga terdapat sebuah tugu berbentuk bola dunia sebagai penanda batas garis khatulistiwa. Negeri Bonjol dilalui oleh garis khayal khatulistiwa atau equator bahasa Inggrisnya.
Di depan bangunan museum akan tuan temui patung Tuanku Imam sedang menunggang kuda. Pada tugu tersebut tertulis “MONUMEN TUANKU IMAM BONJOL (PETO SYARIF) 1772-1864. PEMIMPIN PERANG PADERI 1821-1837”
Tugu Tuanku Imam Bonjol
Cukup mengherankan juga bahwa di negeri ini terdapat patung Tuanku Imam sebab mengingat dalam ajaran Islam sama sekali tidak diperbolehkan membuat patung. Apakah ini suatu pertanda bahwa tingkat pemahaman Agama Islam pada orang Minangkabau semakin menipis pada masa sekarang? Mungkin juga tidak, sebab tujuan dibuat patung ini tentunya berbeda pula. Apakah benar untuk mengenang perjuangan Tuanku Imam semata? Atau ada alasan lain oleh Pemerintah Daerah? Wallahu’alam..
Keadaan taman dan museum Tuanku Imam boleh dikatakan tidak terawat disaat kami mengunjungi tempat ini. Tuan tengok sendiri pada tugu (monumen) Tuanku Imam, tak patut pula kami terangkan bukan? Museum sedang keadaan tertutup ketika kami sampai di sana, padahal saat itu hari Ahad, hari libur. Keadaan kebersihan juga kurang terjaga, terdapat beberapa kerusakan pada bangunan gedung museum.
Namun yang sangat memprihatinkan ialah kawasan ini juga dijadikan sebagai tempat memadu kasih bagi sebagian anak muda. Walaupun sejauh pemandangan kami tidak melihat adanya hukum syari’at (kalau boleh dikatakan berpacaran tidak bertentangan dengan Hukum Syari’at) yang dilanggar oleh pasangan kekasih yang sedang memadu cinta di kawasan ini. Namun hal tersebut tak urung membuat kami mencela dalam hati. Bukankah ini Negerinya Tuanku Imam Sang Pahlawan Syari’at Islam, terlebih kali ini kawasan museum beliau pula..!

Tugu Khatulistiwa
Mungkin inipulalah akibat (kosekuensi) yang harus ditanggung pabila kita telah membuat suatu kawasan tempat pelancongan (wisata). Walau bagaimana pun kawasan wisata tidak dapat dilepaskan dengan kegiatan berpacaran. Namun elokkah itu tuan?
Mungkin bagi tuan yang menganut paham hedonis dan tidak terlalu ambil pusing dengan berbagai aturan dalam adat maupun agama akan menjawab “Ah.. biasa itu..!” ya.. sudah banyak mulut yang mengeluarkan pernyataan semacam itu tuan. Akan tetapi yang biasa pada masa sekarang hendaknya kita pulangkan pada aturan dalam agama dan adat kita. Itu sebagai pertanda bahwa kita orang yang berfikir (terdidik).
Kalau tuan menjawab lagi “Bukankah orang disana sama sekali tidak mempermasalahkan, kenapa pula tuan yang nyinyir mengenai perkara ini..!?
Benar tuan, orang disana tampaknya tidak mempermasalahkan perkara ini. Namun sudahkah kita teliti dulu kenapa mereka terlihat membiarkan saja? Cobalah ditanya dulu? Sejauh pengatahuan kami dalam menghadapi perkara semacam ini, alasan orang sekarang sangatlah beragam, mulai dari “Tak hendak ikut campur urusan orang” lazimnya jawaban orang-orang kota (liberal) masa sekarang.
Ada juga yang menjawab “Takut saya tuan, nanti mereka marah kepada kami, anak muda sekarang banyak yang kurang ajar kepada orang tua
Remaja Belia Sedang Memadu Kasih
atau “Nanti marah keluarganya kepada kami, mereka saja yang telah memberi makan tidak pernah memarahi lalu kenapa kami pula yang berani-beraninya memarahi mereka?
ada lagi “Kami tak hendak disebut fanatik tuan, maklumlah zaman sekarang jika kita bercakap perihal Hukum Syari’at dikata teroris oleh orang. “Negara ini negara bebas bukan negara agama” kata mereka” dan banyak lagi duhai tuan alasannya..
Begitulah tuan pengalaman kami mengunjungi negeri Tuanku Imam. Sebuah negeri di pedalaman Minangkabau. Sayang kami tidak memiliki waktu yang cukup untuk melancong lebih lama. Besar sekali keinginan kami untuk mengunjungi sebuah bukit yang menjadi benteng pertahanan terakhir Tuanku Imam. Namun tak apalah, mungkin ini suatu pertanda bahwa negeri ini kembali mengundang kami untuk mengunjunginya dilain waktu, Insya Allah..
Mudah-mudahan kisah kami ini dapat memberi hikmah dan pelajaran bagi tuan, puan, engku, dan encik sidang pembaca sekalian. Kami tentunya paham bahwa ada juga yang tidak sependapat dengan kami, silahkan. Kami hanya sekadar menunaikan kewajiban kami sebagai seorang muslim. Mudah-mudahan berkenan ke hadapan tuan, pabila tidak kami do’akan semoga Allah Ta’ala membukakan Pintu Hidayahnya buat tuan sekalian...

[1] Penduduk Minangkabau lebih mengenal nagari ini dengan nama Bonjo. Sedangkan Bonjol merupakan pengindonesiaan dari nama negeri ini. Sama kiranya dangan Luhak Limo Puluah Koto menjadi Luhak Lima Puluh Kota, serta beberapa nama negeri lainnya di Minangkabau.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar