Kamis, 16 Juni 2011

Sebuah tanggapan dari seorang amatir


Sang Pencerah
Antara Realita & Fiksi


Telah banyak berbagai ajang pencarian bakat diadakan di republik ini, berbagai stasiun TV merasa diuntungkan dengan banyaknya peminat, iklan, dan tentu saja kerja sama dengan operator telfon seluler. Acara ini dibuat dengan menjual mimpi untuk menjadi orang terkenal, menjadi selebritis. Siapa gerangan yang tak ingin terkenal, dikejar wartawan, masuk tv, hidup mewah dalam kelas societet, dan menjadi orang penting. Banyak anak-anak muda yang masih lugu memandang dunia dari segi keindahannya saja, terperdaya, banyak orang tua dan keluarga yang tergoda ingin hidup seperti hidupnya artis sintetron pujaan mereka.

Sumber Foto: danyhidayatapjautaman.blogspot.com
Kalau boleh dipersentasikan, jumlah orang-orang yang ingin terkenal justeru lebih banyak daripada orang yang memutuskan untuk hidup sederhana apa adanya. Keinginan untuk menjadi terkenal membuat orang menempuh segala daya dan upaya, tak peduli apakah baik atau buruk, terpuji atau terlarangkah dalam pandangan masyarakatnya. Bahkan untuk menjadi terkenal, beberapa orang yang telah kehilangan kewarasannya tak segan-segan menghujat agama yang selama ini mereka anut. Dengan lancangnya keluar dari mulut mereka kata-kata; Ulama tidak berhak menghalal dan mengharamkan segala sesuatu.


Saya tak hendak membahas mengenai keadaan masyarakat Indonesia yang sedang labil, diambang keruntuhan dari segi moral dan penurunan dalam sisi religius. Tiap hari makin banyak bermunculan orang-orang yang menghujat agama dengan dalih kebebasan, persamaan, dan keberagaman. Apakah itu melalui media cetak seperti koran dan majalah, elektronik: tv, radio, internet, atau bidang seni (puisi, lagu, novel, dan perfileman). Sesungguhnya hal tersebut masih baru di Indonesia, namun sebenarnya hal ini telah lama berlaku di barat, dimana agama menjadi bahan lelucon bagi kebanyakan manusia.

Sedikit Perkenalan dengan Hanung

Telah lama kawan saya mendorong untuk menonton filem karya Hanung Bramantyo ini, namun saya tak memiliki minat untuk menonton sebuah filem yang katanya bagus. Sebagai orang Minangkabau, saya tak tahu apakah saya ini seorang Muhammadiyah atau bukan. Yang saya ketahui, selalu ada yang aneh dengan hati ini apabila mendengar perihal Muhammadiyah dan hal-hal yang terjadi disekelilingnya. Banyak orang Muhammadiyah di Sumatera Barat terlihat tertarik dengan filem ini, bahkan kantor Muhammadiyah di Padang sempat berusaha mengadakan “nonton basamo” filem ini, walau belakangan saya dengar batal karena jumlah kuota yang diharapkan tidak terpenuhi.

Sang Pencerah, judul yang aneh dan ketika saya ketahui bahwa filem ini mengisahkan kehidupan pendiri Muhammadiyah KH. Ahmad Dahlan, saya mulai merasa ada sesuatu. Hal ini tentunya menjadi bertambah ketika saya ketahui bahwa yang menyutradarai filem ini ialah seorang sutradara yang sedikit banyaknya telah saya dengar sepak terjangnya. Sebagai seorang yang berlatar belakang pendidikan dibidang sejarah, saya telah terbiasa untuk tidak melihat setiap fenomena dari apa yang terlihat atau diperlihatkan kepada kita. Dalam salah satu mata kuliah kami dulu yakni Bibliografi, kami diajarkan untuk melakukan psikoanalisis dalam menelaah suatu sumber sejarah. Pelajari penulisnya: siapa dia, kapan dia lahir, riwayat pendidikan, agama, kenapa dia mengambil judul tersebut dalam karyanya, kenapa dan kapan dia mulai menulis, kapan dan kenapa pada tahun tersebut diterbitkan karyanya, dan apa-apa saja karyanya terdahulu.

Terus terang saya sangat menyukai dua file Hanung terdauhulu yakni “Catatan Akhir Sekolah” dan “Jomblo”. Namun ketika melangkah ke tahap selanjutnya yakni “Ayat ayat Cinta”, kemudian “Perempuan Berkalung Sorban” saya mulai memahami seperti apa gerangan Hanung, kemana arah pemikirannya dan apa yang sedang diperjuangkannya. Saya juga pernah mendengar kabar kalau Hanung sempat memberikan tanda tangannya dalam semacam “petisi” untuk membubarkan lembaga sensor filem bersama beberapa sutradara lainnya. Berbagai pendapatnya yang saya lihat dibeberapa media, bagi saya semakin memperjelas arah pemikirannya.

Saya akui, Hanung merupakan salah satu sutradara berbakat, berpotensi, dan pintar. Terbukti beberapa filemnya belakangan ini berbuah sukses. Kontroversi atas beberapa filemnya justeru membawa berkah, Hanung semakin dikenal dan diakui sebagai salah satu sutradara besar di negeri ini. Tentu saja peran media sebagai “pengontrol opini publik” sangat berperan dalam membesarkan Hanung. Saya sendiri termasuk dari segelintir orang yang tidak mempercayai media, karena dalam setiap pemberitaan yang disampaikan tidak mengandung objektivitas. Para pemirsa diperlakukan seperti anak ingusan yang harus diarahkan kemana meraka akan melangkah, apa yang harus mereka lakukan dan bagaimana cara mereka berfikir. Dan itu semua terselimuti dengan nuansa intelektualitas yang dilabelkan terhadap media terntentu sebagai penyampai berita berkompetan dan teraktual.

Sang Pencerah: Sebuah filem yang memukau

Saya tidak begitu faham dengan dunia sinematografi, tapi izinan saya memberikan pujian atas filem “Sang Pencerah” yang menurut saya dalam segi akting para pelakon, pengambilan gambar, cara menggambarkan situasi pada masa itu, jalan cerita, musik latar, dan sebagainya sangat memuaskan. Sama seperti sutradaranya, filem ini bukanlah filem murahan yang mudah ditebak jalan ceritanya. Walau sebagian orang sudah tahu bagaimana jalan ceritanya (karena mereka mengetahui sejarah hidup Ahmad Dahlan) namun filem ini memiliki daya pikatnya tersendiri. Berbagai dialog yang terjadi antara aktor bagi saya terasa hidup dan begitu mengena.

Akan halnya buku, lagu, puisi, ataupun novel, filem inipun saya rasa mengandung pesan. Setiap karya manusia sesungguhnya mengandung unsur subjektifitas dari pengarang, pencipta, atau dalam hal ini sang sutradara. Namun kebanyakan penggemar (apakah itu lagu, puisi, novel, ataupun filem) hanya sekedar menikmati tanpa memahami makna dibalik karya yang mereka nikmati tersebut. Kebanyakan dari mereka tanpa sadar menganggap karya yang mereka nikmati tersebut mengandung kebenaran tanpa terlebih dahulu mengkritisi atau menelaahnya.

Sebagai sebuah karya seni Filem Sang Pencerah adalah sebuah karya yang sangat bagus. Tak heran jika kawan saya begitu gigih menyuruh saya menonton filem ini. Ketika saya mulai menonton filem ini, saya mulai merasakan konflik ideologi dan pemikiran yang terjadi dalam agama Islam saat ini serasa ikut terbawa dalam filem ini. Saya sendiri merasa heran, berbagai dialog yang terjadi dalam filem ini apakah berdasarkan fakta dan bukti sejarah ataukah hanya sekadar imajinasi dari penulis skenario.

Sebagai contoh, disini saya ambil salah satu dialog yang terjadi antara Ahmad Dahlan yang baru saja pulang dari Timur Tengah dengan Kyai Lurah Noor, calon kakak iparnya. Ketika Dahlan memperlihatkan Buletin Almanar yang dibawanya Kyai Lurah Noor bertanya “Bukankah ini sudah dilarang?” lalu Dahlan membenarkan dan kemudian menerangkan kalau Jamaluddin Al Afgani[1] dan Muhammad Abduh membawa Islam sesuai dengan perkembangan zaman. Jawaban Dahlan ini mendapat tanggapan “ Iya, tapi mereka berdua kan tinggal di Paris ketika menerbitkan majalah itu. Pemikiran mereka telah dipengaruhi oleh kaum modernis dan Yahudi”.

Ketika mendengar penggalan dialog tersebut saya hanya tersenyum, “benar-benar hebhat Hanung” ujar saya dalam hati. Ingatan saya kembali ke masa lalu, ketika saya mendengar jawaban dari salah seorang tokoh Liberalisme ketika dikatakan aliran Liberal dinyatakan sesat. Sang tokoh menjawab “Ketika pertama kali muncul, Muhammadiyah juga dikatakan sesat”. Setahu saya Muhammadiyah semenjak dulu merupakan salah satu organisasi yang gigih memperjuangkan tegaknya Syari’at Islam di Indonesia, saya terkenang akan kegigihan Hamka sebagai ketua Muhammadiyah dalam memperjuangkan Islam sebagai dasar negara. Petikan syair Hamka yang ditujukan kepada Buya Natsir ketika mereka akan memperjuangkan Islam sebagai dasar negara dalam sidang Konstituante measih terngiang-ngiang dikepala saya “Walau terkilat keris di leher mu, namun yang benar kau kata jua”.

Paradigma berfikir atau sudut pandang umat pada masa itulah yang berusaha diubah oleh Ahmad Dahlan. Islam pada masa itu bercampur dengan ajaran kejawen, atau ajaran pra Islam sehingga hal tersebut mengusik hati seorang Ahmad Dahlan. Hal ini tentunya bertolak belakang dengan keinginan sebagian orang pada masa ini yang atas nama kebebasan dan keberagaman memiliki visi untuk melestarikan budaya sebagai bagian dari kekayaan khazanah budaya nasional. Toleransi lebih didengungkan dan menganggap orang-orang semacam Dahlan sebagai seorang muslim yang fanatik dan radikal karena memiliki pemahaman yang sempit. Namun sang sutradara sungguh dengat cerdiknya membalikkan situasi, membuat seolah-olah Dahlan berjuang untuk kaum SEPILIS[2] masa sekarang. Sama dengan Dahlan, kaum Sepilis sekarang juga teraniaya, apalagi semenjak kasus Bom Buku yang gagal mencapai targetnya. Namun dalam kenyataannya yang teraniaya ialah orang-orang semacam Dahlan. Orang-orang yang berusaha membersihkan agama Islam dari ajaran khurafat dan panganisme[3]. Para ulama kuno digambarkan sama dengan ulama radikal sekarang, mulai dari segi berpakaian dan bersikap, yakni mereka keras tanpa kompromi. Sedangkan Dahlan digambarkan tenang, sabar, dan santun sama dengan kelompok liberal sekarang jika tampil dihadapan publik.

Kaum Sepilis sekarang juga berusaha mengubah paradigma berfikir umat Islam, mereka beranggapan pandangan masyarakat dalam beragama saat ini sudah salah dan harus diubah. Mereka berkeinginan merekonstruksi  ulang pemahaman dalam berislam. Berbagai hukum seperti, rajam, potong tangan dan kaki, cambuk dan lain sebagainya dianggap sebagai hukuman yang berlaku dalam masyarakat berperadaban rendah. Kita hidup dimasa sekarang jadi pemahaman dalam beragama harus disesuaikan dengan keadaan zaman. Sama dengan pernyataan Dahlan yang menyatakan kalau Jamaludin dan M. Abduh membawa Islam sesuai dengan perkembangan zaman. Walau saya sendiri masih ragu dengan setiap dialog yang terjadi dalam filem ini, apakah sesuai atau tidak dengan fakta sejarah.

Saya termasuk satu dari segelintir orang yang beranggapan bahwa Islam bukanlah produk suatu peradaban, justeru peradaban yang dibangun oleh kaum muslim itu berasal dari Islam. Islam merupakan produk Zat Yang Maha Tinggi, karyaNya yang kita sebut dengan Al Qur’an bukanlah buah fikir manusia melainkan diturunkan langsung melalui perantaraan malaikat yang dipanggil oleh umat Islam dengan nama Jibril (Gabriel: Nasrani). Jadi alangkah bengaknya orang-orang yang beranggapan kalau Islam harus disesuaikan dengan perkembangan zaman. Yang harus disesuaikan dengan perkembangan zaman ialah produk buah karya dan karsa manusia yang kita sebut dengan kebudayaan bukan “Karya Tuhan” yang Maha Semperuna, sebab Allah Maha Sempurna, dia juga Kekal, Yang Awal dan Yang Akhir, permulaan segala sesuatu.

Pangkal dari kekusutan yang melanda dunia Islam saat ini ialah, ketika orang-orang yang mengaku beragama Islam dan terpelajar pulang menuntut ilmu dari Barat, atau orang-orang yang mengaku telah tercerahkan di institusi pendidikan tempat dia belajar mulai berlagak bak orang yang telah paham Ilmu Agama Islam. Dikiranya belajar Islam sama dengan belajar naik sepeda, hanya belajar sedikit, sudah bak orang yang telah ahli pula mengenai Islam. Dalam pandangan dunia Barat, Al Qur’an dibuat oleh Muhammad (Muhammad create The Koran[4]) bukan diterima oleh Muhammad melalui perantaraan Malaikat Jibril dari Allah SWT. Hal ini tentu tak mengherankan karen kitab suci semacam Al Qur’an hanya dimiliki oleh Umat Islam. Sedangkan Injil (Alkitab atau Bibel) yang mereka imani sebagai sebuah kitab suci merupakan buah fikir dari sahabat Yesus yang menjadi saksi hidup perjalanan karirnya sebagai “Anak Tuhan”. Kalau di Islam, kitab suci semacam Perjanjian Baru dapat disetarakan dengan Hadist.

Jadi setidaknya kita paham perbedaan antara agama kita dengan agama lain, sehingga hal ini menjadi bahan pertimbangan bagi kita dalam menilai mereka. Bagaimana cara mereka memandang agama dan kitab suci mereka, bagaimana cara mereka memandang para nabi yang mereka yakini,  dan bagaimana cara mereka memandang tuhan dalam kehidupan mereka. Kita memiliki akar sejarah yang berbeda dengan agama Nasrani, jadi tak patutlah kiranya jika kita meniru mereka dalam cara mereka memandang agama dalam kehidupan ini. Bukankah dalam agama kita sendiri sudah dilarang meniru umat lain dalam hal beribadah, atau lebih tepatnya dalam hal ini cara kita memandang dan menyikapi berbagai hukum fiqih yang menurut kita terlalu mengekang kebebasan kita saat ini. Pelajarilah caranya bagaimana membedakan suara nafsu, setan, dan suara hati yang dikawal oleh malaikat.

Penutup

Akhirnya saya menyadari, ternyata "Sang Pencerah" dan "Ayat-ayat Cinta" memiliki satu kemiripan yakni menjadi saluran bagi sang sutradara dalam mengekspresikan sikap anti poligaminya. Dalam filem "Sang Pencerah" yang amat memukau ini sama sekali tidak disebutkan perihal empat orang isteri KH. Ahmad Dahlan yang lain. Ya... ternyata Ahmad Dahlan salah seorang pelaku poligami, saya mengutarakan hal ini bukan karena penghormatan saya terhadap sang pendiri Muhammadiyah menjadi berkurang. Tapi saya hanya merasa aneh, kenapa fakta yang begitu penting tak disebutkan dalam filem tersebut? Apa gerangan yang terjadi?

Sebagai pribadi, saya menghormati KH. Ahmad Dahlan yang telah berusaha membersihkan Islam dari faham khurafat dan lainnya yang merusak Islam. Itulah yang sekarang yang kembali diusahakan oleh sebagian kecil umat Islam, namun hambatan yang mereka temui berbeda dengan hambatan yang pernah diterima Dahlan pada masa lalu. Difitnah sebagi teroris adalah konsekuensi, tidak hanya lingkungan yang mengucilkan namun seluruh negara bahkan sampai ke luar negeri. Sesungguhnya Ahmad Dahlan bukanlah seorang yang memperjuangkan kebebasan, namun dia adalah seorang muslim yang berniat mengamalkan dan menyebarkan Islam yang bersih dari pengaruh panganisme. Hal ini terbukti dari sikap Organisasi Muhammadiyah semenjak negara ini mula berdiri yakni tetap kukuh dengan Negara Islam, tetap setia dengan Hukum Syari’at.

Jadi saya harap kita hendaknya bijak dalam menerima segala sesuatu yang disampaikan kepada kita. Bukankah Allah Azza Wa Jalla telah memperingatkan dalam Al Qur’an, bahwa jika kita menerima suatu kabar, maka periksalah kabar tersebut apakah datang dari orang beriman atau dari orang fasik. Kita tentunya paham bagaimana menyikapi kabar yang datang jika sumbernya telah kita ketahui?


[1] Jamaluddin merupakan putera kelahiran Iran, dia sempat berada di India dan menjadi salah seorang tokoh yang sangat berpengaruh bagi umat Islam di sana. Hal ini terjadi sebelum dia berangkat ke Mesir.
[2] Sekularisme Pluralisme dan Liberalisme.
[3] Namun berkat jasa media, hal ini justeru dibalikkan. Kaum Liberallah yang teraniaya, dan patut untuk dikasihani.
[4] Saya pernah menyaksikan sebuah filem dokumenter disebuah stasiun TV Sawasta di Indonesia yang mewawancarai seorang bule di sebuah negara. Bule ini ditanya perhal Islam dan Al Qur’an, dan itulah jawaban dari si Bule tersebut: “Muhammad create The Koran”)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kamis, 16 Juni 2011

Sebuah tanggapan dari seorang amatir


Sang Pencerah
Antara Realita & Fiksi


Telah banyak berbagai ajang pencarian bakat diadakan di republik ini, berbagai stasiun TV merasa diuntungkan dengan banyaknya peminat, iklan, dan tentu saja kerja sama dengan operator telfon seluler. Acara ini dibuat dengan menjual mimpi untuk menjadi orang terkenal, menjadi selebritis. Siapa gerangan yang tak ingin terkenal, dikejar wartawan, masuk tv, hidup mewah dalam kelas societet, dan menjadi orang penting. Banyak anak-anak muda yang masih lugu memandang dunia dari segi keindahannya saja, terperdaya, banyak orang tua dan keluarga yang tergoda ingin hidup seperti hidupnya artis sintetron pujaan mereka.

Sumber Foto: danyhidayatapjautaman.blogspot.com
Kalau boleh dipersentasikan, jumlah orang-orang yang ingin terkenal justeru lebih banyak daripada orang yang memutuskan untuk hidup sederhana apa adanya. Keinginan untuk menjadi terkenal membuat orang menempuh segala daya dan upaya, tak peduli apakah baik atau buruk, terpuji atau terlarangkah dalam pandangan masyarakatnya. Bahkan untuk menjadi terkenal, beberapa orang yang telah kehilangan kewarasannya tak segan-segan menghujat agama yang selama ini mereka anut. Dengan lancangnya keluar dari mulut mereka kata-kata; Ulama tidak berhak menghalal dan mengharamkan segala sesuatu.


Saya tak hendak membahas mengenai keadaan masyarakat Indonesia yang sedang labil, diambang keruntuhan dari segi moral dan penurunan dalam sisi religius. Tiap hari makin banyak bermunculan orang-orang yang menghujat agama dengan dalih kebebasan, persamaan, dan keberagaman. Apakah itu melalui media cetak seperti koran dan majalah, elektronik: tv, radio, internet, atau bidang seni (puisi, lagu, novel, dan perfileman). Sesungguhnya hal tersebut masih baru di Indonesia, namun sebenarnya hal ini telah lama berlaku di barat, dimana agama menjadi bahan lelucon bagi kebanyakan manusia.

Sedikit Perkenalan dengan Hanung

Telah lama kawan saya mendorong untuk menonton filem karya Hanung Bramantyo ini, namun saya tak memiliki minat untuk menonton sebuah filem yang katanya bagus. Sebagai orang Minangkabau, saya tak tahu apakah saya ini seorang Muhammadiyah atau bukan. Yang saya ketahui, selalu ada yang aneh dengan hati ini apabila mendengar perihal Muhammadiyah dan hal-hal yang terjadi disekelilingnya. Banyak orang Muhammadiyah di Sumatera Barat terlihat tertarik dengan filem ini, bahkan kantor Muhammadiyah di Padang sempat berusaha mengadakan “nonton basamo” filem ini, walau belakangan saya dengar batal karena jumlah kuota yang diharapkan tidak terpenuhi.

Sang Pencerah, judul yang aneh dan ketika saya ketahui bahwa filem ini mengisahkan kehidupan pendiri Muhammadiyah KH. Ahmad Dahlan, saya mulai merasa ada sesuatu. Hal ini tentunya menjadi bertambah ketika saya ketahui bahwa yang menyutradarai filem ini ialah seorang sutradara yang sedikit banyaknya telah saya dengar sepak terjangnya. Sebagai seorang yang berlatar belakang pendidikan dibidang sejarah, saya telah terbiasa untuk tidak melihat setiap fenomena dari apa yang terlihat atau diperlihatkan kepada kita. Dalam salah satu mata kuliah kami dulu yakni Bibliografi, kami diajarkan untuk melakukan psikoanalisis dalam menelaah suatu sumber sejarah. Pelajari penulisnya: siapa dia, kapan dia lahir, riwayat pendidikan, agama, kenapa dia mengambil judul tersebut dalam karyanya, kenapa dan kapan dia mulai menulis, kapan dan kenapa pada tahun tersebut diterbitkan karyanya, dan apa-apa saja karyanya terdahulu.

Terus terang saya sangat menyukai dua file Hanung terdauhulu yakni “Catatan Akhir Sekolah” dan “Jomblo”. Namun ketika melangkah ke tahap selanjutnya yakni “Ayat ayat Cinta”, kemudian “Perempuan Berkalung Sorban” saya mulai memahami seperti apa gerangan Hanung, kemana arah pemikirannya dan apa yang sedang diperjuangkannya. Saya juga pernah mendengar kabar kalau Hanung sempat memberikan tanda tangannya dalam semacam “petisi” untuk membubarkan lembaga sensor filem bersama beberapa sutradara lainnya. Berbagai pendapatnya yang saya lihat dibeberapa media, bagi saya semakin memperjelas arah pemikirannya.

Saya akui, Hanung merupakan salah satu sutradara berbakat, berpotensi, dan pintar. Terbukti beberapa filemnya belakangan ini berbuah sukses. Kontroversi atas beberapa filemnya justeru membawa berkah, Hanung semakin dikenal dan diakui sebagai salah satu sutradara besar di negeri ini. Tentu saja peran media sebagai “pengontrol opini publik” sangat berperan dalam membesarkan Hanung. Saya sendiri termasuk dari segelintir orang yang tidak mempercayai media, karena dalam setiap pemberitaan yang disampaikan tidak mengandung objektivitas. Para pemirsa diperlakukan seperti anak ingusan yang harus diarahkan kemana meraka akan melangkah, apa yang harus mereka lakukan dan bagaimana cara mereka berfikir. Dan itu semua terselimuti dengan nuansa intelektualitas yang dilabelkan terhadap media terntentu sebagai penyampai berita berkompetan dan teraktual.

Sang Pencerah: Sebuah filem yang memukau

Saya tidak begitu faham dengan dunia sinematografi, tapi izinan saya memberikan pujian atas filem “Sang Pencerah” yang menurut saya dalam segi akting para pelakon, pengambilan gambar, cara menggambarkan situasi pada masa itu, jalan cerita, musik latar, dan sebagainya sangat memuaskan. Sama seperti sutradaranya, filem ini bukanlah filem murahan yang mudah ditebak jalan ceritanya. Walau sebagian orang sudah tahu bagaimana jalan ceritanya (karena mereka mengetahui sejarah hidup Ahmad Dahlan) namun filem ini memiliki daya pikatnya tersendiri. Berbagai dialog yang terjadi antara aktor bagi saya terasa hidup dan begitu mengena.

Akan halnya buku, lagu, puisi, ataupun novel, filem inipun saya rasa mengandung pesan. Setiap karya manusia sesungguhnya mengandung unsur subjektifitas dari pengarang, pencipta, atau dalam hal ini sang sutradara. Namun kebanyakan penggemar (apakah itu lagu, puisi, novel, ataupun filem) hanya sekedar menikmati tanpa memahami makna dibalik karya yang mereka nikmati tersebut. Kebanyakan dari mereka tanpa sadar menganggap karya yang mereka nikmati tersebut mengandung kebenaran tanpa terlebih dahulu mengkritisi atau menelaahnya.

Sebagai sebuah karya seni Filem Sang Pencerah adalah sebuah karya yang sangat bagus. Tak heran jika kawan saya begitu gigih menyuruh saya menonton filem ini. Ketika saya mulai menonton filem ini, saya mulai merasakan konflik ideologi dan pemikiran yang terjadi dalam agama Islam saat ini serasa ikut terbawa dalam filem ini. Saya sendiri merasa heran, berbagai dialog yang terjadi dalam filem ini apakah berdasarkan fakta dan bukti sejarah ataukah hanya sekadar imajinasi dari penulis skenario.

Sebagai contoh, disini saya ambil salah satu dialog yang terjadi antara Ahmad Dahlan yang baru saja pulang dari Timur Tengah dengan Kyai Lurah Noor, calon kakak iparnya. Ketika Dahlan memperlihatkan Buletin Almanar yang dibawanya Kyai Lurah Noor bertanya “Bukankah ini sudah dilarang?” lalu Dahlan membenarkan dan kemudian menerangkan kalau Jamaluddin Al Afgani[1] dan Muhammad Abduh membawa Islam sesuai dengan perkembangan zaman. Jawaban Dahlan ini mendapat tanggapan “ Iya, tapi mereka berdua kan tinggal di Paris ketika menerbitkan majalah itu. Pemikiran mereka telah dipengaruhi oleh kaum modernis dan Yahudi”.

Ketika mendengar penggalan dialog tersebut saya hanya tersenyum, “benar-benar hebhat Hanung” ujar saya dalam hati. Ingatan saya kembali ke masa lalu, ketika saya mendengar jawaban dari salah seorang tokoh Liberalisme ketika dikatakan aliran Liberal dinyatakan sesat. Sang tokoh menjawab “Ketika pertama kali muncul, Muhammadiyah juga dikatakan sesat”. Setahu saya Muhammadiyah semenjak dulu merupakan salah satu organisasi yang gigih memperjuangkan tegaknya Syari’at Islam di Indonesia, saya terkenang akan kegigihan Hamka sebagai ketua Muhammadiyah dalam memperjuangkan Islam sebagai dasar negara. Petikan syair Hamka yang ditujukan kepada Buya Natsir ketika mereka akan memperjuangkan Islam sebagai dasar negara dalam sidang Konstituante measih terngiang-ngiang dikepala saya “Walau terkilat keris di leher mu, namun yang benar kau kata jua”.

Paradigma berfikir atau sudut pandang umat pada masa itulah yang berusaha diubah oleh Ahmad Dahlan. Islam pada masa itu bercampur dengan ajaran kejawen, atau ajaran pra Islam sehingga hal tersebut mengusik hati seorang Ahmad Dahlan. Hal ini tentunya bertolak belakang dengan keinginan sebagian orang pada masa ini yang atas nama kebebasan dan keberagaman memiliki visi untuk melestarikan budaya sebagai bagian dari kekayaan khazanah budaya nasional. Toleransi lebih didengungkan dan menganggap orang-orang semacam Dahlan sebagai seorang muslim yang fanatik dan radikal karena memiliki pemahaman yang sempit. Namun sang sutradara sungguh dengat cerdiknya membalikkan situasi, membuat seolah-olah Dahlan berjuang untuk kaum SEPILIS[2] masa sekarang. Sama dengan Dahlan, kaum Sepilis sekarang juga teraniaya, apalagi semenjak kasus Bom Buku yang gagal mencapai targetnya. Namun dalam kenyataannya yang teraniaya ialah orang-orang semacam Dahlan. Orang-orang yang berusaha membersihkan agama Islam dari ajaran khurafat dan panganisme[3]. Para ulama kuno digambarkan sama dengan ulama radikal sekarang, mulai dari segi berpakaian dan bersikap, yakni mereka keras tanpa kompromi. Sedangkan Dahlan digambarkan tenang, sabar, dan santun sama dengan kelompok liberal sekarang jika tampil dihadapan publik.

Kaum Sepilis sekarang juga berusaha mengubah paradigma berfikir umat Islam, mereka beranggapan pandangan masyarakat dalam beragama saat ini sudah salah dan harus diubah. Mereka berkeinginan merekonstruksi  ulang pemahaman dalam berislam. Berbagai hukum seperti, rajam, potong tangan dan kaki, cambuk dan lain sebagainya dianggap sebagai hukuman yang berlaku dalam masyarakat berperadaban rendah. Kita hidup dimasa sekarang jadi pemahaman dalam beragama harus disesuaikan dengan keadaan zaman. Sama dengan pernyataan Dahlan yang menyatakan kalau Jamaludin dan M. Abduh membawa Islam sesuai dengan perkembangan zaman. Walau saya sendiri masih ragu dengan setiap dialog yang terjadi dalam filem ini, apakah sesuai atau tidak dengan fakta sejarah.

Saya termasuk satu dari segelintir orang yang beranggapan bahwa Islam bukanlah produk suatu peradaban, justeru peradaban yang dibangun oleh kaum muslim itu berasal dari Islam. Islam merupakan produk Zat Yang Maha Tinggi, karyaNya yang kita sebut dengan Al Qur’an bukanlah buah fikir manusia melainkan diturunkan langsung melalui perantaraan malaikat yang dipanggil oleh umat Islam dengan nama Jibril (Gabriel: Nasrani). Jadi alangkah bengaknya orang-orang yang beranggapan kalau Islam harus disesuaikan dengan perkembangan zaman. Yang harus disesuaikan dengan perkembangan zaman ialah produk buah karya dan karsa manusia yang kita sebut dengan kebudayaan bukan “Karya Tuhan” yang Maha Semperuna, sebab Allah Maha Sempurna, dia juga Kekal, Yang Awal dan Yang Akhir, permulaan segala sesuatu.

Pangkal dari kekusutan yang melanda dunia Islam saat ini ialah, ketika orang-orang yang mengaku beragama Islam dan terpelajar pulang menuntut ilmu dari Barat, atau orang-orang yang mengaku telah tercerahkan di institusi pendidikan tempat dia belajar mulai berlagak bak orang yang telah paham Ilmu Agama Islam. Dikiranya belajar Islam sama dengan belajar naik sepeda, hanya belajar sedikit, sudah bak orang yang telah ahli pula mengenai Islam. Dalam pandangan dunia Barat, Al Qur’an dibuat oleh Muhammad (Muhammad create The Koran[4]) bukan diterima oleh Muhammad melalui perantaraan Malaikat Jibril dari Allah SWT. Hal ini tentu tak mengherankan karen kitab suci semacam Al Qur’an hanya dimiliki oleh Umat Islam. Sedangkan Injil (Alkitab atau Bibel) yang mereka imani sebagai sebuah kitab suci merupakan buah fikir dari sahabat Yesus yang menjadi saksi hidup perjalanan karirnya sebagai “Anak Tuhan”. Kalau di Islam, kitab suci semacam Perjanjian Baru dapat disetarakan dengan Hadist.

Jadi setidaknya kita paham perbedaan antara agama kita dengan agama lain, sehingga hal ini menjadi bahan pertimbangan bagi kita dalam menilai mereka. Bagaimana cara mereka memandang agama dan kitab suci mereka, bagaimana cara mereka memandang para nabi yang mereka yakini,  dan bagaimana cara mereka memandang tuhan dalam kehidupan mereka. Kita memiliki akar sejarah yang berbeda dengan agama Nasrani, jadi tak patutlah kiranya jika kita meniru mereka dalam cara mereka memandang agama dalam kehidupan ini. Bukankah dalam agama kita sendiri sudah dilarang meniru umat lain dalam hal beribadah, atau lebih tepatnya dalam hal ini cara kita memandang dan menyikapi berbagai hukum fiqih yang menurut kita terlalu mengekang kebebasan kita saat ini. Pelajarilah caranya bagaimana membedakan suara nafsu, setan, dan suara hati yang dikawal oleh malaikat.

Penutup

Akhirnya saya menyadari, ternyata "Sang Pencerah" dan "Ayat-ayat Cinta" memiliki satu kemiripan yakni menjadi saluran bagi sang sutradara dalam mengekspresikan sikap anti poligaminya. Dalam filem "Sang Pencerah" yang amat memukau ini sama sekali tidak disebutkan perihal empat orang isteri KH. Ahmad Dahlan yang lain. Ya... ternyata Ahmad Dahlan salah seorang pelaku poligami, saya mengutarakan hal ini bukan karena penghormatan saya terhadap sang pendiri Muhammadiyah menjadi berkurang. Tapi saya hanya merasa aneh, kenapa fakta yang begitu penting tak disebutkan dalam filem tersebut? Apa gerangan yang terjadi?

Sebagai pribadi, saya menghormati KH. Ahmad Dahlan yang telah berusaha membersihkan Islam dari faham khurafat dan lainnya yang merusak Islam. Itulah yang sekarang yang kembali diusahakan oleh sebagian kecil umat Islam, namun hambatan yang mereka temui berbeda dengan hambatan yang pernah diterima Dahlan pada masa lalu. Difitnah sebagi teroris adalah konsekuensi, tidak hanya lingkungan yang mengucilkan namun seluruh negara bahkan sampai ke luar negeri. Sesungguhnya Ahmad Dahlan bukanlah seorang yang memperjuangkan kebebasan, namun dia adalah seorang muslim yang berniat mengamalkan dan menyebarkan Islam yang bersih dari pengaruh panganisme. Hal ini terbukti dari sikap Organisasi Muhammadiyah semenjak negara ini mula berdiri yakni tetap kukuh dengan Negara Islam, tetap setia dengan Hukum Syari’at.

Jadi saya harap kita hendaknya bijak dalam menerima segala sesuatu yang disampaikan kepada kita. Bukankah Allah Azza Wa Jalla telah memperingatkan dalam Al Qur’an, bahwa jika kita menerima suatu kabar, maka periksalah kabar tersebut apakah datang dari orang beriman atau dari orang fasik. Kita tentunya paham bagaimana menyikapi kabar yang datang jika sumbernya telah kita ketahui?


[1] Jamaluddin merupakan putera kelahiran Iran, dia sempat berada di India dan menjadi salah seorang tokoh yang sangat berpengaruh bagi umat Islam di sana. Hal ini terjadi sebelum dia berangkat ke Mesir.
[2] Sekularisme Pluralisme dan Liberalisme.
[3] Namun berkat jasa media, hal ini justeru dibalikkan. Kaum Liberallah yang teraniaya, dan patut untuk dikasihani.
[4] Saya pernah menyaksikan sebuah filem dokumenter disebuah stasiun TV Sawasta di Indonesia yang mewawancarai seorang bule di sebuah negara. Bule ini ditanya perhal Islam dan Al Qur’an, dan itulah jawaban dari si Bule tersebut: “Muhammad create The Koran”)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar