Selasa, 09 Oktober 2012

Revolusikah..?


 Bersilat dihadapan Negeri

Peristiwa yang terjadi pada Jum’at malam tanggal lima Oktober kemarin menjadi bahan perbincangan yang tak ada habisnya di republik ini. Ada yang mengatakan ini merupakan People Power di Indonesia namun ada juga yang mengatakan kalau ini “Cicak Vs Buaya Jilid II”. Apapun itu tampaknya suara kebanyakan rakyat di republik ini berada di belakang KPK. Namun apa sesungguhnya yang terjadi pada Jum’at malam tersebut?


Alkisah di negeri yang katanya negeri paling demokratis ketiga di dunia ini tengah berlangsung perang terhadap tindak korupsi. Korupsi yang empat balas tahun lalu hendak dimusnahkan melalui gerakan yang bernama “reformasi”. Namun apalah daya, keadaan yang berlaku justeru sebaliknya. Korupsi di negeri ini semakin menjadi-jadi dan dilakukan terang-terangan, tak ada takut apalagi malu. Rakyat di negeri ini rupanya sudah kesal dan tak puas dengan keadaan negeri mereka. Semua dihargai dengan uang, jangankan “pelayanan” negara kepada rakyatnya, bahkan untuk buang hajatpun mereka harus membayar. Suatu kejadian yang tak berlaku di negara lain.

Seharusnya semua tindak kejahatan ini sudah dapat dimusnahkan oleh alat negara yang bernama “Kepolisian”. Namun apalah daya, semuanya tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Apa pasal tuan? Ah, nantilah kami jelaskan. Namun yang pasti akibat dari tidak berjalannya fungsi Kepolisian ini maka lahirlah lembaga baru yang bernama KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).

Ketua KPK pertama ialah Antasari Azhar, seorang mantan jaksa. Dia banyak menanggkapi orang-orang yang terlibat korupsi. Apakah itu dari kalangan politisi ataupun birokrasi, hakim, ataupun jaksa. Namun firasat orang-orang tampaknya benar, di tengah-tengah negeri yang tengah dikuasai oleh setan besar yang bernama Korupsi, pastilah orang ini akan mendapat masalah nantinya. Rupanya benar, Antasari Azhar ditangkap dan dpenjarakan dengan tuduhan pembunuhan.

Selepas itu, para pemimpin KPK yang lain juga ikut diserang, dengan alasan tindak pelanggaran hukum tentunya. Yang maju kedepan dalam menghadapi KPK ialah Institusi Kepolisian, taklah mengherankan tuan. Ketika itu Komjen Susno Duaji yang menjadi “panglima perangnya”. Dari mulut komisaris inilah muncul istilah “Cicak” untuk KPK dan “Buaya” untuk Kepolisian pun muncul. Maka masyhurlah nama Cicak VS Buaya di negeri ini.

Ramai orang memberikan dukungan kepada para pimpinan KPK. Berbagai bentuk dukungan berdatangan dari masyarakat, LSM, ahli-ahli hukum, ataupun orang-orang yang masih peduli dengan pemberantasan korupsi di negeri ini. akhirnya penangkapan terhadap dua orang pemimpin ketika itu dibatalkan setelah sebuah rekaman percakapan salah seorang tersangka koruptor diperdengarkan di Mahkamah Konstitusi.


Ketika itu hampir seluruh golongan, terutama sekali mahasiswa dapat dikatakan bersatu-padu mendukung KPK. Termasuk diantaranya kawan-kawan kami di kampus. Akan halnya dengan diri kami hanya diam, mengamati keadaan. Apalagi pada masa itu terdapat sebuah grup di Facebook yang mendukung KPK dengan menargetkan jumlah anggota tertentu sebagai bentuk dukungannya kepada KPK.

Ketika itu kami berujar kepada kawan kami “Kita tidak dapat tahu dengan pasti gerangan apa yang terjadi sebenarnya antara Polisi dan KPK, sebab kabar yang beredar terutama yang diedarkan oleh media tak dapat kita percayai sepenuhnya. Mereka memiliki ideologi, kepentingan, dan tujuan tertentu dalam menyampaikan ihwal suatu berita. Adapun perihal perseteruan antara dua lembaga negara ini, kami yakin masing-masing fihak memiliki dalil mereka sendiri-sendiri. KPK benar dan Polisi juga benar, namun siapakah yang benar sesungguhnya? Perlu kearifan dan jiwa yang besar untuk menyelidiki ini semua. Namun yang terbaca saat ini ialah, taroklah seandainya KPK ini salah, sesalah-salah apapun dia, di hapadan rakyat KPK tetap benar. Dan sebaliknya taroklah seandainya Polisi ini benar, sebenar-benar apapun dia, di hadapan rakyat Polisi yang salah. Kenapa demikian? Engku, kalaulah boleh kami bertanya, bagaimana pandangan engku mengenai lembaga Kepolisian di negara kita?” tanya kami kepada kawan-kawan kami ketika itu. Mereka tak menjawab hanya tersenyum.

Lalu kami lanjutkan “Semenjak kita kanak-kanak tidak pernah kita mendapati pandangan orang yang baik-baik perihal polisi, benarkah demikian engku?” kawan kami tersenyum-senyum simpul sambil mengangguk perlahan.

Tak patutlah rasanya segala yang buruk-buruk kita sematkan kepada Lembaga Kepolisian di negara kita. Karena tanpa itu dia telah buruk juga. Telah lama rasa ketidak puasan di kalangan rakyat di negara ini menumpuk, jiwa manusia itu dapat kita ibaratkan kepada air. Cobalah engku isi sebuah ember besar dengan air, lalu masukkan bola dan tekan bola itu kuat-kuat hingga mencapai dasar ember. Apa gerangan yang akan terjadi. Tak perlu pula kami jelaskan, sebab engku lebih faham daripada kami perihal hal ini. engku ingat-ingat saja pelajaran ketika bersekolah di SD dahulu

“Benar engku, itu pulalah yang terfikirkan oleh saya. Suatu rasa ketidak puasan yang terus-menerus menumpuk akan mewujud menjadi sebuah kekuatan untuk bergejolak dan kemudian bergolak. Kalau kita lihat kepada pemerintahan yang diktator maka akan ada revolusi rakyat, People Power seperti yang terjadi di Filipina dahulunya..” jawab salah seorang kawan kami.

Benar engku, itulah yang terjadi pada saat ini. Walau belum mewujud dalam bentuk gerakan dari rakyat yang lebih luas. Kalaulah tidak ada facebook, maka akan ramai orang turun ke jalan. Mereka sudah muak dan heran, kenapa suatu tindak kejahatan dapat dilakukan terang-terangan, terutama sekali oleh orang-orang yang seharusnya membasmi tindak kejahatan tersebut. Rakyat tidak bodoh, mereka melihat dan memperhatikan, dan semakin lama mereka melihat dan semakin lama mereka merasakan. Akan berujung kepada suatu tindak kekerasan atau revolusi. Percayalah engku, suatu revolusi selalu memekan korban, korban terbanyak ialah dari rakyatnya sendiri” lanjut kami.


“Semoga saja polisi-polisi itu bijak dan arif sehingga dapat menangkap maksud dari ini semua. Hingga kini kalau kena tilang masih menyuap juga kita, kalau buat SIM masih dapat pula tanpa melalui tes. Cukup dengan mengeluarkan biaya tambahan.” Ujar kawan kami yang lain sambil tersenyum mencemooh.

“Tapi apakah mungkin? Sebab kebanyakan polisi itu pandir-pandir semuanya, tengok saja kalau hendak masuk menjadi anggota polisi maka harus bayar berpuluh-puluh juta bahkan sampai melampaui seratus juta. Bukan isi kepala yang diuji melainkan isi kantong..!” sergah kawan kami satunya lagi. Kami semua tertawa-tawa kecil.

Memang benarlah segala perbincangan pada petang hari itu, pada saat sekarang kembali pecah pertikaian jilid II antara Cicak VS Buaya. Engku dan tuan semua yang arif nan bijaksana tentunya dapat melihat, menimbang, dan menelaah dengan baik perihal kejadian ini. Tidak ada yang kebetulan dan tidak ada yang berjalan sendiri, setiap peristiwa selalu saling kait-mengait. Dan yang kami takutkan ialah ada dalang yang bermain dibelakang ini semua.

Jika sesuatu yang buruk menimpa kedua lembaga negara ini maka alamat kelangsungan bangsa akan menjadi terpuruk. Republik ini sangat membutuhkan kedua lembaga ini. Orang bijak pernah berkata “Kalaulah hendak membersihkan rumah, maka bersihkanlah dengan sapu yang bersih. Manalah kan bersih sebuah rumah, apabila disapu dengan sapu yang kumuh..






juga dimuat di: www.soeloehmelajoe.wordpress.com

sumber gambar: internet

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Selasa, 09 Oktober 2012

Revolusikah..?


 Bersilat dihadapan Negeri

Peristiwa yang terjadi pada Jum’at malam tanggal lima Oktober kemarin menjadi bahan perbincangan yang tak ada habisnya di republik ini. Ada yang mengatakan ini merupakan People Power di Indonesia namun ada juga yang mengatakan kalau ini “Cicak Vs Buaya Jilid II”. Apapun itu tampaknya suara kebanyakan rakyat di republik ini berada di belakang KPK. Namun apa sesungguhnya yang terjadi pada Jum’at malam tersebut?


Alkisah di negeri yang katanya negeri paling demokratis ketiga di dunia ini tengah berlangsung perang terhadap tindak korupsi. Korupsi yang empat balas tahun lalu hendak dimusnahkan melalui gerakan yang bernama “reformasi”. Namun apalah daya, keadaan yang berlaku justeru sebaliknya. Korupsi di negeri ini semakin menjadi-jadi dan dilakukan terang-terangan, tak ada takut apalagi malu. Rakyat di negeri ini rupanya sudah kesal dan tak puas dengan keadaan negeri mereka. Semua dihargai dengan uang, jangankan “pelayanan” negara kepada rakyatnya, bahkan untuk buang hajatpun mereka harus membayar. Suatu kejadian yang tak berlaku di negara lain.

Seharusnya semua tindak kejahatan ini sudah dapat dimusnahkan oleh alat negara yang bernama “Kepolisian”. Namun apalah daya, semuanya tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Apa pasal tuan? Ah, nantilah kami jelaskan. Namun yang pasti akibat dari tidak berjalannya fungsi Kepolisian ini maka lahirlah lembaga baru yang bernama KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).

Ketua KPK pertama ialah Antasari Azhar, seorang mantan jaksa. Dia banyak menanggkapi orang-orang yang terlibat korupsi. Apakah itu dari kalangan politisi ataupun birokrasi, hakim, ataupun jaksa. Namun firasat orang-orang tampaknya benar, di tengah-tengah negeri yang tengah dikuasai oleh setan besar yang bernama Korupsi, pastilah orang ini akan mendapat masalah nantinya. Rupanya benar, Antasari Azhar ditangkap dan dpenjarakan dengan tuduhan pembunuhan.

Selepas itu, para pemimpin KPK yang lain juga ikut diserang, dengan alasan tindak pelanggaran hukum tentunya. Yang maju kedepan dalam menghadapi KPK ialah Institusi Kepolisian, taklah mengherankan tuan. Ketika itu Komjen Susno Duaji yang menjadi “panglima perangnya”. Dari mulut komisaris inilah muncul istilah “Cicak” untuk KPK dan “Buaya” untuk Kepolisian pun muncul. Maka masyhurlah nama Cicak VS Buaya di negeri ini.

Ramai orang memberikan dukungan kepada para pimpinan KPK. Berbagai bentuk dukungan berdatangan dari masyarakat, LSM, ahli-ahli hukum, ataupun orang-orang yang masih peduli dengan pemberantasan korupsi di negeri ini. akhirnya penangkapan terhadap dua orang pemimpin ketika itu dibatalkan setelah sebuah rekaman percakapan salah seorang tersangka koruptor diperdengarkan di Mahkamah Konstitusi.


Ketika itu hampir seluruh golongan, terutama sekali mahasiswa dapat dikatakan bersatu-padu mendukung KPK. Termasuk diantaranya kawan-kawan kami di kampus. Akan halnya dengan diri kami hanya diam, mengamati keadaan. Apalagi pada masa itu terdapat sebuah grup di Facebook yang mendukung KPK dengan menargetkan jumlah anggota tertentu sebagai bentuk dukungannya kepada KPK.

Ketika itu kami berujar kepada kawan kami “Kita tidak dapat tahu dengan pasti gerangan apa yang terjadi sebenarnya antara Polisi dan KPK, sebab kabar yang beredar terutama yang diedarkan oleh media tak dapat kita percayai sepenuhnya. Mereka memiliki ideologi, kepentingan, dan tujuan tertentu dalam menyampaikan ihwal suatu berita. Adapun perihal perseteruan antara dua lembaga negara ini, kami yakin masing-masing fihak memiliki dalil mereka sendiri-sendiri. KPK benar dan Polisi juga benar, namun siapakah yang benar sesungguhnya? Perlu kearifan dan jiwa yang besar untuk menyelidiki ini semua. Namun yang terbaca saat ini ialah, taroklah seandainya KPK ini salah, sesalah-salah apapun dia, di hapadan rakyat KPK tetap benar. Dan sebaliknya taroklah seandainya Polisi ini benar, sebenar-benar apapun dia, di hadapan rakyat Polisi yang salah. Kenapa demikian? Engku, kalaulah boleh kami bertanya, bagaimana pandangan engku mengenai lembaga Kepolisian di negara kita?” tanya kami kepada kawan-kawan kami ketika itu. Mereka tak menjawab hanya tersenyum.

Lalu kami lanjutkan “Semenjak kita kanak-kanak tidak pernah kita mendapati pandangan orang yang baik-baik perihal polisi, benarkah demikian engku?” kawan kami tersenyum-senyum simpul sambil mengangguk perlahan.

Tak patutlah rasanya segala yang buruk-buruk kita sematkan kepada Lembaga Kepolisian di negara kita. Karena tanpa itu dia telah buruk juga. Telah lama rasa ketidak puasan di kalangan rakyat di negara ini menumpuk, jiwa manusia itu dapat kita ibaratkan kepada air. Cobalah engku isi sebuah ember besar dengan air, lalu masukkan bola dan tekan bola itu kuat-kuat hingga mencapai dasar ember. Apa gerangan yang akan terjadi. Tak perlu pula kami jelaskan, sebab engku lebih faham daripada kami perihal hal ini. engku ingat-ingat saja pelajaran ketika bersekolah di SD dahulu

“Benar engku, itu pulalah yang terfikirkan oleh saya. Suatu rasa ketidak puasan yang terus-menerus menumpuk akan mewujud menjadi sebuah kekuatan untuk bergejolak dan kemudian bergolak. Kalau kita lihat kepada pemerintahan yang diktator maka akan ada revolusi rakyat, People Power seperti yang terjadi di Filipina dahulunya..” jawab salah seorang kawan kami.

Benar engku, itulah yang terjadi pada saat ini. Walau belum mewujud dalam bentuk gerakan dari rakyat yang lebih luas. Kalaulah tidak ada facebook, maka akan ramai orang turun ke jalan. Mereka sudah muak dan heran, kenapa suatu tindak kejahatan dapat dilakukan terang-terangan, terutama sekali oleh orang-orang yang seharusnya membasmi tindak kejahatan tersebut. Rakyat tidak bodoh, mereka melihat dan memperhatikan, dan semakin lama mereka melihat dan semakin lama mereka merasakan. Akan berujung kepada suatu tindak kekerasan atau revolusi. Percayalah engku, suatu revolusi selalu memekan korban, korban terbanyak ialah dari rakyatnya sendiri” lanjut kami.


“Semoga saja polisi-polisi itu bijak dan arif sehingga dapat menangkap maksud dari ini semua. Hingga kini kalau kena tilang masih menyuap juga kita, kalau buat SIM masih dapat pula tanpa melalui tes. Cukup dengan mengeluarkan biaya tambahan.” Ujar kawan kami yang lain sambil tersenyum mencemooh.

“Tapi apakah mungkin? Sebab kebanyakan polisi itu pandir-pandir semuanya, tengok saja kalau hendak masuk menjadi anggota polisi maka harus bayar berpuluh-puluh juta bahkan sampai melampaui seratus juta. Bukan isi kepala yang diuji melainkan isi kantong..!” sergah kawan kami satunya lagi. Kami semua tertawa-tawa kecil.

Memang benarlah segala perbincangan pada petang hari itu, pada saat sekarang kembali pecah pertikaian jilid II antara Cicak VS Buaya. Engku dan tuan semua yang arif nan bijaksana tentunya dapat melihat, menimbang, dan menelaah dengan baik perihal kejadian ini. Tidak ada yang kebetulan dan tidak ada yang berjalan sendiri, setiap peristiwa selalu saling kait-mengait. Dan yang kami takutkan ialah ada dalang yang bermain dibelakang ini semua.

Jika sesuatu yang buruk menimpa kedua lembaga negara ini maka alamat kelangsungan bangsa akan menjadi terpuruk. Republik ini sangat membutuhkan kedua lembaga ini. Orang bijak pernah berkata “Kalaulah hendak membersihkan rumah, maka bersihkanlah dengan sapu yang bersih. Manalah kan bersih sebuah rumah, apabila disapu dengan sapu yang kumuh..






juga dimuat di: www.soeloehmelajoe.wordpress.com

sumber gambar: internet

Tidak ada komentar:

Posting Komentar