Mimpi Indah Memajukan Negeri
Uang(Investor) Bukanlah Segalanya
Belum habis cerita mengenai Mesuji di Lampung, belum kering air mata yang mengalir atas nyawa yang melayang, belum terbalas perbuatan keji yang diderita oleh rakyat tak berdaya. Namun beberapa hari yang lalu muncul berita baru, berita yang tak kalah menyedihkannya dengan yang di Lampung.
Tempat kejadiannya berada di daerah bagian timur dari Republik ini, daerah yang kaya akan sumber daya alam namun miskin dalam kehidupan masyarakatnya. Faktor pemicunya sama dengan yang di Lampung yakni uang, uang, dan uang yang berwujud kepada investor yang memiliki perusahaan-perusahaan besar. Nusa Tenggara Barat nama provinsinya dan negeri yang bernama Lambu, Sape dan Langgudu yang manjadi saksi penderitaan rakyatnya. Negeri seluas 14.318 Ha begitu memikat bagi Abdi Uang karena negerinya menyimpan kandungan emas.
Rakyatnya hanya bekerja sebagai nelayan dan petani, mereka memiliki pelabuhan di Sape yang menjadi pusat tragedi. Pada tahun 2008 sebuah perusahaan datang dengan membawa tawaran investasi kepada pemerintahannya. Ditanda tangani kontrak selama 25 tahun untuk penambangan emas. Kemudian pada tahun 2010 kontraknya diperbaharui oleh Pemda Bima dengan mengeluarkan Surat IUP bernomor 188/45/357/004/2010.
Tentunya ini merupakan kesempatan emas bagi pemerintah, karena dengan ini pemasukan daerah akan naik. Tentunya dengan naiknya tingkat pemasukan akan semakin mensejahterakan rakyatnya. Itulah teori umum yang dianut, termasuk oleh para pemuka di Sumatera Barat saat ini. Namun benarkah demikian???
Kedua malapetaka yakni Mesuji dan Sepe di NTB membuktikan kepada kita bahwa pendapat yang selama ini diyakini benar ternyata hanya kebohongan untuk menutupi keadaan sebenarnya. Apakah kenyataan yang sebenarnya itu?
Perlawanan yang diperlihatkan oleh rakyat atas kehadiran investor di negari mereka merupakan bentuk dari pernyataan ketidak adilan yang mereka terima. Keadilan dari siapakah? Mari kita perhatikan baik-baik..
Kasus di Lampung menunjukkan rakyat yang terusik dengan adanya perusahaan besar yang mengganggu kehidupan mereka yang telah baik selama ini. Kasus di NTB memperlihatkan bahwa keberadaan investor sesungguhnya mendatangkan petaka kepada rakyat setempat. Karena dengan dilakukannya penambangan di daerah mereka, maka akan mengganggu mata pencaharian utama rakyat selama ini yakni nelayan dan pertanian.
Lalu kenapa pemerintah setempat tidak menanggapi hal tersebut? Bukankah kesejahteraan rakyat harus diutamakan? Dengan membiarkan penambangan ini akan mengganggu mata pencaharian rakyat dan akibatnya akan menambah angka kemiskinan.
Tentunya tidak bijak menjawab pertanyaan tersebut tanpa melakukan penyidikan lebih lanjut. Namun lazimnya di daerah kaya, maka para investor akan memberikan “upeti” kepada yang jumlahnya tidak boleh dikatakan kecil. Hal ini tentunya sangat menggiurkan.
Akhirnya, kejadian dimasa kolonial terjadi lagi, dejavu kata orang sekarang. Kejadiannya kurang lebih sama, sistim penjajahan memanfaatkan penguasa atau elit lokal dalam proses eksploitasi mereka. Dengan memfasilitasi, memberikan perlakuan istimewa, serta gaji yang besar maka para penguasa pribumi lokal sendirilah yang menindas rakyat mereka. Sedangkan Tuan Kompeni duduk manis di kantor mereka menunggu laporan.
Melihat kejadian serupa ini, masihkah Tuan Gubernur di Propinsi Sumatera Barat bersikeras hati untuk mendatangkan INVESTOR ke Tanah Bertuah ini. Dimana banyak orang iri dengan keadaan hutan-hutan di Sumatera Barat yang kebanyakan masih alami. Kecuali tentunya kasus di Pesisir Selatan baru-baru ini, dan beberapa daerah seperti Kabupaten Pasaman dan Dharmasraya yang telah “digerayangi” investor.
Dengan mendatangkan investor, maka Tuan telah mengundang algojo untuk membantai rakyat Tuan sendiri.
Semoga Tanah Minangkabau ini dilindungi oleh Allah SWT dari hal-hal serupa itu, amiiin..
Daftar Bacaan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar